bayangan itu, “hantu!” katamu
dunia terasa gelap, tapi kita coba mengemasi bayangan itu
dalam diri, ia menghisap seluruh jaringan pikiran dan perasaan
“ia bercokol dalam kepalamu, jiwamu ia lepas
jadi layang-layang di angin kencang!”
suaramu menceraikan cahaya dari gelap yang rindang
bayangan itu hidup, menumbuhkan ketakutan dan kegelisahan
seluruh kenangan dan pemandangan mencakar, merambati seluruh sendi
seluruh langkah; “ia menghantui setiap jalan napasmu!”
udara memuai, setiap kejadian membangun rumah-rumah hantu
yang dihuni kecemasan
“kita rasa di kuburan
sunyi berlinangan di punggung dingin yang lali!”
“kita rasa di lembah, di kurung ratusan serigala
diterangi mata-mata kelelawar!”
“kita rasa di mimpi, leher-leher di taring drakula
tubuh tak lagi berdarah, napas tak ada makna!”
“kematian!” ujarmu
ya, kita merasa di alam yang mati, tanah dan udara jadi besi
matahari yang kita harapkan muncul terkurung bulan
yang pasi
dalam gelap, segalanya disemai, menumbuhkan bibit-
bibit baru
dengan jari-jari setajam belati dan sembilu
“hantu!” katamu
dan bayangan itu membumi, bergerak amat dungu
seperti temali
kita dibuhulkan di tonggak kabut semu
dikelilingi berjuta-juta hantu .
Ujung Tanjung, 2013
JURANG
mata burung yang mengapit gunung itu, berpijar di rongga hatiku
angin yang bising, ia serahkan daun-daun gugur ke bumi
“masih adakah tanah lembab di dirimu?” daun jendela musim
tertutup dalam rimba-rimba batu
di sebuah jurang, riwayat itupun mumbul bersama kabut
tentang Anggun Nan Tongga, Cindua Mato; aroma bunga-bunga
semakin jauh mengembara dari tanah negerimu
tapi kearifan, selalu mengurung tanda-tanda
nyala api, asap yang tak menjadi awan, abu yang ditaburkan
membeku di lidah-lidah akar
dan di kaki gunung itu, dibangun panorama, riwayat zaman
mekar tumbuh dalam racun cendawan
mata burung yang mengapit gunung itu, menyala di ruang mataku
di tanah dirimu yang kering, lengking perang, dada dan paha-paha wanita
menempeli setiap sudut hutan gunungmu
“inilah riwayat dan kisah-kisah baru,” ujarmu
di sisi lembah, aku mengemas rangka-rangka cerita itu
bersama ribuan burung
dalam jubah waktu, detik-detik tak lagi kuhitung
“ah, aku bingung dengan zamanmu
yang membangun berjuta-juta jurang
dalam dan gersang!”
Ujung Tanjung, 2013
Adri sandra. Lahir di Padang Japang, Payakumbuh 10 Juni 1964. Menulis sejak tahun 1981, prosa dan puisi. Karya-karyanya dimuat di beberapa media massa: Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Lampung Post, Suara Muhammadiyah, Pelita, Suara Pembaruan, Republika, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Tempo, Horison dll. Puisi-puisinya terangkum dalam 29 antologi puisi bersama. 18 karya puisinya tercatat sebagai pemenang lomba cipta puisi indonesia yang diadakan di beberapa kota. Pemecah tiga rekor MURI dalam sastra indonesia. Nara sumber KICK ANDY Metro TV September 2009. Antologi Puisi tunggalnya (LUKA PISAU, 2007). (CERMIN CEMBUNG, 2012; Sarjana Media Kuala Lumpur, Malaysia).
Dikutip dari lenterasastra.com
Ikuti tulisan menarik Lentera Sastra lainnya di sini.