x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Buku Abadi karena Dibaca

Sebuah karya akan abadi bila terus dibaca, bukan dibiarkan teronggok di rak-rak perpustakaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Masih adakah yang membaca novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Buya Hamka atau Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana atau Azab dan Sengsara karya Merari Siregar? Maklum, karya-karya tersebut diterbitkan kira-kira 80 hingga 100 tahun yang silam—dengan kehidupan masyarakat yang jauh berbeda dari masa sekarang.

Kelihatannya masih cukup banyak (setidaknya ada) yang membaca karya penulis yang menorehkan kecemerlangan pada masa itu. Karya Buya Hamka belum lama berselang bahkan difilmkan oleh sutradara Sunil Soraya. Layar Terkembang masih dibahas dalam ruang kuliah sastra di perguruan tinggi. Chairil Anwar dan karya-karyanya dibicarakan kembali dan menjadi laporan khusus Majalah Tempo; sejumlah figur mashur membacakan puisi-puisinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Buku (novel, cerpen, puisi, maupun buku non-fiksi) akan abadi—setidaknya bila dibandingkan usia penulisnya—bila terus dibaca, oleh siapapun. Keabadian yang relatif. Lebih penting dari itu, buku abadi karena dibaca, bukan sekedar disimpan di rak-rak perpustakaan. Mengapa begitu? Oleh karena ‘ruh’ buku itu baru akan hidup ketika dibaca. Pembacaan menjadikan teks dalam buku itu memiliki makna, memasuki alam pikiran pembacanya, memengaruhi pandangan dan semangat pembacanya, dan bahkan mungkin menggerakkannya.

Buku yang hanya teronggok di rak-rak perpustakaan tidak ubahnya lukisan Vincent van Gogh yang dibingkai tanpa pernah ditatap oleh pemiliknya atau siapapun yang berlalu di dekatnya. Kepedihan hati pelukis Belanda itu tak akan menular dan memasuki alam pikiran manusia sepanjang lukisan diri itu hanya menggantung di dinding tanpa seorang pun menatapnya dan menyesap kepedihan yang dirasakan van Gogh.

Seorang penulis cerita menuangkan imajinasi, pikiran, dan perasaannya hingga beratus halaman. Niscaya ia berharap orang-orang akan membacanya, kalaupun tidak membicarakannya, sebab melalui pembacaan itulah apa yang ia ceritakan tidak sia-sia, menjadi hidup, dan bergerak memasuki alam pikiran pembacanya. Ketika karyanya hanya tersimpan di rak dan tak pernah dibaca, kelirukah jika kita menyebutnya ‘hidup segan, mati tak mau’. Jika buku itu pernah dibaca, namun kemudian dilupakan orang, hidup buku itu telah berakhir—hingga ada orang membacanya kembali, maka buku itu pun hidup kembali.

Banyak buku berusaha dibunuh dengan cara dilarang diterbitkan, diedarkan, disimpan, dibaca, bahkan sebagian buku dibakar. Hanya rasa ingin tahu manusia yang membuat buku itu tidak jadi mati atau hidup kembali. Orang-orang mencarinya di pasar gelap sebagaimana dulu pernah terjadi di negeri ini ketika sejumlah buku dilarang beredar.

Manusia hidup dan mati silih berganti, tapi sebagian buku karya manusia masih abadi hingga sejauh ini. Sebagian orang masih membaca Republik yang ditulis oleh Plato kira-kira 360 tahun Sebelum Masehi. Penggemar teater masih bisa menonton pagelaran Antigone, drama yang ditulis oleh Sopokles yang bahkan mati sebelum Republik terbit. Sepanjang masih ada pembacanya, sebuah buku akan abadi. (Foto: pengunjung di perpustakaan Habibie, tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler