x

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kanan) dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno (kiri) saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, 19 September 2016. TEMPO/Dhemas Reviyanto

Iklan

donal fariz

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Siasat Kenaikan Subsidi Partai ~ Donal Fariz

Lagi, Kementerian Dalam Negeri melempar wacana kenaikan bantuan keuangan untuk partai politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lagi, Kementerian Dalam Negeri melempar wacana kenaikan bantuan keuangan untuk partai politik. Akankah gagasan ini menjadi langkah yang tepat untuk pembenahan partai?

Setahun lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pernah mengusulkan hal yang sama, yakni menaikkan bantuan keuangan partai sebesar Rp 1 triliun untuk semua partai yang memiliki kursi di DPR. Belum sempat direalisasi, usul tersebut kandas akibat penolakan masyarakat.

Kini, usul serupa kembali diangkat. Hanya, jumlah kenaikan yang semula diusulkan sebesar Rp 1 triliun berubah menjadi 50 kali lipat dari anggaran yang diterima partai politik saat ini. Jika satu suara dihargai Rp 108, pemerintah harus siap-siap menggelontorkan dana negara sebesar Rp 658 miliar untuk seluruh partai setiap tahun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sulit dielakkan, wacana kenaikan anggaran untuk partai maupun besarannya selalu memicu perdebatan. Selalu ada pihak yang setuju dan kontra.

Sebagian besar masyarakat belum yakin peningkatan bantuan keuangan akan menekan laju korupsi di tubuh partai. Penilaian tersebut tentu tidak sepenuhnya keliru. Namun pandangan ini bisa saja berubah saat kita memahami anatomi kasus-kasus korupsi yang terjadi.

Secara sederhana, bisa dikelompokkan dua faktor pemicu korupsi, yakni kebutuhan (by need) dan ketamakan (by greed). Peningkatan bantuan keuangan negara bagi partai merupakan jawaban atas persoalan korupsi karena biaya politik yang tinggi (high cost politics) di Indonesia. Pada titik ini, korupsi terjadi karena kebutuhan biaya yang besar untuk menjalankan partai di tengah syarat pendirian partai yang mahaberat.

Rata-rata kebutuhan operasional satu partai politik setiap tahun berada dalam rentang Rp 150-250 miliar (ICW 2014). Akhirnya, sebagian anggota partai mengeruk anggaran negara melalui korupsi untuk dialirkan ke partai mereka. Selain korupsi anggaran, partai menggelar panen musiman saat pemilihan kepala daerah dengan cara menarik mahar dalam pencalonan (candidacy buying).

Hal ini disebabkan oleh adanya jurang yang besar antara kebutuhan dan kemampuan pendanaan partai secara mandiri. Maka, kehadiran negara sangatlah dibutuhkan. Kehadiran negara juga dibutuhkan untuk melawan arus para pengusaha yang seolah-olah menjadikan partai perusahaan mereka (corporate party). Fenomena ini terjadi lantaran partai didanai secara tunggal oleh elite organisasi tersebut.

Praktek pendanaan partai politik oleh pemerintah diadopsi berbagai negara di dunia. Jerman, Turki, dan Jepang di antaranya. Jadi, peningkatan bantuan keuangan untuk partai adalah kebutuhan yang tidak terelakkan.

Jika kenaikan anggaran partai adalah sebuah keniscayaan, mengapa wacana kenaikan bantuan keuangan partai yang digagas pemerintah selalu kandas? Penyebabnya tidak lepas dari usulan pemerintah yang sangat minimalis. Pemerintah hanya berputar-putar berbicara tentang besaran anggaran untuk partai, nyaris tanpa konsep untuk memperbaiki tata kelola partai secara keseluruhan.

Kesimpulan ini bisa dilacak dari upaya pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik. Pilihan ini dapat dianggap sebagai jalan pintas untuk menaikkan anggaran partai semata. Sebab, muatan peraturan tersebut lebih terfokus pada aspek teknis besaran anggaran, distribusi penggunaan, dan pertanggungjawaban.

Peraturan itu tidak bisa dijadikan landasan untuk memperbaiki tata kelola keuangan partai. Sebab, ada dua sumber lain, yakni iuran anggota dan sumbangan yang sah menurut hukum, yang juga menjadi sumber pendanaan partai dan tidak diatur dalam peraturan tersebut. Padahal dua sumber keuangan yang terakhir ini selalu menjadi ruang gelap keuangan partai yang hanya diketahui segelintir elite partai.

Sumber keuangan tersebut berdampak dalam audit. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya mengaudit keuangan yang bersumber dari APBN. Selebihnya, partai melakukan audit melalui kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh mereka sendiri. Tidak ada acuan, bahkan pengaturan, dalam penunjukan akuntan publik tersebut. Akibatnya, tidak hanya rawan manipulasi, laporan keuangan partai yang terkonsolidasi pun akhirnya tidak pernah bisa tersaji.

Beberapa hal di atas hanyalah sekelumit persoalan besar mengenai buruknya tata kelola partai saat ini. Karena itu, jika pemerintah ingin memperbaiki partai secara keseluruhan, revisi Undang-Undang Partai Politik merupakan pilihan yang paling realistis untuk diambil.

Dalam kajian ICW (2016), setidaknya ada tujuh aspek yang membutuhkan perbaikan peraturan. Yakni sumber keuangan, peruntukan keuangan, pelaporan, audit, keterbukaan informasi, sanksi, dan pengawasan. Karena itu, Presiden Jokowi semestinya memprioritaskan pembenahan partai dalam agenda reformasi hukum yang tengah digagas. Ini merupakan tanggung jawab Presiden sebagai kepala negara.

Tentu gagasan pembenahan tersebut harus bulat dan utuh untuk bisa memperbaiki tata kelola partai secara keseluruhan. Bukan siasat melalui perubahan peraturan pemerintah untuk menaikkan anggaran.

Donal Fariz, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 21 Oktober 2016

Ikuti tulisan menarik donal fariz lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu