x

Soe Hok Gie. (net)

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Andai Soe Hok Gie Tak Mati Muda ~ Christianto Wibisono

Andai masih hidup, Soe Hok Gie punya kemampuan untuk menjadi elite di pemerintahan, termasuk menteri kabinet.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Christianto Wibisono
Penulis

Aksi Aksi Tritura: Sejarah Demonstrasi Mahasiswa 1966

 

"Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua." (Catatan Seorang Demonstran)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Mulutmu harimaumu. Entah mengapa Soe Hok Gie mengutip kata-kata itu dan terjadi pada dirinya sendiri, yang wafat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 pada 16 Desember 1969 di Gunung Semeru karena gas beracun. Saya akrab dengan dia meski berbeda kampus. Dia di Rawamangun sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI. Saya mahasiswa Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI di kampus Salemba.

Sebenarnya, pergolakan politik sejak 1 Oktober 1965 lebih banyak berlangsung di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Wujudnya berupa pembunuhan massal terhadap massa PKI oleh militer dan partai politik yang mengalami tekanan atas aksi sepihak PKI dalam reformasi agraria pada 1963-1965.

Grafik eksistensi PKI memang ajaib karena dalam pemilu 1955, atau hanya tujuh tahun setelah pemberontakan Madiun, PKI menjadi empat besar pemenang pemilu di bawah PNI, Masyumi, dan NU. Adapun PSI mengkeret menjadi partai gurem, hanya punya lima kursi di DPR.

Ekonomi Indonesia kemudian merosot karena nasionalisasi perusahaan Belanda, terutama Koninklijke Paketvaart Maatschappij, tanpa kemampuan melanjutkan jasa Regular Liner Service, yang mengakibatkan biaya logistik di Nusantara termahal di dunia. Ongkos angkut jeruk Pontianak ke Jakarta lebih mahal daripada jeruk Mandarin Shanghai ke Tanjung Priok.

Pada 25 Agustus 1959, Menteri Keuangan Djuanda dan Menteri Muda Keuangan Notohamiprojo melakukan sanering kedua dalam sejarah RI setelah kebijakan serupa pada 1950 oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara. Djuanda menghapus nol dari pecahan Rp 1.000 dan Rp 500 sehingga nilainya menjadi Rp 100 dan Rp 50.

Situasi perekonomian Indonesia terus memburuk. Menteri Keuangan Sumarno dan Gubernur Bank Sentral Jusuf Muda Dalam pada 13 Desember 1965 menukar uang Rp 1.000 lama dengan uang Rp 1 baru. Hal ini memicu inflasi 650 persen dan harga melambung sehingga mahasiswa bergerak sejak 10 Januari 1966 hingga terbitnya Supersemar pada 11 Maret 1966.

Sehari setelah menerima Supersemar, Soeharto membubarkan PKI dan menahan 15 menteri kabinet, termasuk dua wakil perdana menteri Subandrio dan Chairul Saleh serta Gubernur BI Jusuf Muda Dalam. Pada Juni 1966, Sidang Umum V MPRS meralat ketetaan MPRS 1963 yang mengangkat Sukarno sebagai presiden seumur hidup dan mengukuhkan Supersemar menjadi Ketetapan MPRS yang tidak bisa dicabut lagi oleh Presiden Sukarno. MPRS juga menugaskan Soeharto membentuk Kabinet Ampera sebagai Ketua Presidium 25 Juli 1966.

Pada 17 Agustus 1966, Presiden Sukarno masih berpidato di depan massa di lapangan Monas yang berjudul "Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah", yang disingkat Jasmerah. Itulah pidato terakhir Bung Karno. Sebab, pada Maret 1967, Sidang Istimewa MPRS mencabut mandatnya dan menetapkan Soeharto sebagai pejabat presiden. Pada 1968, Soeharto menyelenggarakan Sidang Umum MPRS yang mengukuhkan dirinya sebagai presiden untuk melaksanakan Pemilihan Umum 1971. Soeharto nyaris mengulangi cara Sukarno sebagai presiden seumur hidup lantaran terus ditetapkan MPR sebagai presiden sampai tujuh kali.

Semua ini pasti tidak terbayangkan oleh Soe Hok Gie, yang mati muda pada 1969. Andai masih hidup, Soe Hok Gie punya kemampuan untuk menjadi elite di pemerintahan, termasuk menteri kabinet. Tapi ia menolak jalur formal anggota DPR dan justru mengirim lipstik kepada presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), motor demonstrasi yang menjatuhkan Sukarno. Presidium KAMI itu diangkat menjadi anggota DPR Gotong Royong untuk mengukuhkan Soeharto sebagai presiden.

Kakak Soe Hok Gie, Arief Budiman, mengkompensasi kematian adiknya dengan berperan aktif dalam Komite Anti Korupsi 1970 bersama Akbar Tanjung. Arief sebetulnya merasa lebih pas menjadi budayawan dan bukan aktivis sibuk seperti Soe Hok Gie.

Gaya Soe Hok Gie yang tidak konvensional memang sikap sosial demokrat tulen mengikuti pola lawan politik yang gentleman, kesatria, dan sportif seperti pandangan Voltaire dan Rousseau, yang berbeda pendapat pandangan tapi tidak perlu bermusuhan secara fisik. Gie memang membenci PKI, tapi ia berada di garis terdepan saat terjadi pembantaian anggota PKI yang dibunuh dan ditahan sewenang-wenang.

Pesan substansial yang harus kita camkan adalah biarlah suksesi melalui kuasa rakyat berdarah seperti 1966 dan 1998 tidak terulang lagi di masa depan Republik yang sudah berusia 71 tahun ini. Biarlah pemilihan umum yang adil dan jujur menjadi penentu siapa yang patut berkuasa dan bukan intrik politik keji model 1966 atau 1998.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

12 jam lalu

Terpopuler