x

Calon Gubernur DKI Jakarta Agus Harimurti Yudhoyono didampingi Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan dan angota tim pemenangan Rico Rustombi saat menggelar konferensi pers terkait keputusannya mundur dari militer dan mencalonkan diri di

Iklan

ari susanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Kekeluargaan?

Visi, misi dan tujuan koalisi kekeluargaan nampak terabaikan, koalisi hanya mengedepankan ego kekuasaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Koalisi kekeluargaan gagal terjalin, partai politik melakukan manuver sesuai dengan kehendak dan keinginannya masing-masing. Ketidaksepahaman akan koalisi kekeluargaan, itu yang menyebabkan perceraian. Ketidaksepahaman, terkadang bukan persoalan pokok/prinsip (Primer), namun hanya persoalan cabang (sekunder). Mengedepankan egoisme dan kepentingan kelompok, menjadi dasar perceraian akan membangun keluarga yang barokah. Tujuan kekeluargaan yang dicita-citakan untuk membuat anggota keluarga bahagia, kini sudah sirna, para partai politik lebih senang bertarung guna menjaga kewibawaan partai.

Gagal Kekeluarga

Menjelang pendaftaran calon gubernur dan calon wakil gubernur tanggal 22 september lalu, koalisi kekeluargaan tak kunjung usai dalam menentukan posisi cagub dan cawagub. Apa sesungguhnya yang menyebabkan ketidakcocokan akan koalisike keluargaan ini. Penulis melihat bahwa, ketidaksesuaian akan koalisi bermula dari pengusungan nama cagub dan cawagub. Dari semula beredar, koalisi kekeluargaan beranggota partai Demokrat, PDI-P, Gerindra, PPP, PAN, PKS dan PKB, tidak adanya titik temu. Dari uraian ini dapat terlihat, bagaimana visi, misi dan tujuan koalisi kekeluargaan nampak terabaikan, koalisi hanya mengedepankan ego kekuasaan.

Keadaan semakin memanas saat, PDI-P hengkang dari koalisi kekeluargaan, dengan mendeklarasikan cagub dan cawagub DKI dan Calon Kepala daerah lainnya pada rabu malam (21/09). Pemilihan Basuki tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot, di anggap pas dalam mewakili PDI-P dalam pentas pilgub DKI. Di perkuat dengan salah satu petinggi PDI-P, menyampaikan bahwa pemilihan gubernur rasa pemilihan presiden. Tanda pertarungan, sudah nampak jelas di saat PDI-P mendeklarasikan Ahok dan Djarot. Penulai menilai bahwa, deklarasi ini adalah penyampaian kepadamasyarakat bahwa PDI-P adalah partai penguasaa, pemenag pilpres 2014, sehingga harus menjaga kewibawaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak ingin kalah, mendekati waktu injury time, petinggi partai Demokrat, PKB, PAN dan PPP merapatkan barisan. Dan konsolidasi masih memberi ruang untuk Gerindra dan PKS untuk ikut serta, namun tak kunjung merapat. Akhirnya koalisi empat partai mengumumkan cagub dan cawagub, dengan tidak disangka oleh public, koalisi ini menghadirkan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai cagub berpasangan dengan Sylvina sebagai cawagub. Sehari kemudian, Gerindra dan PKS mendeklarasikan Anies Rasyid Baswedan sebagai cagub dan Sandiaga Uno sebagai cawagub. Sedangkan, Yusril yang digadang-gadang akan maju sebagai petarung petahana, kandas tak ada partai yang mengusungnya. Dari perjalanan maneuver partai, penulis menilai perpecahan ini ditimbulakan karena, pertama, ketidaksepahaman akan calon yang diusung. Kedua, persoalan prestise kepartaian, ketiga, persoalan kredibil atas partai.

 

Nihil Substansi

Ada yang dilupakan dalam agenda koalisi tersebut, yaitu perumusan akan visi, misi, maksud dan tujuan serta program bersama. Sesungguhnya, yang diharapkan masyarakat adalah rancangan program dari cagub dan cawagub dalam mnyelesaikan persoalan-persoalan di DKI Jakarta. Dari polah, tingkah laku partai di atas, yang terjadi adalah kenihilan akan substansi (isi). Sehingga nampak, bahwa sesungguhnya rakyat menjadi korban akan, kata-kata manis dan jargon partai yang mengatasnamakan rakayat.

Jika kita lihat, dalam sambutan deklarasi sekjen PDI-P menyampaikan, bahwa program-program dari cagub dan cawagub ke depan membela kepentingan rakyat. Kemudian, dalam sambutan Agus Yudhoyono, juga menyampaikan hal yang sama bahwa program kedepan adalah menyelesaikan persoalan Jakarta dan kepentigan rakyat. Anies, juga menyampaikan bahwa program ke depan akan memberi keadilan pada rakyat. Sehingga, hepotesis penulis dapat dibenarkan, bahwa egoisme dan keangkuhan kekuasaan partai, mengesampingkan kepentingan rakyat. Rakyat hanya menjadi tumbal atas politik kekuasaan.

Pertarungan pemilu DKI kali ini, para petinggi partai menjadi dalang dalam memainkan proses demokrasi di Jakarta. Bagaimana peran Ibu Megawati, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Prabowo, Zulkifli Hasan, dan ketum yang lainnya, nampak menjadi pemain dalam pertarungan perpolitikan di ibukota Jakarta. Sehingga, kredibilitas para ketua umum partai dipertaruhkan dalam proses pemilu Februari 2017 mendatang.

Proses demokrasi jangan sampai terciderai oleh janji-janji kampenye politik palsu, bukan semata-mata menjual nama rakyat, yang bertentangan dengan misi kerakyatan. Setiap calon harus menampilkan program bermisi kerakyatan (blue print), dengan program yang nyata dirasakan oleh rakyat. Itulah jalan terbaik dalam menguji kredibilitas partai, bukan diukur dengan hanya memenangkan melalui jumlah suara, dan lantas hilangkan suara rakyat.

Ikuti tulisan menarik ari susanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler