x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menghapus Sejarah Bersama Tan Malaka, Soeharto, dan Munir

Konon Indonesia ini bangsa pelupa. Di sinilah ironinya. Sudah pelupa, rekam jejak kita terbilang buruk dalam mengarsipkan sejarah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konon Indonesia ini bangsa pelupa. Di sinilah ironinya. Sudah pelupa, rekam jejak kita terbilang buruk dalam mengarsipkan sejarah. Diam-diam, sejarah, terutama yang tidak berpihak pada penguasa, pun dilenyapkan dari muka bumi. Lebih detailnya, mungkin para sejarawan yang memiliki kompetensi untuk memaparkannya lebih jauh. Tulisan ini hanya ikhtiar mengumpulkan sedikit kisah “kebodohan kolektif” bangsa ini dalam menghapus, memanipulasi, dan menyamarkan berkas sejarahnya sendiri.

Membakar Testamen Politik

Tak banyak yang tahu bahwa sebuah ‘Testamen Politik’ pernah ditandatangani  oleh Bung Karno. Testamen ini menegaskan transisi kekuasaan kepada Tan Malaka jika Republik genting. Pada 30 September 1945 itu, Bung Karno meminta persetujuan Hatta soal testamen yang memberi mandat kepada Tan Malaka jika Dwi-tunggal Proklamator itu menghadapi masalah. Namun, Hatta menolak usulan tersebut. Ia memberi usul, selain Tan Malaka, ada figur dari golongan lain yang diserahi mandat itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hatta pun menyebut sahabatnya, Sjahrir, lalu Wongsonegoro dan Soekiman. Sutan Sjahrir, nama yang dekat dengan Hatta sekaligus penyokong ideologi sosialisme. Wongsonegoro adalah penganut paham tradisional Jawa yang juga anggota BPUPKI. Sedangkan nama terakhir, Soekiman berasal dari Masyumi atau kelompok Islam.  

Testamen itu akhirnya ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta pada 1 Oktober 1945 di rumah Achmad Soebardjo. Tuan rumah sendiri yang mengetik surat tersebut. Namun, baik Sjahrir, Wongsonegoro, dan Soekiman tidak datang dalam pertemuan itu. Nama Soekiman bahkan dihapus lalu diganti oleh koleganya di Masyumi, Iwa Koesoema Soemantri. Ketika testamen politik akhirnya selesai, baik Wongsonegoro, maupun Sjahrir, tidak pernah menerimanya. Konon Soebardjo urung memberikan testamen itu karena terlanjur kecewa wasiat itu tak jatuh ke Tan Malaka seorang.

Tan Malaka sendiri sempat berkeliling Jawa atas perintah Hatta. Tujuannya untuk menguji sejauh mana publik menerima Tan Malaka. Beberapa kali Tan ditangkap. Kisah ini yang kemudian ia bukukan dalam Dari Penjara ke Penjara. Nahas, petualangan Tan Malaka berhenti di Kediri, Jawa Timur. Menurut Sejarawan Belanda, Harry A. Poeze, Tan ditembak mati pada 21 Februari 1949 adalah pasukan TNI dibawah pimpinan Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Upaya menggali lokasi yang diduga makam Tan Malaka dilakukan pada awal 2014 di Desa Selopanggung, Semen, Kediri.

Testamen itu tinggal sejarah. Kertas itu menjadi abu lalu dilumat waktu. Pada 1964, beberapa kesaksian menyebut testamen itu muncul lagi di hadapan Sukarno, D.N. Aidit, S.K. Trimurti, dan Syamsu Harya Udaya –tokoh Partai Murba yang juga didirikan Tan. Syamsu juga yang menyimpan testamen tersebut berikut naskah proklamasi. Bung Karno, yang mengagas testamen, memilih merobek-robeknya dan membakarnya. Namun, Naskah proklamasi yang diketik Sayuti Melik, suami Trimurti, disimpannya.

Mengapa Sukarno membakar Testamen itu? Supremasi kepemimpinan Sukarno tengah mencapai puncaknya ketika itu. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, praktis Bung Karno menjadi penguasa tertinggi. Sejak itu, ia bergelar Presiden Seumur Hidup, Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, dan lain-lain. Mengungkap kembali Testamen Politik sekaligus menyertakan nama Tan Malaka berpeluang menggoyang kepemimpinan Bung Besar ketika itu.

Tan memang diangkat sebagai pahlawan nasional pada 1963 oleh Bung Karno. Tapi, ide besar dan catatan-catatan sejarah penting yang menyertakan namanya hilang untuk waktu yang lama. Bahkan di era Orde Baru, menyebut Tan Malaka seolah sama mengerikan jika mengungkit Aidit, Lukman, Njoto, dan Untung. Sekali lagi, sosok ilmuwan macam Harry Poeze yang kemudian menghimpun serpihan-serpihan informasi Tan yang hidup dalam misteri dan kerap menyamar lebih dari 30 tahun.

Menyamarkan Supersemar

Selesai urusan testamen dan naskah proklamasi, perihal berkas ini berlanjut ke surat sakti bernama Surat Perintah Sebelas Maret. Surat yang disingkat mirip tokoh bijak dalam lakon Wayang Jawa, Supersemar. Surat yang ditandatangani pada 11 Maret 1966 itu menjadi titik balik Indonesia melalui peralihan kepemimpinan dari Bung Karno ke Mayor Jenderal Suharto.

Banyak kontroversi seputar Supersemar. Kontroversi yang paling ekstrem menyebut bahwa Bung Karno menandatangani surat itu di bawah ancaman. Sayangnya, saksi-saksi sejarah yaitu jenderal yang mengantar surat itu ke Presiden Sukarno di Istana Negara seperti Amir Machmud, Basuki Rahmat, hingga M. Jusuf sudah mangkat. 

Bung Karno sempat naik pitam dengan dugaan penyimpangan intruksi Supersemar. “Dikiranya SP Sebelas Maret itu sebuah transfer kekuasaan, padahal tidak!” ujarnya dalam sebuah pidato kenegaraan. Namun, Jenderal Suharto mengabaikan falsafah Jawa Mikul Duwur Mendem Jero yang selama ini dibangga-banggakannya. “Kudeta merangkak”, istilah yang dipopulerkan dalam Cornell Paper, dijalankan oleh Suharto dengan menanggalkan kewenangan Sukarno satu persatu.

Pertanyaannya kemudian, ke mana bukti otentik Surat Perintah Sebelas Maret? Kendati lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia menyimpan tiga versi naskah Supersemar, ketiganya tidak otentik. Menurut Sejarawan Asvi Warman Adam, tiga arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur. Seorang sejarawan tua pernah menyebut bahwa naskah asli Supersemar mungkin disimpan dalam kotak rahasia oleh Suharto sendiri.

Meski diwarnai kontroversi, Supersemar ibarat ‘surat sakti’ bagi Suharto. Salinan surat itu terpampang dalam mata pelajaran sejarah dari sekolah dasar hingga menengah atas. Sebuah film berjudul Djakarta 66 (1988) yang disutradarai Arifin C. Noer dijadikan propagada Orde Baru atas peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto tersebut.  Film ini menggambarkan adegan di mana Suharto, yang diperankan oleh Amoroso Katamsi, “mengemban amanah” Supersemar dari Sukarno. Film ini adalah sekuel dari film propaganda legendaris Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI yang diproduksi empat tahun sebelumnya.

Berbeda dengan Testamen Politik,  Supersemar adalah legitimasi kekuasaan bagi Orde Baru. Suharto tidak akan membakarnya. Ia akan merawatnya, menduplikasi, dan menyebarnya agar publik mengetahui posisinya sebagai “penguasa baru”.  Persoalan eksistensi naskah otentik hingga proses penandatanganan Supersemar sendiri sepertinya akan hilang ditelan sejarah dan akan terus-menerus menjadi kontroversi.

***

Sepertinya, dua peristiwa tadi tak membuat kita belajar untuk merawat sejarah yang paling kelam sekalipun. Adalah dokumen Tim Pencari Fakta Kematian Aktivis HAM Munir Said Thalib yang “hilang”. Kematian Munir, yang lantang membela HAM di masa Orde Baru dan awal Reformasi ini, memang diselimuti awan gelap hingga hari ini.

Ia meninggal di udara pada 7 September 2004 dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda. Hasil temuan Institut Forensik Belanda pada 11 November 2004 menunjukkan ada sianida di tubuh Munir. Temuan yang kemudian mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir pada 22 Desember 2004. Pada 24 Juni 2005, berkas hasil penelusuran TPF diberikan kepada negara.

Seiring waktu, beberapa nama seperti Pilot Garuda Pollycarpus dan Muchdi PR ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya kini telah bebas. Namun, masih banyak tanda tanya dari Kasus Munir. Usaha untuk membuka kembali kasus ini dilakukan oleh Kontras yang menang gugatan Komisi Informasi Pusat pada 10 Oktober 2016. Artinya, berkas TPF Munir harus diumumkan ke publik. Di sinilah teka-teki menyeruak. Istana menyatakan tidak memegang dokumen TPF tersebut.

Apa yang terjadi pada Testamen Politik, Supersemar, dan Dokumen Munir adalah catatan kelam Bangsa ini.  Sejarah penghilangan dan penyamaran berkas sejarah tampaknya menjadi sesuatu yang berulang kali terjadi. Bagaimana mungkin kita berjuang melawan lupa, jika memori terhadap masa lalu bisa hilang dengan mudah. Mungkin karena itu pula, kita ini dikenal sebagai Bangsa Pelupa.***

 

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

3 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB