x

Sejumlah wartawan membawa poster pada Hari Buruh di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, 1 Mei 2016. Mereka menghimbau pemilik dan jajaran manajemen media memberikan jaminan sosial bagi wartawan, memberlakukan upah layak di masing-masing daerah, Disnake

Iklan

akhlis purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengenal Rasuna Said, Sosok Wartawati Indonesia

Seberapa banyak yang Anda tahu tentang Rasuna Said selain sebagai nama jalan protokol di Jakarta?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sungguh ironis bahwa kita lebih mengenal nama-nama orang hebat di negeri ini seperti Jendral Sudirman, M. H. Thamrin, Gatot Subroto, Pierre Tendean, hanya sebagai nama-nama jalan yang sering kita lalui sehari-hari. Dan hal ini kerap menimbulkan kesalahpahaman karena saat menyebut nama-nama jalan protokol itu biasanya kita menanggalkan kata “jalan”. Kita lebih sering menyebut jalan Jendral Sudirman sebagai Sudirman, jalan Gatot Subroto sebagai Gatsu, dan sebagainya.

Termasuk jalan H. R. Rasuna Said, sebuah ruas jalan yang kerap saya lewati karena saya tinggal di sekitarnya. Pernahkah kita bertanya siapa H. R. Rasuna Said sebenarnya? Pertama mungkin kita banyak menyangka beliau adalah pahlawan, seorang pria dengan semangat perjuangan yang membara, gagah berani di medan laga. Dan kepanjangan "H. R.” itu adalah “Haji Raden”.

Salah besar!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

H. R. Rasuna Said bukan seorang pria. Beliau wanita berjilbab. Dan walaupun dianggap sebagai orang yang berjasa besar bagi negeri ini, beliau bukan pejuang fisik layaknya Diponegoro atau Cut Nyak Dien. Rasuna Said ialah pejuang pena. Beliau salah satu wartawan perempuan pertama di nusantara. Singkatan “H. R.” sendiri jika dijabarkan ialah “Haji Rangkayo”.

Lahir pada 14 September 1910 di Maninjau, Sumatra Barat, Rasuna Said (mulai sekarang saya singkat RS) beruntung terlahir dalam keluarga terpandang dan berada (gelar “rangkayo” alias orang kaya itu menandai statusnya ini). Gadis kaya itu kemudian tumbuh sebagai pribadi yang menonjol karena kekritisan, kecerdasan dan keberaniannya. Sejak kecil, seolah ia sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang pewarta jempolan.

Jika RS terlahir di zaman sekarang, mungkin ia adalah anak cemerlang dalam kelas akselerasi di sebuah sekolah unggulan. Prestasi akademik RS terus melejit bahkan sampai bisa meyakinkan guru-gurunya bahwa ia bisa ‘lompat kelas’ tanpa merasa terseok-seok mengikuti pelajaran. Dari Sekolah Rendah, RS terus belajar ke sekolah agama, Sumatera Thawalib kemudian ke Islamic College.

Semasa di sini, RS terus meneguk air pengetahuan dengan rakus sembari memperdalam pengetahuan agama Islam, ketrampilan orasi, berdebat dan kemampuan menulis.

Saat itulah RS memulai perjalanan jurnalistiknya. Beliau menjadi pemimpin majalah Radja yang memberdayakan para siswa lokal yang ingin menyuarakan aspirasinya dalam bentuk tulis.

Sekitar tahun 1926, RS yang banyak belajar dari tokoh Kaum Muda yang revolusioner dan mendamba kemerdekaan Indonesia dari penjajah Belanda kemudian memutuskan untuk masuk ke dalam dunia politik dengan menggunakan agama sebagai pondasinya. Namun, ia tidak gegabah. Mengingat situasi politik saat itu yang agak memanas karena pemberontakan bernuansa gerakan kebangsaan di Silungkang, RS tidak serta merta terjun tanpa persiapan.

Di usia 16 tahun, RS mendirikan perkumpulan PBH (Pemberantasan Buta Huruf) yang bertujuan membuat para perempuan lokal di Sumatra Barat melek aksara. Upayanya ini mirip dengan perjuangan R. A. Kartini dan Dewi Sartika di Jawa. Di sini, ia mulai mempelajari masyarakatnya, terutama kaumnya sendiri.

Lulus kuliah dari Islamic College dengan begitu cepat di usia remaja, RS meniti karier sebagai seorang guru di Sekolah Diniah Padang dan Sekolah Thawalib Puteri serta Sekolah Normaal (Guru) di ibukota Sumbar itu. RS mengajar bukan hanya untuk mencari nafkah dan mandiri tetapi juga karena ia ingin menjadi seorang politisi.

Tahun 1928 menjadi saksi terjunnya RS sebagai politisi. Ia mendaftarkan dirinya sebagai anggota Partai Sarekat Islam cabang Sumatera. RS juga melibatkan diri dalam Permi, Persatuan Muslimin Indonesia. Sepanjang aktivitas organisasinya, ia menempa diri menjadi pembicara dan pembujuk yang hebat.

RS remaja sudah akrab bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh nasionalis besar seperti Sukarno dan Hatta. Mereka tidak bertemu secara tatap muka tetapi cuma dari hubungan surat menyurat.

Suatu ketika di tahun 1932 sehabis berpidato di salah satu rapat Permi di Payakumbuh, RS dijebloskan ke bui. Selama satu tahun dua bulan, perempuan itu harus rela diasingkan dari kampung halamannya. Penjara Bulu di Semarang menjadi tempat ia menjalani takdir sebagai pesakitan Belanda.

RS menggunakan pendidikan dan jurnalisme sebagai alat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Visinya itu tampak jelas dari pendirian sekolah yang ia lakukan setelah bermukim di Medan tahun 1937. RS juga mendirikan Majalah "Menara Poeteri” yang ditujukan untuk menampung buah pikiran kaum perempuan yang dilandasi dengan semangat nasionalisme dan Islam. Semangat emansipasi itu tecermin kuat dari semboyan majalah “Ini dadaku, mana dadamu.”

Untuk berjaga-jaga dari kemungkinan ditangkap lagi, RS menggunakan nama samaran Seliguri. Kata itu sendiri konon merujuk pada sejenis bunga.

Idealisme RS didukung kuat oleh para siswi lokal dan majalah itu berhasil menyuguhkan pandangan-pandangan feminis muslimah Indonesia kala itu dengan bahasa jurnalistik yang apik. Sialnya, para pembaca majalah tidak mau mendukung secara finansial. Mereka memang suka dengan isi majalah tapi menunggak pembayaran. Akibatnya, Menara Poetri ambruk karena krisis keuangan. Media cetak lainnya yang saat itu masih bertahan seperti Panjebar Semangat di Surabaya dan koran Panjedar mengabarkan berita runtuhnya majalah Menara Poeteri karena 90 persen pelanggannya menunggak biaya langganan selama dua kuartal. “Kita kasihan sewaktu membaca maklumatnya surat kabar tadi yang dimuat dalam surat kabar Panjedar,” tulis Soebagijo I. N. dalam bukunya Jagat Wartawan Indonesia. Begitu putus asanya soal keuangan, dalam maklumat singkatnya di Mingguan Panjebar Semangat edisi 8 Juli 1939 redaktur majalah Menara Poeteri sampai mengultimatum para pelanggan dan agen yang masih berutang dengan kalimat:”…Para abonne dan agenten yang masih berhtuang uang langganan dipersilahkan memilih satu di antara dua, perhitungan di dunia atau perhitungan di akhirat.”

Fenomena bangkrutnya majalah Menara Poeteri itu menjadi salah satu cermin kondisi industri media dan jurnalisme prakemerdekaan Indonesia. Kebebasan pers memang relatif bagus. Saat itu, siapa saja yang mau menerbitkan surat kabar atau majalah bisa saja melakukannya tanpa ada pengajuan izin seperti saat sekarang. Sangat bebas. Hanya saja penanggung jawab media itu mesti hati-hati jika pemerintah kolonial menemukan artikel-artikel yang agitatif dan ofensif karena ia bisa dihukum tanpa ampun. Sementara itu, perusahaan penerbitan bisa terus dijalankan. Jadi tidak serta merta dilakukan pembredelan layaknya zaman Orde Baru.

Akan tetapi, kendalanya justru ada pada para pelaku jurnalistik dan masyarakat sendiri. Di satu sisi, para jurnalis belum siap mengelola media secara profesional. Terbukti dari lemahnya ketegasan dalam soal pembayaran. Padahal uang tunai itu bagaikan darah sebuah bisnis (termasuk bisnis media juga). Di sisi lain, pewarta saat itu belum mumpuni dan modern dalam hal penyajian karya jurnalistiknya sehingga pembaca mudah bosan.

RS dikenal dengan keberaniannya terhadap penjajah Jepang. Di saat kuku penjajahan masih menancap erat di bumi nusantara, RS dengan lantang menyatakan pda seorang pemimpin Jepang bernama Mishimoto bahwa Jepang boleh saja pongah sehabis menang perang dengan berkata “Asia Raya” tapi di dalam dada RS hanya ada “Indonesia Raya”.

Kiprah RS di dunia pergerakan nasional makin moncer dengan keterlibatannya sebagai anggota Front Pertahanan Nasional di Bukittinggi, mewakili Sumatera dalam sidang pleno KNIP di Malang, anggota Badan Pekerja KNIP, anggota DPR-RIS, dan anggota DPRS. Puncak prestasi RS dalam bidang kenegaraan ialah menjabat sebagai perwakilan kelompok perempuan di Dewan Nasional pada tanggal 11 Juli 1957.

RS menghembuskan napas terakhir pada tanggal 2 November 1965 di ibukota. Jenazahnya disemayamkan di Taman Makam Pahlawan. Setelah beliau mangkat, namanya diabadikan sebagai nama sebuah gedung wanita di Jakarta dan juga ruas jalan protokol yang membujur dari di Jakarta Pusat (kawasan Menteng) ke Selatan (kecamatan Setiabudi dan Mampang) yang sekarang kita kerap keluhkan kemacetannya sehabis jam pulang kerja atau hujan lebat.

Ikuti tulisan menarik akhlis purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler