x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Destruksi Kreatif Menjadikan Hidup Kita terus Berubah

Proses inovasi akan terus berjalan sepanjang manusia terus bertanya dan mencari tahu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Istilah ‘destruksi kreatif’, yang dinisbahkan kepada ekonom Joseph Schumperter, kerap dipakai untuk menggambarkan proses inovasi: penghancuran yang lama untuk digantikan dengan yang baru. Ketika produk, jasa, atau proses tertentu sudah berjalan mapan tiba-tiba badai berembus kencang sehingga terjadi kekacauan. Produk, jasa, maupun proses lama terpinggirkan oleh yang baru.

Dulu, hanya sedikit orang di kota kecil yang punya pesawat telepon di rumah mereka. Hingga akhir 1980an, pesawat telepon (fixed line) merupakan kelengkapan rumah yang relatif mewah. Saya masih ingat betapa sukar mengirim kabar dari Bandung ke orang tua karena di rumah tidak ada pesawat telepon. Begitu pula sebaliknya.

Jika ingin mengirim kabar, saya—juga siapapun yang hidup di masa itu dan tidak punya pesawat telepon—akan menulis surat yang diterima satu minggu hingga 4 hari kemudian, tergantug jenis layanan pos yang digunakan. Bila ada kabar darurat yang ingin segera sampai, orang memakai jasa telegram. Mengirim uang pun masih memakai wesel.

Namun, semua itu sudah berubah. Pada pertengahan 1990an, mulai masuk telepon genggam (handphone), tapi peredarannnya masih terbatas, harga nomor telepon pun mahal—ketika itu tak bisa membeli nomor baru semurah sekarang. Telepon umum masih cukup banyak, sebagaimana masih cukup banyak kita jumpai kotak pos di pinggir jalan—tempat kita memasukkan surat atau kartu pos untuk dikirim.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lanskap komunikasi kemudian berubah dengan kehadiran jaringan internet di sini. Mula-mula, perubahan yang ditimbulkan berjalan perlahan. Pada pergantian milenium lalu, masih sedikit perusahaan dotcom, meskipun sempat terjadi booming, tapi redup kembali. Sebagian orang melaju cepat dengan ide-ide pemanfaatan internet, seperti untuk portal berita, tapi sayangnya sebagian masyarakat belum bisa mengakses internet karena keterbatasan infrastruktur.

Badai perubahan memang terjadi di luar negeri, tapi embusannya yang dahsyat sanggup menimbulkan kekacauan (disrupsi) di sini. Sebelum memakai telepon genggam yang lumayan berat, saya sempat memakai pager untuk berkomunikasi. Mirip pesan singkat (SMS), tapi kita tak bisa menulis sendiri pesannya, melainkan harus dengan bantuan operator. Namun sejak kehadiran internet dan telepon genggam itu, perubahan demi perubahan berembus dan mengubah lanskap aktivitas masyarakat, bukan hanya bisnis, tapi juga cara hidup kita.

Ketika telepon genggam datang, pager pun berlalu. Kaset video mulai menghilang dan digantikan dengan compact disc, tapi tak bertahan lama ketika orang dapat menyimpan data dalam jumlah besar dalam hard disk atau flash disk, dan kini orang menyimpannya di cloud. Dulu, kita sukar menemukan peta kota yang rinci hingga ke jalan-jalan tikus, kini kebutuhan akan peta dipenuhi oleh Google Maps. Buku cetak ditemani oleh buku digital dalam beragam format—meskipun hingga kini hanya sedikit penerbit domestik yang menyediakan e-book.

Disrupsi bukan hanya pada produk, tapi merambah ke jasa juga perdagangan. Mencari tempat makan yang cozy semakin mudah oleh kehadiran situs-situs kuliner. Membeli barang apa saja, kita dapat menemukannya di situs dagang—dan praktik bisnis e-commerce semakin berkembang ditopang oleh institusi perbankan. Mau uang digital, tinggal memilih perusahaan penyedianya. Transaksi keuangan bisa dilakukan di mana saja.

Jasa terbaru yang sempat menimbulkan guncangan sosial ialah layanan pesan taksi dan ojek dari aplikasi berbasis internet. Dibandingkan disrupsi lainnya, guncangannya terasa keras ketika penyedia jasa serupa dengan model bisnis lama mulai terganggu. Masyarakat pemakai jasa transportasi ini jelas merasa diuntungkan, sehingga tarik-menarik antara kepentingan masyarakat dan kerepotan pelaku bisnis menghadapi disrupsi ini sempat menjadi pemberitaan selama beberapa bulan.

Gelombang kekacauan (disrupsi) yang berasal dari luar pada akhirnya sampai juga di sini—guncangannya sulit dielakkan. Ini tak ubahnya ‘kepak sayap kupu-kupu di Jamaika menimbulkan badai di Jakarta’. Sayangnya, destruktif kreatif yang terjadi ini bukan sekedar kepak sayap kupu-kupu, tapi perubahan yang mendasar.

Tapi, tak semua destruksi kreatif menimbukan guncangan hebat: orang masih lebih suka membaca buku cetak ketimbang buku digital; orang memang suka menonton film di jaringan teve, tapi sekarang orang mulai menyukai kembali menonton di bioskop—ada kehidupan sosial yang hilang dan ingin diraih kembali. Betapapun, disrupsi akan terus terjadi sepanjang manusia tak henti mencari tahu. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler