x

Kapal Very Large Gas Carrier (VLGC) Pertamina Gas 2 yang melakukan pengangkutan perdana kargo LPG ekspor dari Iran di kawasan pelabuhan Kalbut Situbondo, Jawa Timur, 13 Oktober 2016. TEMPO/Aris Novia Hidayat

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kebijakan Harga Gas Berbasis Nawacita~Ryad Chairil

Apakah keinginan Presiden untuk menurunkan harga gas ini realistis?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ryad Chairil

Forum Energizing Indonesia Universitas Indonesia

Harga gas di Indonesia cukup mahal. Saat ini rata-rata harga gas pada wellhead (titik penyerahan setelah sumur minyak dan gas) berkisar US$ 6-8 per juta British thermal units (MMBTU), bergantung pada jenis lapangannya. Inilah yang ditengarai sebagai penyebab mahalnya harga produk industri. Menteri Perindustrian menyatakan seharusnya harga gas industri bisa turun menjadi US$ 5 per MMBTU. Akhirnya, dalam rapat kabinet terbatas pada 4 Oktober 2016, Presiden Jokowi meminta agar harga gas industri turun menjadi US$ 6 per MMBTU dalam waktu dua bulan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah keinginan Presiden untuk menurunkan harga gas ini realistis? Artikel ini hendak melihat kondisi industri gas domestik saat ini serta mengusulkan bagaimana mengelola kebijakan tata niaga gas dalam jangka pendek dan panjang agar harga gas terjangkau oleh masyarakat sesuai dengan tujuan program Nawacita pemerintah.

Pasokan gas nasional didapatkan dari dalam negeri dan impor. Dari dalam negeri, umumnya diperoleh dari produksi kontrak bagi hasil (KBH) migas. Biaya produksi gas lapangan sampai di wellhead akan mempengaruhi harga gasnya. Ditambah biaya pengolahan, penyimpanan, dan pengangkutan, didapatkan harga gas industri. Harga gas juga dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak mentah (HMM) global dan indeks harga gas di luar negeri. Jika HMM naik, harga gas akan ikut naik.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Migas, semua sumber daya gas adalah milik negara sampai di wellhead. Pemerintah menetapkan harga gas industri berdasarkan biaya produksi hulu dan hilirnya.

Teorinya, pemerintah juga berhak memasarkan produk gas dengan harga yang menguntungkan bagi negara. Tapi, faktanya, pemerintah tidak dapat menetapkan harga gas secara mandiri, melainkan dipengaruhi asumsi biaya produksi usulan kontraktor. Asumsi ini belum tentu mencerminkan biaya yang sesungguhnya karena kontraktor tidak pernah mau membuka biaya produksi. Kontraktor cenderung menaikkan biaya produksi untuk mendapatkan ganti rugi melalui mekanisme cost recovery (CR). Inilah salah faktor penyebab harga gas yang tinggi.

Dengan mempertimbangkan hal di atas, pemerintah sebenarnya dapat menetapkan beberapa strategi kebijakan untuk mendapatkan harga gas di tataran US$ 6 per MMBTU. Pertama, pemerintah langsung menetapkan harga gas di wellhead dari produksi lapangan tua sebesar US$ 4 per MMBTU. Biaya lapangan tua umumnya rendah karena seluruh biaya investasi sudah diganti melalui CR.

Kedua, menurunkan bagian pemerintah pada KBH, seperti porsi bagi hasil (split), jatah migas bagian negara (first trench petroleum), atau bagian pajak-pajak lainnya. Tujuannya untuk menurunkan biaya produksi dan mendapatkan harga gas yang wajar. Namun skenario ini harus dilakukan dengan cermat, karena setiap penurunan pendapatan negara dapat ditafsirkan sebagai bentuk kerugian negara (tipikor). Disarankan kebijakan ini ditetapkan melalui keputusan/peraturan presiden.

Ketiga, menyiapkan kebijakan subsidi pada harga gas. Subsidi seperti ini juga dilakukan oleh pemerintah Malaysia dan Singapura. Keempat, menetapkan kebijakan impor gas yang saat ini lebih murah untuk memancing harga gas domestik supaya turun.

Dalam jangka panjang, pemerintah wajib menetapkan kebijakan harga gas berdasarkan kemandirian bangsa. Beberapa strategi bisa dilakukan. Pertama, membuat Indeks Harga Gas Nasional (IHGN) agar pemerintah dapat menetapkan harga gas industri secara mandiri. Ini bisa dilakukan dalam dua tahap.

Kedua, melaksanakan pemisahan kegiatan usaha hulu dan hilir secara konsekuen (unbundling). UU Migas secara tegas menetapkan bahwa kegiatan usaha hulu dan hilir harus terpisah. Prakteknya, kedua kegiatan ini bercampur. Misalnya, SKK Migas yang bertugas mengawasi kegiatan hulu masih terlibat dalam merekomendasikan harga gas industri, yang seharusnya menjadi kewenangan BPH Migas. Bercampurnya kegiatan usaha ini menjadi sebab tingginya harga gas.

Ketiga, melakukan pengaturan open access pada fasilitas publik. Jaringan pipa gas utama dan infrastrukturnya adalah fasilitas publik yang harus dikuasai dan diatur pemerintah. Selama ini, pembangunan dan penggunaan jaringan terbuka untuk swasta, termasuk trader, sehingga harga gas ditentukan oleh pelaku usaha yang mempunyai jaringan pipa gas berdasarkan asumsi biaya operasinya. Jika biaya produksi tinggi, harga jual gas akan tinggi pula.

Ke depan, semua pembangunan jaringan pipa gas harus dikuasai oleh pemerintah melalui BUMN. Kontraktor gas, termasuk trader, diberi akses untuk memanfaatkan jaringan pipa BUMN ini dengan membayar toll fee. Pemerintah mengelola kegiatan ini secara cermat, adil dan transparan untuk mendapatkan harga gas yang wajar, serta memberikan keadilan kepada pelaku usaha dengan keuntungan yang wajar pula.

Keinginan Presiden untuk menetapkan harga gas pada tataran US$ 6 per MMBTU bisa dilaksanakan. Namun kebijakan ini sifatnya pragmatis dan harus dilakukan dengan penuh kecermatan. Dalam jangka panjang, pemerintah harus menetapkan kebijakan yang kokoh. Tujuannya untuk mengontrol harga gas pada batas yang wajar dan dapat digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat sesuai dengan Nawacita.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler