x

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kelanjutan Kasus Munir: Siapa Penjual Negara?

Apalagi di jaman ini, sejak Suharto berkuasa, yang namanya patriotisme dan pengorbanan untuk negara mungkin diajarkan kepada para prajurit bawahan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Budi Santoso, mantan Deputi Bidang Perencanaan dan Pengendalian Operasi Badan Intelijen Negara (BIN), menyatakan bahwa di lembaganya pernah ada rapat internal yang membahas Munir, yang disebut akan menjual negara dengan data-datanya yang ia bawa ke Belanda untuk studi hukum di Utrecht Universiteit. Hendropriyono meminta upaya Munir itu dicegah (Tempo,co, 11/12/2014).

Jika para aktivis HAM dituduh menjual negara kepada asing, berapa kekayaan yang dimiliki para aktivis yang kembang-kempis, dibandingkan dengan kekayaan para jenderal termasuk yang sudah pensiun? Ya antara dasar laut dengan langit jaraknya.

Dari mana para jenderal itu punya kekayaan bermilyar-milyar rupiah dibandingkan dengan gaji dan tunjangannya selaku perwira yang tidak seberapa? Katakanlah jika mereka pensiun ada yang menjadi komisaris perusahaan-perusahaan tambang, termasuk menjadi pengurus korporasi tambang asing yang beroperasi di negara ini, sudah berapa nikmat keuntungan terhadap penjualan kekayaan negara yang mereka nikmati?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apalagi di jaman ini, sejak Suharto berkuasa, yang namanya patriotisme dan pengorbanan untuk negara mungkin diajarkan kepada para prajurit bawahan. Tapi bagaimana gaya hidup para jenderal itu? Saat informasi sudah kian terbuka, silahkan ketik nama salah satu jenderal dikaitkan dengan kata kunci “kekayaan” atau “harta” atau “saham” atau hubungkan dengan nama-nama perusahaan domestik dan asing, termasuk korporasi multinasional. Hasilnya lumayan.

Anda juga akan bisa menemukan pensiunan jenderal yang punya saham senilai Rp 10 M di sebuah perusahaan. Itu belum kekayaan lainnya. Itulah yang mereka sebut sebagai “sukses”, mukti ngawibowo. Negara ini mungkin cuma dijadikan alat untuk memperoleh kegagahan, prestise, dan kesenangan perut. Mana ada jenderal lain seperti Jenderal Sudirman dan Jenderal Hoegeng yang betul-betul patriot itu? Apalagi kalau kerjanya membunuh dan menganiaya bangsa sendiri, menindas rakyat kecil dalam sengketa-sengketa agraria. Negara ini dirusak.

Munir dibunuh oleh konspirasi. Ia meninggal tanggal 7 September 2004 di atas pesawat Garuda menuju Belanda. Saat itu Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri. Kepala Badan Intelejen Nasional (BIN) dijabat oleh AM Hendropriyono. Hendro menjabat Kepala BIN sejak tanggal 9 Agustus 2001 sampai dengan tanggal 8 Desember 2004. Orang ini disebut-sebut dalam dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir tersebut, agar dilakukan pemeriksaan terhadapnya. Sedangkan eksekutor pembunuhan Munir adalah Pollycarpus. Sayangnya otak pembunuhan Munir tidak tersentuh hingga kini.

TPF dibentuk dengan Keppres No. 111 Tahun 2004 tanggal 23 Desember 2004 saat Presiden Indonesia dijabat Susilo Bambang Yudhoyono. TPF telah bekerja dan menyerahkan laporannya tertanggal 23 Juni 2005 itu kepada Presiden SBY pada tanggal 24 Juni 2005. Laporan TPF tersebut dapat dilihat di http://masbagio.blogspot.co.id/2016/10/inilah-dokumen-tim-pencari-fakta-tpf.html.

Berdasarkan Kertas Posisi Kontras tahun 2007 dinyatakan bahwa Presiden SBY saat itu berjanji akan mengawal kasus Munir hingga selesai. Pada awalnya respon pemerintah atas laporan TPF terkesan serius. Brigjen Pol Marsudhi – mantan ketua TPF - ditunjuk menjadi ketua tim penyidik Polri yang baru untuk kasus Munir. Mabes Polri mengerahkan 30 penyidik untuk kasus Munir yang terdiri dari Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim), NCB Interpol, Polda Metro Jaya, dan Pusat Laboratorium dan Forensik (Puslabfor) Mabes Polri.

Laporan TPF tersebut telah didistribusikan ke pejabat terkait oleh Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi. Mereka adalah Jaksa Agung, Kapolri, Kepala BIN, Panglima TNI, dan Menteri Hukum dan HAM. Namun hingga sebulan lewat dari tanggal 24 Juni 2005 tersebut, laporan TPF belum juga dipublikasikan oleh Presiden SBY waktu itu. Itulah yang kini menjadi masalah, sampai hari inipun laporan TPF tidak dipublikasikan.

Melanjutkan Penyidikan

Sebenarnya tanpa adanya dokumen laporan TPF tersebut penyidikan kasus Munir dapat dilanjutkan dengan berpedoman pada hasil penyelidikan dan penyidikan Penyidik Polri yang telah dipergunakan untuk mengajukan Pollycarpus dan Muchdi Purwopranjono (Muchdi PR) ke Pengadilan.

Dalam pertimbangan putusan nomor 1361/PID.B/2005/PN.Jkt.Pst tanggal 20 Desember 2005 atas nama terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa hal-hal yang memberatkan atas penjatuhan hukuman atas diri Terdakwa adalah bentuk perbuatan pidana yang dilakukan secara berkawan atau berkomplot (conspiracy) yang berakibat hilangnya jiwa orang lain, memberikan alasan perbuatannya yang kurang masuk akal dan Terdakwa menunjukkan sikap yang tidak terus terang, memberikan keterangan dengan berbelit dan tidak benar, meskipun Terdakwa menyimpan suatu kebenaran yang ia ketahui.

Majelis Hakim juga menemukan fakta-fakta bahwa pada pokoknya menunjukkan adanya hubungan komunikasi lewat telepon dari nomor handphone 0811900978 yang dikuasai atau dipegang Muchdi PR dengan nomor-nomor telepon 021-7407459 yang merupakan nomor telepon rumah Terdakwa, nomor handphone 0815920226 milik Terdakwa Pollycarpus dan nomor handphone 081584304375 milik Terdakwa Pollycarpus, yang kesemuanya sebanyak tidak kurang dari 41 kontak bicara.

Menurut Hakim, Muchdi selaku Deputi V BIN tidak begitu mudah membiarkan Handphone miliknya sampai dipergunakan oleh orang lain, meskipun tagihannya tidak dibayar sendiri melainkan dibayar oleh orang lain yaitu PT Barito Pasific Tower yang dihandel oleh Yohanes Hardian. (Nah….. Apa hubungan PT. Barito Pasific Tower ini dengan Muchdi?)

Lalu Hakim merangkai fakta hukum bahwa kontak telepon antara nomor telepon Terdakwa Pollycarpus dengan nomor HP Muchdi PR (0811900978) yang jumlahnya tidak kurang dari 41 (empat puluh satu) kali, maka Pengadilan menemukan fakta lebih lanjut tentang waktu-waktu tepatnya kapan dan bagaimana keadaan Terdakwa dan Munir pada saat itu diantaranya pada waktu-waktu Munir sebelum berangkat ke Belanda dan saat sudah mulai banyak pembicaraan di media massa menyebut nama Terdakwa Pollycarpus terlibat di dalam kasus kematian Munir di dalam Pesawat Garuda Indonesia.

Meskipun terdapat bukti banyaknya kontak telepon antara Pollycarpus dengan Muchdi, namun Muchdi dalam kesaksiannya menyangkal kenal dengan Pollycarpus. Majelis Hakim tersebut menyimpulkan bahwa motif pembunuhan terhadap Munir adalah karena Munir selalu mengritik Pemerintah dalam berbagai masalah HAM dan hal itu diakui oleh Muchdi di muka sidang bahwa Muchdi tidak suka sehingga ia mengingatkan Munir melalui kawannya.

Putusan 1361/PID.B/2005/PN.Jkt.Pst itu dibatalkan oleh putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta nomor 16/PID/2006/PT.DKI dan putusan Mahkamah Agung nomor 1185 K/Pid/2006 yang sama-sama memutuskan bahwa Pollycarpus tidak terbukti bersalah membunuh Munir, tetapi perbuatannya yang terbukti hanyalah perbuatan “menggunakan surat palsu.”

Terhadap putusan kasasi tersebut Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK), sehingga dalam putusan PK Nomor 109 PK/Pid/2007, tanggal 25 Januari 2008 Majelis Hakim Agung PK (Bagir Manan, H. Parman Soeparman, Djoko Sarwoko, Paulus E. Lotulung dan Harifin Tumpa) memutuskan bahwa Pollycaprpus bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana (terhadap Munir) dan pemalsuan surat, sehingga ia dihukum 20 tahun penjara.

Terhadap terdakwa Muchdi PR, Pengadilan Negeri Selatan dalam putusannya nomor 1488/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel, tanggal 31 Desember 2008 telah membebaskan Muchdi dengan alasan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak terbukti. Jaksa Penuntut Umum lalu mengajukan kasasi atas putusan bebas tersebut, namun Mahkamah Agung di tingkat kasasi dalam putusannya tanggal 15 Juni 2009 menyatakan permohonan kasasi tersebut tidak diterima, sehingga Muchdi tetap bebas melenggang.

Tetapi pengusutan perkara pembunuhan Munir tersebut belum tuntas, dan masih ada waktu. Terhadap tindak pidana pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP, ancaman hukuman maksimumnya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun penjara, sehingga daluarsa penuntutan perkara tersebut adalah 18 tahun (Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP. Pembunuhan terhadap Munir dilakukan September 2004, sehingga daluarsa penuntutannya adalah September 2022. Jadi masih ada waktu 6 tahun, jika para pelaku yang tersisa tidak keburu meninggal dunia.

Penyidik belum memanggil dan memeriksa AM Hendropriyono, orang yang telah direkomendasikan oleh TPF agar diperiksa. Mengapa penyidik tidak melakukan itu? Apakah ada alasan ketakutan tertentu?

Saat ini hendaknya fokusnya adalah pada kelanjutan penyidikan perkara tersebut, bukan terjebak dalam polemik dokumen TPF yang hilang. Dokumen TPF tersebut tidak mungkin hilang dalam penyimpanan dokumen negara, kecuali jika memang disimpan oleh para petugas kearsipan yang tidak memenuhi syarat sebagai pejabat atau pegawai negeri, atau dokumen itu dicuri oleh para penyamun yang mempunyai ilmu halimun dan bisa menembus tembok. Mana ada?

Penyelesaian masalah ini juga menjadi batu uji bagi pemerintahan Jokowi - JK yang dalam pemilu presiden dan wakil presiden menang tipis dari Prabowo - Hatta Rajasa. Para aktivis telah menguras tenaga dan pikiran dalam rangka memenangkan Jokowi - Kalla yang telah menjadi tumpuan harapan agar melakukan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum selesai. Tapi hingga kini tak satupun ada kasus HAM yang secara serius ditangani. Dalam kasus pembunuhan Munir ini sebenarnya Presiden Jokowi tinggal membuat perintah penyidikan lanjutannya kepada Kapolri. Apa susahanya? 

Putusan Terhadap Muchdi, Apakah Dapat Diajukan PK?

Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa Pollycarpus semula dinyatakan tidak terbukti membunuh Munir oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan oleh putusan kasasi Mahkamah Agung. Tetapi Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan PK dengan adanya novum, sehingga akhirnya Mahkamah Agung memutuskan Pollycarpus terbukti bersalah membunuh Munir dan menjatuhkan pidana penjara selama 20 tahun.

Namun upaya hukum PK oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pidana saat ini telah dihapuskan oleh hukum acara pidana. Putusan MK nomor 16/PUU-VI/2008 menyatakan bahwa  hak untuk mengajukan permohonan PK adalah hak terpidana atau ahli warisnya, bukan hak Jaksa/Penuntut Umum. Menurut MK, jika Jaksa/Penuntut Umum melakukan PK, padahal sebelumnya telah mengajukan kasasi dan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum dan telah dinyatakan ditolak, maka memberikan kembali hak kepada Jaksa/Penuntut Umum untuk mengajukan PK  tentu menimbulkan ketidakpastian hukum dan sekaligus tidak berkeadilan. Putusan MK ini diperkuat dengan Putusan MK nomor 33/PUU-XIV/2016 tanggal 12 Mei 2016.

Saya membayangkan, bagaimana jadinya jika putusan MK tentang PK itu telah ada sebelum Jaksa Penuntut Umum mengajukan PK terhadap putusan pengadilan yang membebaskan Pollycarpus dari dakwaan membunuh Munir? Tentu kasus Munir akan lebih menyedihkan lagi, sehingga tak satupun pelaku pembunuh Munir ditemukan.

Tetapi saat ini tak ada salahnya putusan MK yang sudah ada itu “diganggu”  kembali, dengan memperhatikan peliknya  perkara Munir ini dan memperhatikan usaha-usaha menjebol tirani mafioso kejahatan pembunuhan terhadap Munir.

MK bukannya tak punya pengalaman membuat perubahan putusan dalam menguji undang-undang yang sama, yang bersifat melihat “kebutuhan hukum”, seperti contohnya dalam pengujian terhadap UU Advokat yang semula mengakui PERADI sebagai wadah tunggal advokat (putusan MK Nomor 014/PUU-IV/2006) tetapi dalam putusan berikutnya terpaksa mengakui organisasi advokat lainnya yakni KAI, karena adanya perselisihan yang merugikan hak konstitusional para calon advokat non-PERADI (putusan MK Nomor 101/PUU-VII/2009). Begitu pula semula MK menolak permohonan pengujian terhadap UU Sumber Daya Air (putusan MK Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005), tetapi kemudian MK mengabulkan dalam putusan berikutnya dengan pemohon yang berbeda (putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013).

Namanya juga perjuangan, upaya hukum apapun harus ditempuh. Itulah sarana-sarana dan jihad intelektual. Bukan sarana kejahatan di jalan setan, membunuh orang hanya atas dasar kepentingan politik dengan dalih “bela negara” menggunakan kecurigaan pikiran dengan memberikan tuduhan: “para aktivis telah menjual negara kepada asing!” Padahal saat negara ini benar-benar dijual kepada korporasi-korporasi multinasional dan sumber daya alamnya diobral kepada para cukong, para jenderal juga diam saja dan bahkan ada banyak yang turut menikmati. 

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB