x

Iklan

Luthfi Ersa Fadillah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Anak Muda yang Menerabas Batas

Ketika konten privat disebar ke ruang publik,maka konten tersebut harus siap bertarung dengan segala bentuk penilaian nilai & norma di masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Bila kau tak pernah buat dosa. Silahkan hinaku sepuasnya. Kalian semua suci aku penuh dosa”. Begitulah sepenggal bait lagu tentang resistensi kedua anak muda yang kini tengah berhadapan dengan segala bentuk labelisasi negatif masyarakat atas tindak tanduk perilakunya yang dianggap membahayakan bagi generasi sesamanya. Tentu kita tahu bersama siapa keduanya, yakni Awkarin dan Young Lex. Tidak ada yang salah dengan keinginan individu untuk mengekspresikan identitas dirinya. Hanya, pada dasarnya masyarakat memiliki batas norma yang sewaktu-waktu dapat bereaksi ketika individu justru bertindak di luar norma yang sudah stabil atau minimal sudah disepakati bersama.

Tidak hanya Awkarin, beberapa anak muda yang mengatasnamakan ekspresi identitas diri kini juga menghadapi masalah yang serupa. Salah satu di antaranya adalah Anya Geraldine. Kini Awkarin dan Anya dilaporkan oleh KPAI atas konten-konten yang ada di media sosial mereka. Ada hal menarik untuk dibahas tentang gejala sosial ini, yakni semacam pola kesalahan berulang yang menyebabkan masyarakat bereaksi negatif kepada postingan mereka dan respon yang keliru terhadap reaksi masyarakat kepada dirinya sendiri.

Pertama-tama bila kita menggunakan pendekatan imajinasi sosiologis, ekspose keseharian hingga aktivitas asmara mereka berdua sebetulnya adalah ruang privasi mereka sendiri. Bahkan, segala benda yang digunakan untuk merekam video di vlog masing-masing adalah benda personal dan hak guna ada di tangan mereka. Kita juga bisa mengestimasi bila terjadi hal yang tidak diinginkan dan merugikan, pastilah itu hanya akan menjadi personal trouble bagi mereka saja.

Kesalahan justru dilakukan ketika mereka mempublikasi hal-hal privat tersebut ke ruang publik. Artinya, mereka seharusnya sejak awal sadar bahwa ketika konten itu disebar melalui media sosial online dalam platform apapun maka segera setelahnya konten itu tidak lagi menjadi konten pribadi tetapi konten publik, seberapapun intimnya. Cepat atau lambat masyarakat akan menggunakan standar sistem nilai sosial yang secara objektif memang diakui di masyarakat untuk memindai apakah suatu tindakan itu dianggap menyimpang atau tidak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sosiolog dari Perancis, Emile Durkheim percaya bahwa masyarakat memiliki kendali penuh untuk mengatur segala perilaku seorang individu. Individu diharap patuh dengan norma yang sudah disepakati bersama. Tujuannya jelas, agar tidak terjadi chaos di dalam masyarakat. Bila kemudian kita melihat anak-anak muda itu mendapat reaksi negatif dari masyarakat (dan segera menyusul beberapa lembaga formal terkait) atas konten media sosialnya, itu berarti alarm bagi mereka berdua bahwa kemungkinan besar ada sesuatu yang melampaui batas-batas normal yang dipatuhi oleh masyarakat atau memang berpotensi menyebabkan gangguan dan kerugian pada pihak lain secara langsung maupun tidak langsung. Normalnya, individu akan diam sejenak untuk mengoreksi segala perilakunya di masyarakat.

Nalar sosiologis yang muncul adalah bukan lagi soal apakah pacaran disertai ciuman juga pelukan, berkata kasar masih batas wajar lalu liburan ke luar daerah berdua dengan pasangan yang tidak sah baik oleh negara maupun agama dianggap baik atau buruk tetapi apakah masyarakat akan menerima atau tidak tindakan itu. Durkheim percaya, hampir mustahil bahwa ekspresi individualitas akan sebegitu otonomnya hingga mampu mengalahkan nilai komunal dan kemudian bisa bertindak sesuka hati.

Baik Young Lex, Awkarin maupun Anya sama-sama melakukan pembelaan yang kurang tepat sasaran. Salah satunya, kita seringkali mendengar pernyataan, “Ya, emang gue orangnya kaya gini” untuk melegalkan tindakannya sendiri. Lucunya, bahkan kita dapat mendapat pola yang sama dalam lirik lagu mereka.

Argumentasi terfatal mereka adalah penggunaan modal simbolik dan ekonomi untuk membenarkan tindakannya. Bagi mereka berdua, prinsip berdikari ekonomi seharusnya membebaskan mereka untuk bergaya dan mengekspresikan diri tanpa batas. Modal ekonomi dijadikan tameng paling strategis untuk menghindar dari tuntutan bersikap sesuai norma di masyarakat. Ini sama saja mengatakan bahwa setiap orang yang bisnisnya berhasil boleh (atau setidaknya melebihi orang lain) untuk melakukan apapun yang ia inginkan. Padahal, pemindaian nilai-norma sosial di masyarakat tidak melihat berapa total kekayaan, kesuksesan bisnis dan apapun status sosialnya. Ketika individu tidak bertindak selayaknya anggota masyarakat lain, maka ia akan diberikan hukuman, entah itu bersifat legal atau sekedar tekanan sosial.

Keinginan untuk menerabas batas sebetulnya bukan hal yang aneh bagi anak muda. Hal itu dibuktikan bahwa anak muda difasilitasi secara alamiah sebuah semangat menggebu, harapan yang tinggi, keinginan yang sangat kompleks dan beragam disertai fisik yang masih bertenaga. Kita hanya perlu mempertimbangkan segi sosiologisnya dengan sebuah pertanyaan, “Apakah tindakan menerabas batas oleh anak muda mendorong progresivitas dan perubahan yang lebih baik di masyarakat?”.

Saya ambil contoh, ada sebuah kisah, seorang anak perempuan di Pakistan yang masih duduk di bangku sekolah berpikir untuk melawan sistem penindasan pemerintahan Taliban dengan menyuarakan hak-hak perempuan untuk bersekolah. Ia jelas menerabas batas-batas yang bisa dibilang membahayakan dirinya, dan terbukti, ia kemudian ditembak oleh kelompok bersenjata Taliban yang kontra atas pemikirannya dan pilihan yang mungkin saja tidak akan dipilih oleh anak seusianya. Dan, nama anak itu adalah Malala Yousafzai.

Di usianya sekarang, jelas Malala adalah anak muda yang dengan sengaja menerabas batas-batas yang menurutnya tidak memberikan keadilan sosial bagi sesama, khususnya perempuan demi perubahan struktur sosial yang lebih baik di sekitar lingkungannya. Atas dasar itulah ia bertindak, bukan demi keuntungan pribadi. Tak khayal apabila ia diberikan Nobel Perdamaian.

Pada akhirnya, sekali lagi, daripada kita menghujat mereka, agaknya kita lebih perlu mengajak anak-anak muda vlogger atau selebgram yang sedang bermasalah itu untuk tidak hanya sibuk mengekpresikan kemesraan, kelebihan materi dan keseharian mereka semata (bahkan kebencian terhadap sistem nilai masyarakat itu sendiri atas nama “karya”) tetapi juga menilik apakah yang mereka maksud dengan ekspresi kebebasan dan ekpresi identitas itu memberikan dampak positif bagi masyarakat secara umum atau sebetulnya menguntungkan diri mereka sendiri saja.

Ikuti tulisan menarik Luthfi Ersa Fadillah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler