x

Birokrasi Berbelit, Harga Selangit

Iklan

Azis Khan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menakar Birokrasi

Situasi ini menjadi penegas, bahwa birokasi pemerintah sebagai mesin administrasi rasional tidak lepas dari intervensi kepentingan politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Temuan  kelebihan pagu anggaran tunjangan professional guru sebesar IDR 23,4 Tberujung pada penilaian kurang profesionalnya birokrasi (Kompas 26/8/2016). Ini dilamatkan pada birokrasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan yang dianggap abai berkoordinasi dalam perencanaan anggaran negara. Penilaian ini bisa jadi representasi kinerja keseluruhan birokrasi dalam agregat nasional, karena yang jadi latar adalah efisiensi perencanaan anggaran belanja nasional dengan aksi pemangkasan anggaran belanja di hampir semua sektor pembangunan.Namun, penilaian ini seolah berhenti pada takaran “professionalisme” birokrasi. Tulisan ini ingin melihat sisi lain, terutama seputar orientasi dan posisi birokrasi.

 

Orientasi

Chilcote (2004) dan Heywood (2002) menarik hubungan logis-rational antara politik, birokrasi dan konsensus. Digambarkan bahwa latar politik itu ideologi. Berbagai asumsi ideologi pembangunan, seperti industrialisasi,modernisasi, kemajuan, stabilitas, dan ketertiban-keamanan selalu mewarnai berbagai kebijakan dan tindakan banyak pihak, termasuk pemerintah, dunia usahadan bahkan dunia pendidikkan. Sementara, ahli dan pelaku politik, politisi, bersifat ideologis. Hal ini dikaitkan terutama dengan kecenderungan semakin menguatnya hasratpada upayamenumpukkekayaan, uang dan kekuasaan – bahkan sering dengan carainstant misalnya melalui perilaku koruptif.Itulah orientasi dan latar ideologis yang telah menjadi karakter yang begitu menonjol dari para pegiat politik. Dalam konteks pembangunan dibanyak negara, politik dengan corak ideologi seperti itu masih menjadi panglima. Sementara orientasi keberpihakannya masih pada kepentingan kelompok tertentu dan umumnya jangka pendek.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka melihat ulang teori dan praktek politik memiliki konsekwensi perlunya proses “perlawanan” atas struktur professional yang ada. Termasuk di dalamnya sinisme atas berbagai kelompok dan asosiasi professional yang menurut Chilcote (2004) berujung pada perubahan radikal dalam memahami situasi-kondisi masyarakat. Yang dimaksud antara lain adalah terungkapnya hubungan antara entitas kunci (dunia usaha, pendidikkan, militer) dan bahkan penyusupan oleh badan intelijen dalam berbagai kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan luar negeri. Konsekwensi lain, berkembangnya pemahaman kritis terkait adanya penetrasi dan kontrol pemerintah - misalnya atas kegiatan riset dan publikasi akademik dengan berbagai implikasinya. Terungkap pula jaringan para tokoh berpengaruh yang mengendalikan berbagai perusahaan, yayasan-yayasan dan bahkan perguruan tinggi yang merefleksikan kapitalisme. Dalam tafsiran Chilcote situasi itu mempertegas fakta bahwa ilmu dan praktek politik, di Amerika sekalipun, perkembangannya bukan tanpa cacat. Ditarik ke kontek Indonesia, tidak terlalu sulit kiranya untuk beroleh padanan berbagai situasi tersebut dengan real kehidupan perpolitikan di tanah air: penetrasi dan intervensi kebijakan dalam situasi politik dimana kekuasaan ditempatkan sebagai panglima bertemali dengan perilaku koruptif. Poin ini agaknya sama sekali luputdalam menakar kinerja birokrasisaat kasus temuan kelebihan pagu anggaran itu terungkap.

Birokrasi, politik juga

Situasi di atas juga menjadi penegas, bahwa birokasi pemerintah sebagai mesin administrasi rasional tidak lepas dari intervensi kepentingan politik. Dalam beberapa kasus birokrasi justru telah menjadikepanjangan tangan politisi. Dengan begitu, bisa dimengerti mengapa cukupbanyak stigma negatif melekat baik pada definisi, peran dan fungsi birokrasi.Akibatnya, konsensus yang dibangun pun lebih sering mementingkan pada hasilyang seolah menguntungkan semua pihak. Penekanan semacam ini seringmenegasikan adanya perdebatan umum dan menutup-nutupi adanya fakta bahwa adakonflik diantara para pihak yang sedang berkonsensus. Lalu muncul suatu hegemoni.Dari kondisi inilah mengapa konsensus kemudian diakui hanyalah sekedar ilusi objektivitas.

Dari sekian stigma negatif yang ada, Heywood (2002) menarik pengertian birokrasi sebagai formalitas yang tidak efisien, tidak berarti, dan menyita banyak waktu. Maka “red tape” dengan konotasi sangat negatifdilekatkan sebagai simbol budaya dan etos kerja birokrasi. Dalam pengertian itu birokrasi juga dipahami sebagai mode dari organisasi, sebagai mesin administrasi negara, yang mengisyaratkan bahwa para birokrat ada dalam kontrol atau bahkan bagian dari politik.  Maka, selain sebagai mesin administrasi birokrasi juga dalam banyak kasus sebagai kepanjangan tangan kepentingan politik. Dalam beberapa kasus lain bahkan sudah sulit dibedakan antara birokrasi dan birokrasi politisi. Intinya, saat campur tangan politisi di dalam birokrasi – sebagai representasi kelompok kepentingan (partai politik dlsb) – begitu tinggi, maka birokrasi negara tak ubahnya sebagai mesin politis dari satu atau lebih kelompok kepentingan yang menempatkan orang-orangnya di jajaran birokrasi negara. Apapun yang dijalankan birokrasi akan sangat ditentukan kepentingan kelompok politisi. Dititik ini, politik adalah birokrasi dan birokrasi ya politik juga. Ini memberikan implikasi luas atas apa yang sebenarnya dilakukan negara atas nama pembangunan dan demokrasi. Kembali, dalam konteks Indonesia cukup mudah untuk sekedar menemukan representasi berbagai stigma negatif ini. Namun ini pun luput dalam menakar kinerja birokrasi terkait isu temuan kelebihan pagu anggaran belanja negara.

 

Akar masalah

Bila situasi politik dan kondisi serta posisi birokrasi di atas dijadikan takaran, maka penilaian atas kinerja birokrasi mungkin akan lebih luas dari sekedar unsur profesinalitas yang dianggap kurang.Maka fokus penilaian sejatinya masuk kepada hal-hal kunci, sebagai akar masalah. Antara lain bagaimana kepentingan dan agendapolitik masuk kedalam mesin administrasi negara yang disebut birokrasi. Misal saat anggaran belanja negara dikerangka dan direncanakan. Peranutama birokrasi sebagai pihak yang menerapkan atau melaksanakan hukum dankebijakan anggaran melalui administrasi urusan pemerintah, yang bagaimanapun telah menjadi pintu masuk politisiuntuk mencangkokkan berbagai agenda politiknya. Apalagi birokrat jugamemainkan peran penting dalam proses formulasi kebijakan, termasuk merencanakan anggaran belanja, dengan menawarkanadvis kebijakan kepada menteri didalam mengartikulasikan dan mengagregasikankepentingan menjadi seolah-olah kepentingan banyak pihak atau bahkankepentingan publik. Kepentingan politik dengan mudah bisa jadi agendabirokrasi dan agenda birokrasi negara bisa identik agenda kepentingan politiktertentu, terutama pada saat orang-orang birokrasi didominasi oleh politisi darikelompok dimaksud.Disisi lain, dengan stigma birokrasi yang hampir keseluruhan negatif, menjadimudah untuk ditebak hubungan perilaku birokrat politisi dan politisi itu sendiriterhadap kinerja birokrasi negara dan sekaligus pembangunan. Demikian puladalam hal kualitas dan keberpihakan kebijakan yang dibuatnya, dalam hal ini terkait rencana anggaran belanja negara.

Dikaitkan dengankecenderungan ideologis para politisi yang lebih mengutamakan orientasi menumpukkekayaan, uang dan kekuasaan itu, semakin tegas siapa yang palingbesar mengambil kesempatan dan manfaat dari proses pembangunan yang dijalankan birokrasinegara semacam itu. Publik jelas sebagai pihak yang (akan) mendapat kesempatan dan manfaatpaling minimal justru dengan biaya sosial yang jauh lebih besar. Dengan begitu,ketidak adilan dalam banyak hal dan isu pemerataan sudah bisa dipastikan akan semakinmewarnai secara dominan diskursus terkait manfaat dan keberhasilan pembangunan untuk hampir semua sektornya. Dalam situasi demikian, unsur-unsur penopangdemokrasi langsung maupun tak langsung jelas akanterabaikan. Dalam pengabaian inilahkonsensus – sebagai salah satu instrumen penopang demokrasi dalam kehidupanpolitik, bersemayam sebagai illusi: apakah rencana anggaran negara benar merupakan kristal konsensus lintas pihak yang dikerangka secara demokratis, misalnya.Pertanyaan ini penting, karena ketergantungan padapendekatan konsensus dalam pembuatan kebijakan sering meniadakan perdebatanumum, misalnya mengenai aspek kemanfaatan dan keberlanjutan dari suatu praktek pembangunan.Pendekatan konsensus juga sering dicurigai menutup-nutupi konflik antar para pihakyang berkepentingan. Sementara dalam prakteknya konsensus sendiri menurutpandangan banyak pihak tak akan pernah bisa menghasilkan sesuatu yangberkelanjutan dan bebas konflik; kecuali struktur kekuasaan didesak untukmengkalkulasi informasi terkait dampak dari tindakan manusia, terutama mereka yang hanya berorientasi pada kekuasaan semata. Harus adaperubahan ideologis dan sekaligus keberpihakan politik para politisi dan birokrat.Bicara kinerja birokrasi, setidaknya itulah sumber dari segala masalah yang harusnya menjadi fokus dan sekaligus takaran saat temuan kelebihan pagu anggaran itu terungkap dan menjadi perbincangan di ruang publik. Di titik ini agenda reformasi birokrasi beroleh roh dan relevansinya, terbebas dari kesan sekedar jargon dan pencitraan.

Dalam situasi politik demokrasi dan birokrasi semacam itu, maka hanya menilai dan mempertanyakan kurang profesionalnya birokrasi, sangat jauhdari memadai, karena tidak menyentuh sama sekali akar masalah sebagaimana diuraikan di atas. Yang justru lebih patut dibincang selanjutnya adalah efektivitias dan keberpihakan birokrasi dan para birokratnya; campur tangan politisi atas jalannya fungsi dan peran birokrasi; proses perumusan kebijakan; instrumen demokrasi yang dijalankan birokrasi; dan kapasitas birokrasi dalam menjalankan peran, tugas dan fungsinya. Di atas semua itu adalah pertanyaan bagaimana setiap pejabat publik kemudian mempertanggung-jawabkan pelaksanaan tugasnya tidak hanya untuk atasannya, tidak juga hanya kepada partai politik yang ”diwakilinya”, namun kepada masyarakat luas atau publik? Pertanyaan-pertanyaan ini jauh lebih mengena dalam mengurai hasil temuan itu dan akan jauh lebih bermakna bagi kemanfaatan dan keberlanjutan pembangunan Indonesiaselanjutnya daripada sekedar langsung menilai dan menghakimi profesionalitas jajaran birokrat.Akan jauh lebih menarik dan bermanfaat meletakan kasus temuan kelebihan pagu anggaran dalam konstelasi ini semua. Implikasinya, aksi tindak lanjut temuan akan jauh lebih luas; bukan sekedar memangkas anggaran belanja sektor. Membincang hasil temuan hanya dalam dosis sekedarnya, tak ubahnya menggaruk yang tak gatal.

 

Oleh Azis Khan*)

*) Penulis adalah pemerhati kebijakan publik; domisili di Bogor

Ikuti tulisan menarik Azis Khan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler