x

Iklan

fajar kurnianto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Golkar dan Pencapresan Jokowi

Golkar mencapreskan Jokowi pada pemilu 2019. Keputusan politik yang cukup berani dan cepat. Apakah ini sekadar untuk mendapat tempat di kabinet Jokowi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Partai Golkar di bawah Setya Novanto benar-benar mengembalikan partai berlambang beringin ini ke panggung kekuasaan, mendukung pemerintah yang berkuasa. Sebelumnya, Golkar di bawah (kubu) Aburizal Bakrie memilih menjadi oposisi bersama Gerindra, PKS, dan PAN dalam barisan Koalisi Merah Putih (KMP). Rupanya, pilihan menjadi oposisi bukan tradisi Golkar. Golkar pada akhirnya menyatakan keluar dari KMP dan berbalik menjadi pendukung pemerintah.

Jokowi rupanya menyambut hangat dukungan itu dengan memberikan pos Kementerian Perindustrian kepada salah satu kader Golkar, Airlangga Hartarto, pada reshuffle jilid II pekan lalu. Golkar pun seperti membalas budi Jokowi dengan keputusan rapat pimpinan nasional (rapimnas) pada 28 Juli lalu yang menetapkan Jokowi sebagai calon presiden (capres) pada pemilu 2019. Jokowi menjadi capres Golkar, sesuatu yang pertama kali terjadi. Biasanya, pemilihan capres di Golkar melalui sistem konvensi atau musyawarah nasional.

Banyak pihak yang menilai keputusan Golkar itu terlalu dini dan bisa saja berubah. Jokowi sendiri yang hadir dalam rapimnas Golkar tersebut tidak menanggapi sikap politik Golkar yang mencapreskan dirinya. Ia hanya mengingatkan Golkar untuk terus mendukung segala kebijakan pemerintah secara konsisten untuk membuktikan bahwa Golkar benar-benar mendukungnya penuh secara konkret. Jokowi tepat. Pemilu 2019 masih tiga tahun lagi, sementara dirinya harus bekerja keras menyukseskan kepemimpinannya hingga akhir masa jabatan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jokowi tampaknya belum terlalu memikirkan pemilu 2019 untuk saat ini. Jika pemerintahannya sukses sesuai dengan program-program yang dicanangkannya, baik melalui apa yang disebutnya sebagai “revolusi mental” atau “nawacita”, rakyat juga secara otomatis akan mendukungnya menjadi capres pada pemilu 2019. Sebaliknya, jika ia gagal atau tidak betul-betul merealisasikan apa yang dia katakan, rakyat akan “menghukumnya”, dan keputusan Golkar mencapreskan Jokowi mungkin saja berubah.

Perubahan dalam politik adalah sesuatu yang biasa terjadi. Dalam bahasa politikus, politik itu disebut dinamis. Padahal, dalam politik perlu ada ketegasan dan konsistensi. Jadi, politik tidak menjadi oportunis atau pragmatis, yang selalu berubah-ubah seperti tanpa pendirian atau ideologi politik, hanya bergantung ke mana angin tengah bertiup. Dalam konteks ini, keputusan rapimnas Golkar mencapreskan Jokowi adalah langkah yang justru menjadi beban bagi partai ini. Apakah Golkar akan konsisten dengan hal ini? Atau ada agenda lain di baliknya?

Golkar tampaknya hanya ingin menegaskan kembali sebagai partai yang selalu dekat dengan kekuasaan dan berada di dalamnya atau menjadi bagian darinya. Selain itu, melihat kerja dan kinerja Jokowi yang cukup baik, Golkar merasa Jokowi sosok yang menjanjikan untuk periode berikutnya. Di samping itu, Golkar tampaknya berpikiran sejauh ini belum ada tokoh menonjol yang bisa menyaingi popularitas Jokowi. Apalagi, seperti pengalaman presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berhasil menjadi presiden selama dua periode, petahana punya kans besar menjadi pemenang.

Harus diakui, Jokowi yang tampaknya sederhana dalam penampilan dan gaya kepemimpinan, ternyata mampu mengonsolidasikan politik dengan sangat baik, meskipun sebenarnya dia bukan politikus. Beberapa partai politik yang semula tidak mendukungnya berubah mendukung. Sebelum Golkar, PAN sudah lebih dulu keluar KMP dan mendukung pemerintahan Jokowi pada September tahun lalu. Jokowi pun mengganjar mereka dengan memberi jatah menteri. Ini menjadikan dukungan terhadap pemerintahan Jokowi makin kuat di parlemen.

Jokowi yang semula dianggap “boneka” atau “petugas partai” yang diasumsikan berada di bawah kuasa Megawati, Ketua PDI Perjuangan, ternyata juga tidak terbukti. Jokowi independen dengan segala sikap politik dan kebijakannya. Beberapa kebijakannya bahkan berseberangan dengan partainya, PDI Perjuangan. Misalnya, dalam hal memilih kapolri. Ketika itu, PDI Perjuangan mendukung Budi Gunawan. Ternyata, Jokowi memilih Badrodin Haiti sebagai kapolri. Kini, jabatan tersebut dipegang oleh Tito Karnavian. Jika Jokowi adalah “presiden boneka” atau “petugas partai” ia pasti akan memilih Budi Gunawan sebagai kapolri.

Keputusan Golkar menjadikan Jokowi sebagai capresnya pada pemilu 2019 mungkin sebuah perjudian politik yang besar, tetapi punya peluang yang besar. Pada saat partai-partai lain masih menunggu tahun 2019, Golkar sudah menetapkan pilihan. Masalahnya tinggal sejauh mana konsistensi Golkar dengan keputusannya itu. Apakah itu sakadar rayuan politik sebagai bentuk politik Golkar masuk ke lingkar kekuasaan dan mendapatkan jatah menteri? Atau, ini seperti slogan yang pernah dikatakan Jusuf Kalla: “lebih cepat lebih baik”?

Golkar telah menegaskan keputusannya memilih Jokowi jadi capresnya. Keputusan yang tentu saja sudah dipikirkan matang secara politis dan dengan pertimbangan kalkulasi politik dalam perspektif Golkar. Mungkin Golkar merasa kali ini intuisi dan insting politiknya tepat. Belum lama ini (24/7), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil surveinya tentang kepuasan warga terhadap kinerja Jokowi-JK selama dua tahun memerintah. Hasilnya, 67 persen warga menyatakan puas, sementara 30 persen menyatakan kurang puas.

Survei tersebut juga menyebutkan, kepuasan warga meningkat dibandingkan survei pada Juli tahun lalu yang hanya 41 persen. Berdasarkan survei SMRC juga disebutkan bahwa tingkat optimisme rakyat dengan kepemimpinan Jokowi lebih baik pada tahun ini, yaitu 72 persen. Survei ini tentunya makin membuat Golkar makin “bergairah” mendukung Jokowi. Namun, sekali lagi, dalam politik tak ada yang pasti. Dulu Golkar berada dalam barisan KMP mengusung Prabowo Subianto. Setelah Prabowo kalah, seiring waktu berjalan, dan melihat PAN berubah haluan mendukung pemerintahan Jokowi, Golkar pun ikut berubah, tidak hanya mendukung tetapi juga mencapreskan Jokowi.

Keputusan Golkar mencapreskan Jokowi tentunya sah-sah saja. Namun, ketika politik pada akhirnya hanya diterjemahkan sekadar untuk mendapatkan kekuasaan atau dianggap sebagai sekadar urusan kalah-menang, dan partai-partai politik tidak punya basis ideologi yang jelas yang dipegang teguh dan diperjuangkan untuk direalisasikan saat berkuasa, sekadar politik oportunis dan pragmatis serta mengabaikan konsistensi, sepertinya politik telah kehilangan makna dan etikanya.

 

 

Ikuti tulisan menarik fajar kurnianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler