x

Monumen Pancasila Sakti karya Edhi Sunarso di Lubang Buaya, Jakarta. Dok. TEMPO/Dwianto Wibowo

Iklan

Syaiful Arif

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Reideologisasi Pancasila

Kenapa sebagai ideologi bangsa, Pancasila tak juga menjadi sistem kognitif yang mengoperasionalkan nilai-nilainya menjadi kenyataan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konon Pancasila itu sakti. Ia tetap tegar di tengah berbagai serangan. Ia tidak hanya menjadi titik temu ideologi dunia, tetapi melampauinya. Liberalisme, komunisme, hingga Islamisme. Persoalannya, meskipun kesaktiannya diperingati setiap tanggal 1 Oktober; kemampuannya membentuk tata kehidupan Pancasilais, masih jauh panggang dari api.

Tentu jika dihadapkan secara teoretis dan politis, Pancasila selalu menang. Bahkan pemberontakan komunisme yang dinisbatkan pada peristiwa G30 September, malah semakin menegarkan kesaktiannya sebagai ideologi negara. Demikian pula ancaman Islamisme yang tak akan mampu mendirikan Negara Islam di negeri ini. Berkat sokongan visi keagamaan moderat, Pancasila secara sah menjadi bagian dari nilai-nilai Islam. Hal sama dengan liberalisme yang konon tak sesuai dengan kultur bangsa yang kolektivis, komunitarian dan gotong royong. Dus, Pancasila adalah jalan terbaik bangsa yang tak dimiliki oleh negara manapun.  

Itulah kisah Pancasila jika dihadapkan dengan ideologi lain. Namun cerita menjadi lain ketika dihadapkan pada praksis pelaksanannya sendiri. Pertanyaan yang perlu diangkat ialah, kenapa sebagai ideologi bangsa, Pancasila tak juga menjadi sistem kognitif yang mengoperasionalkan nilai-nilainya menjadi kenyataan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untuk memahami hal ini, kita perlu mengetahui posisi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Slamet Sutrisno dalam Filsafat dan Ideologi Pancasila (2006) menggambarkan Pancasila di tiga ranah.

Di ranah kultur, Pancasila merupakan pandangan hidup dari setiap manusia Indonesia. Oleh karenanya, ia juga menjadi pandangan dunia kebudayaan kita. Dalam posisi ini, setiap kita memandang hidup berdasarkan nilai-nilai Pancasila, yang oleh Soekarno disebut sebagai ketuhanan yang berkebudayaan. Melalui pandangan ini, kita mengamalkan nilai-nilai ketuhanan dalam bentuk kerja kebudayaan demi kemanusiaan yang adil dan beradab.

Di ranah politik, Pancasila adalah dasar negara. Ini merupakan formalisasi nilai-nilai kultural, “menjadi negara”. Dalam posisi ini, Pancasila menjadi norma dasar negara (Staatfundamentalnorms) yang melandasi pembentukan konstitusi dan hukum. Dengan demikian, setiap produk kebijakan negara tak boleh menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Sedangkan di ranah sosial, Pancasila semestinya menjadi asas dari aktivitas sosial-politik warga negara. Ini berarti, semua organisasi sosial dan politik haruslah berasas Pancasila.

Dengan cara seperti ini, secara sempurna Pancasila menjadi ideologi kebangsaan kita. Statusnya sebagai nilai budaya, hukum dan politik ini membuatnya menjadi poros kehidupan bangsa. Pertanyaannya, kenapa Pancasila justru belum mampu menjadi ideologi kebangsaan ini? Kenapa di setiap dimensi kehidupan, ia selalu diabaikan? Akan kita lihat satu persatu.

Pertama, Pancasila tidak menjadi pandangan hidup karena kita tak memuliakan kemanusiaan dan keadilan sosial. Ketika Driyarkara misalnya, mengidealkan hakikat “manusia Pancasila” sebagai homo homini socius (manusia adalah makhluk sosial bagi sesamanya); kita ternyata lebih menempatkan diri sebagai serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Dimensi “sosial” yang mencerminkan kepedulian sosial tidak menjadi iman yang diamalkan. Padahal sejak awal Soekarno menegaskan watak nasionalisme dan demokrasi Pancasila sebagai nasionalisme dan demokrasi sosial. Artinya, keberadaan kita di bangsa ini, serta segenap aktivitas sosial dan politik semestinya diarahkan demi keadilan sosial tersebut.

Kedua, Pancasila tak lagi menjadi dasar bagi desain konstitusi. Tentu ada banyak kemajuan demokratis di dalam empat kali amandemen UUD 1945. Namun tidak sedikit kemunduran. Misalnya, desain demokrasi kita menjauhi model demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy) yang diamanatkan oleh sila keempat Pancasila. Ini terjadi melalui penghapusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara, yang dibarengi dengan terhapusnya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Utusan Golongan (UG).

Dengan terhapusnya GBHN, pembangunan kita tidak memiliki dimensi filosofis yang diturunkan dari UUD dan Pancasila. Ia kemudian hanya diganti oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Pendek, yang dirumuskan oleh pemerintah yang silih berganti. Demikian pula terhapusnya UG menandai raibnya kekayaan perwakilan politik kita, di tengah mandulnya partai politik dalam memperjuangkan aspirasi konstituen. Padahal desainer konstitusi kita, Muhammad Yamin menegaskan; perwakilan berbasis DPR, UG dan Utusan Daerah adalah prasyarat material agar demokrasi bisa ditegakkan melalui musyawarah-mufakat. Bukan negosiasi kepentingan berbasis pertarungan suara.  

Ketiga, Pancasila bukan satu-satunya ideologi politik organisasi masyarakat kita. Meskipun UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan telah mewajibkan semua organisasi sosial-politik berasaskan Pancasila. Namun tetap saja ada yang menolaknya. Ormas seperti Hizbut Tahrir misalnya, mengafirkan Pancasila dan tetap ingin memperjuangkan penegakan khilafah. Sayangnya pemerintah tidak bertindak tegas, karena tersandera oleh aturan hukum yang menunggu terjadinya tindakan kriminal, sebagai syarat bagi tindakan hukum.

 

Konstitusionalisasi

Berpijak dari kenyataan ini, kita perlu menguatkan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Artinya, kita perlu melakukan reideologisasi Pancasila mengingat sifat dasarnya yang masih murni normatif. Reideologisasi dimaksudkan untuk memperkuat bangunan ilmiah Pancasila serta membenamkan nilai-nilainya ke dalam kehidupan masyarakat dan negara. Hal ini bisa dilakukan melalui beberapa hal.

Pertama, rasionalisasi Pancasila. Hal ini memang PR besar bagi dasar negara kita ini, karena bahkan seorang Sutan Takdir Alisjahbana menyangsikan kekuatan Pancasila, sebab hanya terdiri dari lima kalimat yang bercerai berai. Akan tetapi studi Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (2011) misalnya, telah menyusun rasionalitas Pancasila ini melalui komparasi teoretik dengan teori-teori sosial-politik kotemporer untuk menguatkan dimensi teoretik dari tiap sila. Dalam terang rasionalitas ini, masing sila harus dibaca secara terkait, “saling mengandaikan dan mengunci”, sehingga membentuk pandangan yang bulat.

Setelah melakukan rasionalisasi internal (dalam rangka membaca Pancasila secara rasional), kita perlu mengembangkan rasionalisasi eksternal, melalui penubuhan rasionalitas Pancasila ke dalam ilmu pengetahuan. Artinya, Pancasila perlu diinternalisasikan ke dalam ilmu pengetahuan dan kurikulum pendidikan nasional, sehingga masyarakat pendidikan kita mampu berpikir secara Pancasilais. Dalam konteks ini pula perlu ada upaya serius merumuskan pendidikan kewarganegaraan berbasis rasionalitas Pancasila.    

Kedua, internalisasi Pancasila melalui penumbuhan penafsiran masyarakat atas Pancasila. Dengan demikian berbeda dengan Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) Orde Baru yang top down dan negara-sentris; internalisasi ini bersifat bottom up, karena memberikan kebebasan bagi semua elemen masyarakat untuk menafsirkan Pancasila berbasis kekayaan perspektifnya. Dengan cara ini akan lahir kekayaan penafsiran atas Pancasila, sehingga masyarakatpun ikut memiliki Pancasila.

Ketiga, konstitusionalisasi. Ini merupakan upaya konstitusional untuk menjadikan Pancasila sebagai pijakan evaluatif kebijakan politik dan produk hukum. Hal ini memang membutuhkan ijtihad kenegaraan tersendiri, atau jika diperlukan, pendirian sebuah “mahkamah Pancasila” sebagai agen institusionalnya. Karena posisi Pancasila sebagai dasar hukum, maka evaluasinya bisa disandarkan pada UUD 1945 yang merupakan turunan hukumnya. Dengan demikian, sebuah kebijakan bisa digugurkan ketika ia bertentangan dengan UUD yang merupakan ejawantah nilai-nilai Pancasila. Proses konstitusionalisasi pada level negara ini juga bisa dilakukan oleh masyarakat sipil melalui “demokratisasi Pancasila”.

Artinya, Pancasila menjadi basis etis dari kritik demokratis atas praktik kenegaraan kita.

 

Syaiful Arif

Koordinator Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan

Penulis buku Falsafah Kebudayaan Pancasila (2016)

Ikuti tulisan menarik Syaiful Arif lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu