x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berbagi Beban Kegagalan

Bila dihadapkan pada keberhasilan, orang berlomba mengaku berkontribusi. Sebaliknya, bila dihadapkan pada kegagalan, orang enggan mengakuinya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
"Gagal tujuh kali, bangkit delapan kali."
--Entah siapa

 

Cobalah sesekali bertanya pada kawan-kawan Anda, “Apakah kita benar-benar satu tim?” Mungkin mereka akan serentak menjawab, “Tentu saja, ya.” Seseorang barangkali berkata, “Tidak usah diragukan lagi.” Tapi benarkah jawaban itu?

Kenyataan sehari-hari akan membuktikan apakah jawaban itu dapat dijadikan pegangan, atau sekedar pemanis bibir. Kenyataan paling mencolok ialah ketika kegagalan dialami oleh tim. Reaksi yang terjadi apabila kerja tim gagal bisa beragam: saling menuding dan menimpakan kesalahan, menggerutu bahwa waktunya mepet, atau membicarakan ketua tim sebagai salah mengambil keputusan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebaliknya, tatkala keberhasilan dicapai, semua anggota tim tampak kompak. Kimiawi tim seolah betul-betul tercampur. Anggota yang mungkin sedikit kontribusinya terhadap kerja tim akan merasa bahwa ini keberhasilannya pula. Jadi ia merasa patut merayakan kesuksesan bersama seperti yang lain.

Respons yang bertolak belakang ini dapat ditelusuri akarnya pada cara kita menghadapi kegagalan. Kita kerap menganggap kegagalan bagaikan dunia mau kiamat. “Habis sudah!” begitu pikir kita yang berpandangan bahwa tim akan dimarahi big boss, yang berarti tidak akan mendapat credit point, dan ujung-ujungnya tidak akan memperoleh bonus.

Dunia kiamat? Tidak, apabila kita memperlakukan kegagalan dengan cara yang lebih manusiawi. Dan sebenarnyalah, gagal itu manusiawi. Lantaran itu, sebagai tim kita seyogyanya membiasakan diri berbagi pula kegagalan, bukan hanya berbagi keberhasilan. Sejumlah pakar manajemen menyebutkan bahwa lebih banyak hal dapat dipelajari dari kegagalan dibandingkan yang dapat dipetik dari keberhasilan.

Dengan menanggungkan kegagalan secara bersama-sama, kita berbagi beban. Kerjasama tim yang sudah merekat tidak akan renggang dikarenakan saling menimpakan kesalahan. Perbaikan atas kegagalan atau kesalahan dapat dilakukan dengan jauh lebih baik. Mengubah kebiasaan menuju budaya berbagi kegagalan ini memang tidak mudah, tapi satu langkah permulaan sudah cukup baik.

Kultur berbagi kegagalan juga akan membuat anggota tim tidak takut mengambil risiko. Tentu saja, risiko yang terkalkulasi. Tanpa keberanian mengambil risiko, tim dan orang-orang di dalamnya akan berjalan di tempat. Begitu pula, keberanian mereka patut diapresiasi. Bukankah kita kerap menyaksikan pemimpin yang berujar, “Kita harus berani mengambil risiko!” tapi kemudian meninggalkan gelanggang tatkala gagal?

Dari kegagalan, kita bisa belajar tentang batas-batas kemampuan tim untuk saat ini. Dengan demikian, risiko dapat dikalkulasi apakah kegagalan akan mampu ditanggungkan atau tidak. Bila kapabilitas sudah meningkat, tim boleh mengambil risiko yang lebih besar, sebab, biasanya, di balik risiko yang besar terdapat peluang yang besar pula.

Jadi, mulailah berbagi kegagalan sebagaimana berbagi keberhasilan. Selalu mengklaim keberhasilan tanpa berani mengakui kegagalan bukanlah sikap yang selayaknya. (Foto: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB