x

Ilustrasi menulis. shutterstock.com

Iklan

akhlis purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penulis Sadis

Berstatus sesama pekerja kata bukan berarti solidaritas selalu ada. Penulis kadang memperlakukan semena-mena penerjemahnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di deretan punggung buku, sebuah nama menangkap mata saya. Saya tahu nama itu. Nama pena yang hampir semua penggemar sastra Indonesia kontemporer tahu. 

Saya raih dan bolak balik buku itu. Ah, dari judulnya saja saya bisa tahu isinya. Pasti relijius sekali. Bertema ibadah yang kental. 

Di sampul belakang, puja-puji dari sastrawan senior dan sesama rekan dipamerkan. Bahkan penyair sekelas Taufiq Ismail memberikan lima baris pujian. Entah benar ia membaca sampai habis atau tidak sebelum menuliskan rekomendasinya itu saya tak tahu. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kalau saya disuruh mengingat nama pengarang itu, rasanya segan. Bukan karena ia orang yang bertabiat buruk atau pernah memperlakukan saya semena-mena, tapi karena ia susah dipahami.

"Saya ingin Anda menerjemahkan novel terbaru saya ke dalam bahasa Inggris," tulisnya dalam sebuah surel yang pendek. Ia sibuk saya tahu. Katanya ia sedang di pulau selain Jawa. Mungkin sebuah tur buku, atau diskusi literasi, atau perbincangan intelektual nan islami. Saya juga tak tahu persisnya. Saya tak mengenalnya jadi saya menahan diri untuk tidak 'bawel' apalagi 'kepo'.

Ia mengirimkan sebuah naskah. Satu bab lengkap yang tampaknya ialah bab pertama sebuah novel. Tokohnya tipikal: muda dan istimewa. Protagonisnya sejenis orang yang jika memang nyata akan saya jadikan objek rasa iri yang tidak terbatas. Alih-alih bersimpati, membacanya saya malah jadi dengki.

Saya kirimkan hasil terjemahan saya. Ia menyukainya. "Saya buta soal menulis dalam bahasa Inggris tapi kalau saya membaca, saya tahu yang mana yang bagus dan tidak." Saya ucapkan terima kasih, sedikit tersanjung tapi mencegah diri terlalu tinggi melambung. Ia sastrawan jadi rasa bahasanya sudah pasti terasah. 

Hingga suatu malam ia menelepon saya, mengeluh dalam pembukaan percakapan,"Susah menghubungi Anda, Akhlis. Padahal saya harus memutuskan secepatnya." Ia diburu tenggat waktu. Dan saya kebetulan sedang mematikan ponsel di siang harinya tatkala ia menelepon, karena tak ingin sedang asyik menulis muncul notifikasi yang mengganggu. 

Dari tiga, ia harus memilih satu penerjemah. Dan begitu ia tahu nama-nama itu, ia menghubungi satu persatu, untuk membicarakan hal yang peka, seperti isu sejarah yang kontroversial di negeri ini yang akan masuk sebagai latar belakang dalam novelnya juga. Saya tak ada masalah soal itu. Meskipun seandainya saya berkaitan dengan peristiwa historis yang membuat orang selalu berseteru, saya akan tetap menerjemahkan novel itu karena alasan profesionalisme (baca: uang). 

Namun, saya ada masalah soal tenggat waktu dan kompensasi. "Terus terang saya suka dengan hasil Anda, tapi saya harus tekankan waktunya sangat sempit. Akhir Oktober mesti rampung, sanggup?" tanyanya lagi.

Saya membayangkan diri saya berminggu-minggu terpaku di kursi dan mengetik tanpa henti, lalu saya jawab,"Baiklah."

Soal kompensasi, kami makin bersitegang. Tak tercapai konsensus soal satu ini. Anggarannya segitu, ucapnya. "Mungkin kita bisa kerjasama lain kalau begitu," balas saya dalam surel. Singkat cerita, kami tak berjodoh menggarap penerjemahan novel yang judulnya pun saya tak tahu menahu. Saya tahu menurutnya tarif saya terlalu tinggi. Dan ia mungkin bisa menaklukkan penerjemah lain yang lebih mau dibayar lebih murah dengan tenggat waktu sesempit itu menerjemahkan 500 halaman novel. Sebuah proyek ala permintaan putri Roro Jonggrang. Hanya saja saya tak punya bala bantuan lelembut untuk menerjemahkan buku setebal itu. Dan untung saya bisa menahan diri untuk tidak membalas surelnya dengan kata-kata:"Bayar saja anak SMP atau SMA untuk mengetik ulang naskah Anda itu dan salin rekat (copas) ke Google Translate, lalu klik saja dan tunggu hasilnya." 

Tapi itu sudah berlalu. Beberapa bulan setelah komunikasi terakhir kami, saya masih tak habis pikir bagaimana ia memperlakukan penerjemah, sesama pekerja bahasa, dengan begitu kejam juga. Itulah mengapa saya katakan ia pribadi yang susah dipahami, karena saya berharap banyak ia bisa lebih mengerti susahnya bekerja cepat dan akurat apalagi dalam jadwal yang ketat.

Saya lalu teringat dengan seorang teman yang menyukai sekali penyanyi solo pria Afgan. Satu lagunya memiliki judul yang pas menggambarkan sikap pengarang itu pada kami para penerjemah malang: sadis. Tapi saya tak bisa mendendangkannya karena saya bahkan tak hapal satu larik pun lirik lagu yang dimaksud.

Mendekati tenggat waktu yang ia sebutkan itu, saya membayangkan seorang penerjemah yang entah ada di mana sedang mengalihbahasakan naskah novel penulis itu dari subuh sampai senja, dari siang hingga malam, lalu pagi ke sore. Ia hanya punya waktu secuil meninggalkan layar komputernya untuk berak dan kencing. Sisanya ia pasti terpasung di meja kerja sampai wasir melanda. 

Untung saya tak terima. Karena kalau saya terima juga, kapan saya bisa yoga? Remuk redam tubuh saya bekerja tanpa jeda.

Ikuti tulisan menarik akhlis purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB