x

Puluhan warga mengantre untuk mendapatkan gas elpiji 3 kg di kawasan Cihapit, Bandung, Jawa Barat, 22 Oktober 2016. Elpiji 3 kg hanya dipasok 2 kali seminggu dengan jumlah terbatas. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sang Kepentingan di Indonesia

Sang Kepentingan beranekaragam. Yang paling memuakkan, kepentingan primordialisme yang bersekutu dengan kepentingan uang. Dampaknya mengerikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Ilustrasi: srmidfeboqo ...)

 

Sang Kepentingan beranekaragam. Yang paling memuakkan, kepentingan primordialisme yang bersekutu dengan kepentingan uang. Dampak buruknya banyak,  di semua sektor kehidupan,  dari Sabang sampai Merauke. Salah satunya, memberi kesempatan kepada golongan keras-radikal untuk melancarkan fanatisme mereka. Negara dikacau! Kekacauan yang justru dibutuhkan para elite bermasalah. Mereka berkepentingan terus mengacau, ditopang sisa-sisa kekuatan tercela masa lalu. Reformasi kabur! Dengan kekaburan reformasi itu mereka bisa merawat kekuasaan dan apa saja yang pernah dan masih mereka miliki. Nah, mereka - terputihkan oleh kemalasan pikir dan apatisme kita sendiri -  lalu menjadi seperti orang tidak bersalah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Kekacauan itu mengganggu masyarakat. Yang paling diganggu: wong cilik.  Semisal petani dan nelayan. Gangguan ini bukan hal baru, sudah warisan berabad-abad. Rata-rata rakyat jelata di Nusantara menderita sejak zaman raja-raja, zaman penjajahan asing, sampai zaman manipulasi penguasa semua tingkat di era Republik siapapun presidennya. Mereka terpaksa hidup miskin dalam penindasan para tuan-tanah, lintah-darat, kapitalis-birokrat, para kapitalis besar domestik dan asing. Mereka harus sabar direcoki  pembodohan topeng "budaya NKRI” yang berujung pada pelaksanaan model mutakhir tatanegara yang di dalam praktek hanya menguntungkan kaum feodal, makelar, saudagar, pemilik modal dari manapun, sindikat preman, jaringan para jagoan, dan tentu saja bapak-bapak dan ibu-ibu pejabat. Lebih celaka, mereka acapkali masih menderita akibat bencana alam seperti banjir, gempa, tsunami, gunung meledak, dan sebagainya.

 

Sebagai ilustrasi pemerintah belum membela wong cilik, tampak dari data kasar berikut: 70 persen kaum tani hanya memiliki/menguasai 13 persen lahan pertanian, sedang 30 persen bukan petani malah menguasai 87 persen. Dari 13 persen tanah itu, sekitar 60 persennya tidak dimiliki petani.  Ihwal nelayan: 80 persen tidak memiliki alat-alat produksi. Jika pemerintah berniat membela mereka, maka harus mengupayakan – banyak cara dan mekanismenya -  agar 100 persen petani memiliki dan menguasai tanah, dan 100 persen nelayan mempunyai alat-alat produksi. Tanpa tanah garapan dan tanpa alat-alat produksi milik sendiri,  berjuta-juta tenaga produktif tani dan nelayan menyerbu kota-kota mencari pekerjaan, menambah jumlah pengangguran dengan segala dampak sosialnya yang memalukan negara.

 

Ilustrasi kedua soal pro rakyat  adalah ketidakseriusan pemerintah kita dalam mengakhiri jurang beda kaya miskin. Di negeri ini segelintir orang punya uang triliunan manakala berjuta-juta orang tak punya uang bahkan banyak hutang. Jika pemerintah serius berniat mengurangi kesenjangan, banyak cara sederhana dan praktis  bisa dilakukan. Misalnya, pemberlakuan pajak progresif yang radikal, jika  perlu sampai 70-80 persen pajak penghasilan bagi yang berpenghasilan amat besar. Inilah pekerjaan raksasa  yang harusnya segera dilakukan dan bukan hanya jadi wacana elite bangsa. Di banyak negara “maju- modern-kaya”, sistem politik "kapok menjadi kaya" adalah azas yang sudah diberlakukan lama dengan bangga sebagai bangsa yang bertanggungjawab. Kita?

 

Penderitaan rakyat menjadi semakin sulit karena pemerintahan demi pemerintahan pasca “reformasi” harus mewarisi sistem pemerintahan terdahulu. Ini,  mau tak mau, dengan sendirinya, meniscayakan keterjeratan dalam globalisasi (penjajahan kapital besar).

 

Keterjeratan itu membuahkan banyak masalah. Dengan  kiprahnya yang masif, dingin, gencar, dan rakus, globalisasi  tak terbendung sebab didukung manipulasi "entah apa” dalam negeri -  yang penuh muslihat. Manipulasi tersebut melibatkan pejabat dan elite tamak. Mereka melacurkan diri pada kepentingan apa saja dengan banyak tindakan yang merugikan rakyat. Yang paling tercela ada tiga.

 

Pertama, dengan segala cara aktif ambil bagian dalam perampasan kembali tanah garapan kaum tani yang berasal dari tanah-tanah perkebunan dan kehutanan, coba menghidupkan lagi "revolusi hijau" yang telah gagal.

 

Kedua, berupaya menguasai sumber daya alam dengan melaksanakan sistem dan teknologi pertanian modern berorientasi pasar kapitalis global yang hanya menguntungkan konglomerasi MNC serta menciptakan kapitalis-kapitalis kampung yang menggusur tanah tani dan memperbudak kaum tani dan nelayan.

 

Ketiga, mencoba mempertahankan dan mengembangkan budaya feodalisme dengan kemasan budaya pop produk kapitalis masa kini yang penuh hura-hura dan klangenan. Itulah produk "budaya" yang mengasingkan manusia dari kebutuhannya yang paling dasar ialah pendidikan dan kebudayaannya sendiri yang sejati.

 

Seluruh uraian di atas adalah ratap tangis akalbudi rakyat yang lumpuh menghadapi krisis peradaban negeri. Yakni peradaban yang membuat warga bangsa tak berdaya melakukan hal-hal mendasar. Hampir segala sektor yang penuh masalah selalu ditangani dengan pendekatan parsial, reaksioner, jangka pendek, semu, dan di sana sini dimanipulasi. Dalam konteks inilah maka dua masalah terpahit di Indonesia, korupsi dan pelanggaran berat HAM, amat sukar diatasi.

 

Alhasil, apakah negara kita memang ditakdirkan untuk terus menderita sejak didirikan? Sampai kapan? Kepada siapa ratap akalbudi rakyat ini harus diadukan?  Tentunya kepada para petinggi di semua pilar kekuasaan. Tapi bagaimana jika di tempat-tempat mengadu itu sendiri penuh masalah?

Gunung Merbabu, Oktober 2016

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB