x

Anggota DPR Komisi III Fraksi Demokrat, I Putu Sudiartana menutupi wajahnya, usai menjalani pemeriksaan keluar dari gedung KPK, Jakarta, 30 Juni 2016. Ia bersama empat orang lainnya ditahan KPK usai ditetapkan sebagai tersangka dalam OTT. TEMPO/Eko S

Iklan

Imam Anshori Saleh

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Korupsi (Atas Nama) Partai ~ Imam Anshori Saleh

Pemberian dana dari negara terhadap partai dimaksudkan agar para kader tidak mencari dana secara liar dengan mengatasnamakan partai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rasanya tidak ada partai politik di Indonesia yang secara resmi memerintahkan kadernya untuk melakukan tindak pidana korupsi yang kemudian harus disetor ke partainya. Yang ada, partai tutup mata atas sumbangan kadernya, seberapa pun besarnya. Partai pada umumnya juga tidak pernah mempertanyakan asal usul kontribusi dari kadernya. Konon, partai tidak boleh berburuk sangka terhadap kadernya sendiri, kendati jumlah yang disetor tidak masuk akal. Biasanya, kader yang banyak memberi dana untuk partai akan mendapat "reward", misalnya akan mendapat pioritas kalau ada lowongan jabatan di kelengkapan DPR, masuk panitia khusus yang menarik, jabatan di internal partai, atau nomor bagus calon anggota legislatif dalam pemilihan umum.

Dengan demikian, yang diungkapkan oleh Indra Jaya, Kepala Bidang Pelaksana Jalan, Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat, sebagai saksi dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 10 Oktober 2016, merupakan hal yang  yang biasa.. Dalam kesaksiannya Indra mengungkapkan bahwa uang Rp 500 juta yang diterima anggota Komisi III DPR RI, Putu Sudiartana, tidak hanya sebagai imbalan agar dana alokasi khusus (DAK) Provinsi Sumatera Barat dapat dicairkan, melainkan juga untuk menyumbang Partai Demokrat.

Tentu kasus seperti ini tidak hanya melanda Partai Demokrat. Partai politik lainnya juga tak tertutup kemungkinannya mengalami hal yang sama. Dengan alasan besarnya biaya yang diperlukan untuk menggerakkan roda partai, para kader partai di pusat maupun daerah dihimbau untuk memberikan kontribusi dana. Partai seolah-olah melegalkan pencarian dana dengan cara-cara yang ilegal. Sikap permisif seperti inilah yang kemudian biasa dijadikan alasan atau dimanfaatkan kader partai di legislatif maupun eksekutif untuk mengorupsi uang negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut Undang-Undang Partai Politik, sumber keuangan partai adalah iuran anggota, penyumbang dan bantuan negara. Sejak warga negara dibebaskan mendirikan partai politik menjelang Pemilu 1999 hingga Pemilu 2009, belum ada satu pun partai yang berhasil mengumpulkan iuran anggota. Kebanyakan dana datang dari para penyumbang, baik penyumbang perseorangan maupun badan usaha. Namun, jika daftar penyumbang partai dan daftar penyumbang dana kampanye yang dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum ditelusuri, maka jumlah dana yang dilaporkan tersebut tidak seberapa jika dibandingkan dengan perkiraan biaya riil partai per tahun atau biaya kampanye pada masa pemilu.

Selama ini semua partai di Indonesia sebenarnya sudah memiliki sumber dana yang tetap, seperti dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, iuran para anggota legislatif di DPR maupun DPRD, dan kontribusi dari calon-calon kepala daerah yang berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah. Selain itu, juga sumbangan para pengusaha yang bersimpati terhadap partai politik yang bersangkutan.

Jumlah iuran yang dikenakan partai terhadap anggota legislatif dan pejabat eksekutif bervariasi. Biasanya 15 persen dampai 30 persen dari prosentase gaji bersih legislator. Untuk pejabat eksekutif, seperti menteri dan para kepala daerah, biasanya tidak menggunakan prpsentase, melainkan nominal tertentu, tergantung potensi ekonomi daerah.

Sumbangan dari para calon kepala/wakil kepala daerah, yang biasa disebut "mahar", juga sering bermasalah. Masing-masing partai sering mematok jumlah yang sangat besar dan memberatkan para calon. Apalagi bagi calon yang memerlukan banyak partai untuk memenuhi syarat pencalonan, jumlah "mahar" yang harus disetor sang calon kadangkala tidak masuk akal.

Bantuan APBN untuk partai berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5/2009 jo Peraturan Pemerintah No. 83/2012 tentang Bantuan Kepada Partai Politik sebesar Rp108 per suara.  Jumlah ini dinilai banyak pihak terlalu kecil. Sebagai perbandingan, pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, APBN memberikan sumbangan Rp 1.000 setiap suara yang diperoleh partai. Karena itu, belakangan ini muncul wacana untuk menaikikan jumlah dana APBN terhadap partai. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo dan sejumlah lembaga swadaya masayarakat menyetujui gagasan bantuan APBN terhadap partai diperbesar.  

Tujuan bantuan keuangan untuk partai politik adalah menjaga kemandirian partai. Jika kebutuhan dana partai lebih banyak dipenuhi para penyumbang, maka partai cenderung memperhatikan kepentingan penyumbang daripada kepentingan anggota atau rakyat dalam mengambil keputusan atau kebijakan. Apabila ini terjadi, maka posisi dan fungsi partai sebagai wahana memperjuangkan kepentingan anggota atau rakyat menjadi tidak nyata.

Di sisi lain, pemberian dana dari negara terhadap partai dimaksudkan agar para kader tidak mencari dana secara liar dengan mengatasnamakan partai. Rasanya tidak mungkin mereka nekat melakukan korupsi hanya demi partai tempat mereka bernaung. Pada diri mereka sudah ada niat untuk berbuat jahat dan kebetulan ada peluang yang dibukakan oleh partai. Seperti yang sering "dinyanyikan" oleh Nazaruddin, mantan anggota DPR dari Partai Demokrat, kader dan partai secara simbiosis mutualisme sama-sama mempunyai andil dalam tindak pidana korupsi itu. Andai pengadilan kita sudah menerapkan dengan baik ketentuan kejahatan korporasi, kader maupun pimpinan partai sama-sama dapat dijatuhi pidana.

Mandeknya pembicaraan tentang besaran bantuan negara terhadap partai saat ini kemungkinan karena berkaitan dengan defisit APBN kita. Tetapi, dengan semakin sering terungkapnya korupsi oleh kader partai atas nama kepentingan partai, kiranya pembicaraan masalah ini menjadi semakin relevan. Yang penting dan mesti menjadi perhatian, pemberian bantuan itu harus disertai dengan aturan yang ketat tentang tata kelola, transparansi dan pengawasan penggunaan dana. Jangan sampai terjadi subsidi dari negara yang sudah diperbesar itu yang justru dikorup para kader partai. Walaupun dengan cara-cara itu pun belum ada jaminan bahwa ini akan menghentikan korupsi untuk dan atas nama partai.

Imam Anshori Saleh, mantan Anggota DPR

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 24 Oktober 2016

Ikuti tulisan menarik Imam Anshori Saleh lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu