x

Bendera Indonesia merah putih dari kari pedas dan nasi putih. Sebuah perusahaan asal Australia membuat bendera nasional 17 negara dengan menggunakan makanan khas negara tersebut. Dailymail.co.uk

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Demokrasi Keliru dan Wajah “Demokrator”

Peradaban berbangsa dan bernegara secara hakiki hanya mengenal tiga jenis demokrasi ialah Demokrasi Sejati, Demokrasi Lumayan, dan Demokrasi Keliru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Ilustrasi: id.aliexpress.com)

 

Kita semua tidak suka kekeliruan tetapi dalam wacana demokrasi di negara kita, rakyat nyaris selalu dihadapkan pada dampak-dampak kekeliruannya katimbang menikmati buah-buah sang demokrasi. Artinya, secara historis kita masih selalu terjebak dalam jenis Demokrasi Keliru.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Demokrasi Keliru perlu dipahami berdasar bab awal peradaban berbangsa dan bernegara: secara ideal dan hakiki, dunia mengenal tiga jenis demokrasi terpentinng ialah Demokrasi Sejati, Demokrasi Lumayan, dan Demokrasi Keliru. Namun, secara faktual, belum pernah ada satu negarapun di dunia berhasil memberlakukan Demokrasi Sejati. Sejak kata “demokrasi” dikenal di bumi sampai hari ini, semua negara yang disebut maju dan sudah demokratis, baru sampai pada Demokrasi Lumayan.

 

Sejarah Demokrasi Keliru di negara kita sudah mengarungi empat periode. Pertama, dimulai sejak Republik Indonesia merdeka sampai awal Juli 1959 dengan berbagai kericuhan dalam kabinet dan parlemen. Namun dengan catatan: sejak 17 Agustus 1945 sampai Pemilu pertama 1955, mengingat segala keterbatasan RI sebagai negara seumur bocah, mekanisme demokrasi kita saat itu sudah nyaris masuk Demokrasi Lumayan.

 

Kedua, kekeliruan demokrasi meningkat sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang diikuti zaman ganyang-mengganyang antar warga bangsa dan terutama sewaktu Bung Karno mulai dielu-elukan sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden Seumur Hidup sampai tumbang dari kekuasaannya.

 

Ketiga, kekeliruan demokrasi makin menggila antara  1 Oktober 1965 sd 21 Mei 1998 saat kekuasaan Orde Baru merangkak sampai menjadi kekuasaan diktatorial bengis-rakus-nepotis-feodal-militeristik, berakhir berkat badai reformasi, mendorong Presiden Soeharto “menyatakan diri berhenti”.

 

Keempat, mulai 21 Mei 1998 sampai hari-hari ini, saat badai reformasi berubah menjadi “knalpot reformasi” alias reformasi-reformasian bising penuh polusi, nilai Demokrasi Keliru kita menjadi ruwet, makin menjauhkan tata negara dari Demokrasi Lumayan, sehingga makin mustahil pula tatapolitik kita menuju ke Demokrasi Sejati.

 

Mengapa keruwetan Demokrasi Keliru di negara kita bisa terjadi di era pascareformasi? Penyebab terparah, karena mekanisme upaya berdemokrasi berangkat dari kelemahan dan kebodohan mindset (sikap pikir dasar) kita semua, sehingga cerai-berai dan keok menghadapi penipuan para “demokrator”. Apalagi, demokrator yang sesungguhnya nyaris tidak ada. Di antara caleg di semua tingkat, calon lurah, calon bupati, calon walikota, calon gubernur, dan calon presiden dalam hiruk-pikuk demokrasi hari-hari ini, jumlah “demokrator” adalah mayoritas di tengah beberapa gelintir demokrator sejati. Bahkan, jangan-jangan, bagaimana jika kita memang tak punya demokrator sejati?

 

Karena itu, pencerdasan sikap pikir rakyat menjadi agenda mutlak agar negara kita merdeka dari penipuan para “demokrator”. Kiprah pertama dalam agenda adalah memotret “demokrator” dari segala sudut, terutama close-upnya, sehingga wajahnya tampak jelas terang benderang.

 

Apabila “demokrator” sudah tampak jelas di mata asli-sejati sebagai wajah yang culas (di mata palsu-bikinan bisa saja tampak suci), maka rakyat tanpa ragu-ragu akan membuang muka dari wajah tersebut untuk beralih ke wajah para demokrator sejati.

 

Namun, bagaimana kita bisa melihat dengan mata asli-sejati (padahal mata palsu-bikinan menjadi mode paling populer dan menguntungkan), sehingga mampu menangkap close-up para “demokrator” sebagai wajah yang culas? Ah, soal kecil. Tanda-tandanya banyak. Itu bisa dilihat dengan kacamata peradaban abadi dan kacamata kekinian.

 

Dengan kacamata peradaban abadi, “demokrator” tampak dalam rekam jejaknya sebagai pelanggar HAM, terlibat aktif malang melintang jaya dalam kekuasaan diktatorial di masa lalu, dan menjadi bandit dalam salah satu, beberapa, banyak, atau semua sektor sospolekbudhankam.

 

Dengan kacamata kekinian, wajah “demokrator” tampak dalam rekam jejaknya sebagai koruptor, pembohong, budak kekuatan-kekuatan asing (individu, lembaga, negara dan semua ikutannya), dan Sang Apa Saja yang banyak sekali bentuknya dengan semua ajektif bernilai negatif semisal memalukan, menggelikan, menyeramkan, dstnya.

 

Salah satu Sang Apa Saja tergawat  yang merusak demokrasi adalah fenomena politik dinasti sebagai pelanggeng feodalisme. Memang, tiap warganegara berhak mendaftar sebagai calon penguasa di semua arena kekuasaan. Namun, kiprah sejumlah penguasa masih aktif  yang melancarkan pencalonan tersebut dengan politik dinasti bagi anggota keluarga besarnya, meski berbekal segala alasan paling suci sekalipun, tetap menandai sikap batin ngawur yang membantai demokrasi.

 

Dari sudut moral kepribadian, politik dinasti merusak kemuliaan martabat seorang pemimpin demokratis yang dipercaya mempunyai hati nurani sehat yang mampu membedakan benar-salah dan baik-buruk, dengan sendirinya dan spontan, tanpa perlu diatur-atur dengan undang-undang segala. Kenyataan, ada undang-undang terkait hal tersebut yang harus direvisi guna menangkal kemerebakan politik dinasti.

 

Artinya, hati nurani bobrok di lingkaran penguasa tertentu yang memanfaatkan aji mumpung, gila kuasa, dan tega membiarkan Republik Indonesia abad XXI kembali ke zaman feodal jahiliyah, memang fakta yang tak bisa dibantah. Menyedihkan!

 

Gunung Merbabu, Oktober 2016

 

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler