x

Ketua Bawaslu Muhammad, bersama Menkopolhukam Wiranto, Mendagri Tjahjo Kumolo, Ketua KPU Juri Ardiantoro, Ketua DKPPP Jimly Asshidiqia, Jaksa Agung M Prasetyo, dan Ketua Komisi II DPR Rambe Kamaruzzaman mengacungkan jempol usai peluncuran Indeks Kera

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Antisipasi Kerawanan Pemilu 2017 ~ Gunawan Suswantoro

Mengapa Provinsi Papua Barat dan Aceh berada di tingkat kerawanan tertinggi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tolok ukur kerawanan pada tahapan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) 2017 telah diumumkan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum pada akhir bulan lalu. Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2017 diharapkan dapat digunakan sebagai penanda kerawanan, pencegahan konflik, dan panduan bagi seluruh pemangku kepentingan demi suksesnya pilkada.

IKP 2017 menunjukkan potensi kerawanan pada dimensi penyelenggaraan, kontestasi, dan partisipasi masyarakat. Dimensi penyelenggaraan meliputi tiga variabel, yaitu integritas penyelenggara, profesionalitas penyelenggara, dan tingkat kekerasan terhadap penyelenggara. Dimensi kontestasi terdiri atas variabel pencalonan, kampanye, kontestan, dan kekerabatan calon. Adapun dimensi partisipasi terdiri atas variabel hak pilih, karakteristik lokal, dan pengawasan dari masyarakat.

Dalam skala nasional, tingkat kerawanan pemilu dalam IKP tahun 2017 membedakan level analisis pada tingkat provinsi (7 provinsi) dan kabupaten/kota (94 daerah). Provinsi Papua Barat (dengan skor 3,38), Aceh (3,32), dan Banten (3,13) termasuk provinsi dengan kerawanan tinggi. Empat lainnya masuk kategori kerawanan sedang, yaitu Sulawesi Barat (2,36), DKI Jakarta (2,29), Bangka Belitung (2,29) dan Gorontalo (2,01).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa dua daerah otonomi khusus berada di tingkat kerawanan tertinggi? Provinsi Papua Barat dan Aceh sama-sama memiliki perlakuan khusus (asimetris) dalam logika desentralisasi atau sering disebut asymmetrical decentralization. Kedua wilayah ini memang memiliki perlakuan khusus, tapi sejarah keduanya memiliki perbedaan yang mencolok dalam pengalaman praktek berpranata sosial masyarakatnya.

Masyarakat Papua Barat memiliki pengalaman kesejarahan yang relatif pendek dalam membangun dan melembagakan pranata sosial mereka dibanding masyarakat Aceh. Pengalaman masyarakat Papua Barat masih belum beranjak jauh dari tata nilai lembaga kesukuan ketika mereka harus bersinggungan dengan tatanan pemerintahan modern bernama Indonesia. Sedangkan masyarakat Aceh telah memiliki pengalaman panjang membangun kelembagaan sosial, bahkan sampai tingkat kesultanan dan turut andil menghadirkan kesejarahan Republik Indonesia. Pelembagaan pranata sosial masyarakat Aceh jauh mendahului hadirnya tatanan negara Indonesia. Pengalaman ini jelas mempengaruhi perkembangan praktek kehidupan berdemokrasi dan dinamika politik lokalnya.

Papua Barat memiliki tingkat kerawanan tinggi dalam dimensi penyelenggaraan (skor 3,378), tapi relatif sedang untuk dimensi kontestasi (2,917) dan partisipasi (2,667). Adapun Aceh memiliki tingkat kerawanan tinggi di semua dimensi, yaitu penyelenggaraan (3,267), kontestasi (3,125), dan partisipasi (3,000). Melihat fenomena tersebut, perlu kiranya ditempuh beberapa langkah strategis dalam pengawasan dan pencegahan.

Bawaslu perlu memfokuskan aktivitas lembaganya untuk mengawal proses pemilu di provinsi dengan tingkat kerawanan yang tinggi, seperti Papua Barat dan Aceh. Kelembagaan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh yang masih bersifat ad hoc, ditambah dengan keterlambatan turunnya anggaran bagi lembaga ini, merupakan sebagian cerminan permasalahan pengawasan pemilu yang dihadapi Aceh. Dukungan anggaran dan proses pencairannya memang menjadi masalah klasik lembaga pengawas pemilu, termasuk juga di Papua Barat. Tentu hal ini menjadi hambatan bagi pengawas pemilu untuk mengembangkan kapasitas pengawasannya.

Pilihan kebijakan untuk mengintensifkan agenda sosialisasi pengawasan pemilu partisipatif, baik kepada masyarakat, peserta pemilu, pemerintah daerah setempat, maupun pemangku kepentingan lainnya, adalah salah satu langkah strategis yang terus ditempuh pengawas pemilu. Upaya perbaikan tingkat pemahaman masyarakat mengenai pemilu tersebut tentu perlu diimbangi dengan kesiapan kelembagaan pengawas pemilu itu sendiri dalam menerima dan menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran pemilu dari masyarakat. Karena itu, peningkatan kapasitas para pengawas dari tingkat terbawah adalah syarat mutlak bagi maksimalnya kinerja pengawasan pemilu.

Penataan kelembagaan dalam hal tata kelola dan tata kerja organisasi, daya dukung sekretariat, serta pemahaman yang baik dari para pengawas pemilu terhadap dinamika/karakteristik politik lokal di tiap-tiap wilayah juga akan menentukan keberhasilan kinerja pengawasan pilkada 2017. Agenda penting dari Bawaslu dalam penataan kelembagaan pengawas pemilu untuk Provinsi Papua Barat akan mempengaruhi perbaikan IKP di wilayah tersebut. Adapun untuk kondisi Aceh, tantangan integritas dan profesionalisme dari dua lembaga pengawas, Bawaslu Provinsi Aceh dan Panwaslih Aceh, menjadi perhatian penting di antara dinamika politik yang kental kontestasi dan euforia partisipasi dalam politik lokal Aceh.

Gunawan Suswantoro, Sekretaris Jenderal Badan Pengawas Pemilihan Umum

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 17 Oktober 2016

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler