x

Dua orang warga berdiri disamping gambar Nelson Mandela sambil memegang lilin dalam acara sehari sebelum memperingati satu tahun kematian Nelson Mandela di Soweto, Johannesburg, Afrika Selatan, 4 Desember 2014. Cornell Tukiri/Anadolu Agency/Getty Ima

Iklan

Abu Solissa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menolak Politik Apartheid

Mandela telah menunjukan kualitasnya sebagai sosok intelektual yang sangat menghargai eksistensi manusia tanpa harus memperdebatkannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nelson Mandela adalah tokoh penting yang telah mewarnai sejarah kehidupan masyarakat Afrika Selatan. Sosoknya telah menginspirasi banyak orang, perspektifnya tentang persamaan (equality) dan keadilan (justice) menjadikannya sebagai pejuang kemanusiaan yang patut di contohi. Sikapnya yang konsisten dan pemaaf membuatnya sebagai seorang figur yang tak gampang di lupakan oleh sejarah.

Perjalanan karir politiknya tak mudah, pria yang pernah di anugrahi Nobel Perdamaian ini harus menghabiskan sebagian besar waktunya di balik terali besi. Disinilah cikal-bakal terbentuknya karakter pejuang Mandela yang tak mau berkompromi dengan keadaan, berbagai tempaan siksaan dan perlakuan tak manusiawi harus di terima olehnya, namun hidupnya telah dia hibahkan untuk kepentingan bangsa dan negaranya (nation-state). Bagi Mandela, apartheid yang di deskripsikan sebagai politik yang membedakan warna kulit putih dan kulit hitam adalah sebuah konsep politik yang paling absurd dalam sejarah peradaban manusia.

Esensi politik apatheid tidak lagi relevan dengan spirit jaman yang semakin hari semakin maju. Kehadiran politik apatheid sama sekali tidak memberikan konstribusi yang signifikan melainkan turut menjadi beban sejarah, dan Mandela tidak mau negeri yang sangat dia cintai menanggung semua beban sejarah kelam itu. Mandela bercita-cita agar kelak nantinya, negerinya akan menjadi inspirasi sekaligus refrensi buat bangsa-bangsa lain tentang pentingnya sebuah toleransi dan saling mengakui eksistensi dengan tidak mendominasi apalagi merasa paling hebat. Inilah kira-kira perspektif Nelson Mandela yang dia tuangkan dalam setiap aktivitas perjuangannya. Presiden kulit hitam pertama di negara Afrika Selatan ini telah meletakan fondasi persamaan (equality) dan menjadikan Afrika Selatan sebagai rumah bersama bagi warga kulit putih dan kulit hitam.

Mandela telah menunjukan kualitasnya sebagai sosok intelektual yang sangat menghargai eksistensi manusia tanpa harus memperdebatkannya. Suku, agama, ras dan golongan adalah sebuah entitas yang merupakan maha karya tuhan yang paling fantastis yang harus di syukuri bukan di pungkiri. Perbedaan adalah sebuah kemutlakan yang absolut, itu adalah ruang Ilahiah (teologis) yang memiliki dimensi diluar kosmos manusia. Karena itulah sangat tidak etis bila kita mempersoalkan kehebatan-Nya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konsep politik apartheid sebenarnya tidak terbatas hanya pada warna kulit semata, melainkan semua hal yang berkaitan dengan perlakuan yang dirasa tidak adil buat seseorang atau sekelompok orang. Tidak mengakui eksistensi orang lain adalah bagian dari sikap apartheid, apalagi kalau sikap itu di dasari oleh ambisi yang berlebihan untuk mendapatkan sesuatu yang di inginkan. Dalam konteks ini kalau kita bicara soal politik di indonesia yang belakangan terakhir telah menghiasi berbagai pemberitaan di media masa maka kita akan menemukan sebuah kondisi yang sangat miris, dimana para politisi yang memiliki kepentingan untuk mendapatkan kekuasaan harus menjadikan politik apartheid sebagai rute perjuangannya.

Menyerang eksistensi lawan politik dengan mempertanyakan identitas sosialnya sejatinya adalah sebuah perbuatan yang sangat keliru. Mempersoalkan latar belakang seseorang sama halnya dengan kita menggugat kembali pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbentuk dengan latar belakang ras, etnis, agama dan budaya yang sangat beragam. Padahal yang membuat kita beda dan hebat itu karena kita memiliki berbagai macam suku, agama dan ras yang mewarnai 17.504 buah pulau yang bertebaran dari sabang sampai merauke. Inilah yang barangkali sering di sebutkan bahwa indonesia itu adalah pelangi yang telah mewarnai dunia dengan berbagai warna suku, agama, ras dan golongan. Sebuah fakta kehidupan sosial yang tidak kita ketemukan di tempat lain, melainkan hanya di rumah kita (indonesia).

 

Politik Gagasan

Dinamika konsolidasi politik seharusnya bergeser pada wilayah politik gagasan sebagai esensi dari sebuah proses kompetisi bukan malah membudayakan pemikiran apartheid sebagai sarana untuk mencapai kepentingan politik. Gagasan harus di lihat sebagai perspektif yang otentik. Gagasan adalah sarana yang paling potensial dalam mempermudah publik untuk mempelajari program dan visi-misi kandidat, membuka akses selebar-lebarnya buat masyarakat menjelajahi samudra gagasan dari para figur tentang konsep kepemimpinan tanpa harus mempersempit ruang pastisipasi publik dengan menghadirkan  cara-cara berpolitik yang tidak santun dan elegan. Politik gagasan harus menjadi pembedah (diferensiasi) sekaligus kultur yang dapat memberikan dampak (impact) terhadap peningkatan kualitas berdemokrasi kita.

Pola dan kultur politik yang apartheid harus disingkirkan dan tak boleh di berikan ruang sedikitpun di panggung demokrasi indonesia. Spirit gagasan harus di berikan porsi lebih sehingga mutu konsolidasi kepemimpinan kita bisa teruji karena setiap pemimpin yang terlahir dari panggung politik gagasan sudah pasti memiliki modal yang kuat, memiliki kecakapan dan orientasi kepemimpinan yang terukur, punya rencana kerja yang sistematis, serta terobosan-terobosan yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan publik. Inilah sebuah kondisi kepemimpinan yang sangat di harapkan oleh publik, bukan politik apartheid yang tidak bisa memberikan konstribusi terhadap keberadaan demokrasi.

Bila kita cermati dinamika konsolidasi beberapa bulan terakhir menjelang pemilihan kepala daerah secara serentak di tanah air, ruang komunikasi politik antara elit dan publik seakan terbatas pada diskusi-diskusi yang tidak relevan dengan semangat berdemokrasi kita. Ekspektasi untuk hadirnya politik gagasan yang di cakapkan oleh para elit sebagai jualan politik yang bermutu seakan menjadi barang mahal (expensive) yang susah untuk di beli. Para elit seakan mengalami kekeringan ide tentang konsep kepemimpinan yang nantinya akan di jalankan andaikan di berikan amanah untuk memimpin daerah. Ekstrimnya, publik malah di suguhi dengan pikiran-pikiran rasial tak berbobot yang menunjukan rendahnya kualitas kepemimpinan yang dimiliki. Padahal publik sangat merindukan ruang diskusi yang ilmiah sebagai media percakapan dengan menjadikan persoalan publik (public of problem) sebagai tema diskusinya.

 

Kepemimpinan-Solutif

Menurut penulis basis dari kepemimpinan solutif adalah politik gagasan. Memperkuat perspektif kepemimpinan harus di mulai dari menyiapkan gagasan, karena dengan gagasan seorang  calon pemimpin akan tahu apa yang harus dia perbuat untuk kepentingan daerahnya. Disinilah letak persoalan kita yang paling fundamental. Para elit kita seakan mengalami defesit gagasan sehingga ruang cakapan publik tidak bisa di buka secara lebar, publik tidak di ikutsertakan dalam proses perumusan sebuah konsep kepemimpinan yang ideal, partisipasi publik mengalami penurunan serta yang paling fatal adalah pesimisme cenderung terlembaga seiring dengan tidak adanya pemimpin alternatif yang solutif sebagaimana yang di rindukan oleh masyarakat.

Dalam situasi ini sebenarnya masyarakat sangat berharap agar para elit politik atau kandidat-kandidat tertentu bisa melakukan satu inovasi politik dan kreatif dalam menyodorkan program-program yang akan di kerjakan. Menjawab polemik yang selalu menjadi persoalan yang tak pernah usai, meleburkan diri ke ruang-ruang tersempit masyarakat dan berdialog secara langsung, menanyakan hal-hal substansial yang terkait dengan kendala kehidupan mereka selama ini, lalu kemudian menawarkan gagasan dan bertransaksi secara langsung sebagai bentuk konsistensi politik. Inilah kira-kira situasi ideal yang sangat relevan dengan rasionalitas demokrasi, bukan menyedorkan politik identitas (identity political) yang tidak subtantif, memperdebatkan latar belakang tanpa melihat isi kepala dan perspektif kepemimpian yang dimiliki oleh yang bersangkutan.

 

Oleh : Abubakar Solissa

mahasiswa pasca sarjana Universitas Paramadina

Ikuti tulisan menarik Abu Solissa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB