x

Iklan

Muhammad Rois Rinaldi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Juri Lomba Membaca Puisi Digugat

Bukan hal baru jika juri lomba membaca puisi menghadapi gugatan dari peserta seusia pengumuman pemenang lomba.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bukan hal baru jika juri lomba membaca puisi  menghadapi gugatan dari peserta seusia pengumuman pemenang lomba. Ada saja hal yang dipertanyakan, semisal mengapa harus si A yang menang bukan si B yang tampak lebih bagus dan menarik. Mengapa harus yang ini bukan yang itu, padahal yang ini tampilannya biasa-biasa saja tidak heboh dan bikin greget. Dan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mirip pernyataan lainnya. Tetapi menjadi simalakama ketika juri digugat oleh panitia sebelum pengumuman pemenang lomba. Panitia yang semestinya sudah pasrah saja kepada keputusan juri malah berusaha mengubah keputusan juri. Keadaan semacam ini pernah saya alami ketika saya menjadi salah satu juri lomba membaca puisi yang diselenggarakan oleh Kementerian XXXXX pada bulan September 2015.
 
Hari pertama berjalan lancar. Dewan juri diberi ruang seluas-luasnya untuk menentukan 10 provinsi yang menjadi finalis, di mana semua peserta, saat itu, merupakan perwakilan dari seluruh Provinsi di Indonesia. Meski lancar, saya pribadi sangat berhati-hati dalam menilai. Bahkan saya membuat catatan kecil bagi masing-masing peserta. Agar ketika saya harus berhadap-hadapan di meja juri, saya memiliki bahan yang cukup. Terlebih kemampuan masing-masing peserta cukup tipis, baik kekurangannya maupun kelebihannya. Jadi, setiap kekurangan dan kelebihan saya catat betul, dari yang terkecil semisal produksi napas hingga yang tampak sekali semisal motivasi gerakan tubuh dan ekspresi.
 
Karena perlombaan dilaksanakan selama 2 hari, saya menginap di Jakarta, malas bolak-balik Banten-Jakarta, Jakarta-Banten. Map berisi hasil babak penyisihan sudah saya berikan kepada panitia. Nama-nama provinsi yang lolos final pun sudah diketahui bersama. Jadi malam itu saya tidur dengan nyenyak, tidak ada beban. Meski pada posisi tertentu, saya mulai merasakan berat di tengkuk. Karena babak final merupakan babak paling mendebarkan. Tidak saja bagi peserta, tapi bagi juri. Karena kemampuan finalis benar-benar lebih tipis dari babak penyisihan. Kekurangan dan kelebihannya kadang dengan kadar yang nyaris sama. Tetapi karena sudah puluhan kali saya menjadi juri puisi, rasa berat di tengkuk itu saya abaikan saja. Babak final tetap menjadi hal biasa yang biasa saya hadapi.
 
Pagi itu saya masuk ke ruang perlombaan lebih awal. Saya ingin meminta panitia untuk mempersiapkan notebook, pulpen gel, dan foto kopi naskah puisi yang akan dibacakan oleh para finalis. Setelah semua disediakan, saya duduk manis. Juri yang lain beberapa saat kemudian datang. Tampak para finalis sudah duduk di kursinya masing-masing. Beberapa tampak sibuk komat-kamit membaca ulang teks puisi yang akan dibacakan. Sebagian sibuk mendekap tubuhnya sendiri, mungkin ruang ber-AC itu terasa lebih dingin dari biasanya. Dan sebagian ngobrol dengan para pendampingnya, yang tidak lain adalah pimpinan badan pemerintahan tertentu yang bertugas di provinsi. Saya hany tersenyum melihat pemandangan yang tidak asing itu. Pemandangan babak final memang penuh wajah tegang dan gugup.
 
Sebelum babak final dimulai, para juri rupanya didatangi oleh Bapak Menteri XXXXX. Bapak Menteri menyalami kami dan bertanya.
 
“Bagaimana, pesertanya bagus-bagus?”
 
“Berbakat, Pak. Usahakan kegiatan lomba seperti ini terus digalakkan. Sastra membuat manusia lebih menusia,” jawab salah satu juri, bukan saya.
 
“Wah! Syukurlah jika demikian,”
 
Saya hanya senyum.
 
“Baiklah, saya percayakan penilaian ini kepada para juri. Saya yakin sudah sangat berpengalaman dalam hal menjuri lomba membaca puisi. Saya ada tugas lain, jadi terpaksa tidak dapat menghadiri babak final,” pugkas Pak Menteri lalu pamit kepada kami (dewan juri).
 
Saya masih tersenyum, sambil meraih kursi dan duduk kembali.
 
Babak final pun dimulai.
 
Satu persatu tampil. Sepuluh peserta usai sudah. Dewan juri diminta membaca satu puisi sebagai contoh, kata salah satu panitia berbisik. Satu juri maju. Usai juri itu, bagian saya yang maju. Satu puisi sudah saya bacakan. Saya memakai teknik semi reading poetry. Peserta meminta saya membacakan satu puisi lagi.  Saya hanya senyum sambil berkelakar: “Kalau baca puisi dua kali, berarti panitia harus membayar honor saya dua kali lipat!” sambil menuruni panggung. 
 
Panitia segera menyambut saya untuk segera masuk ke ruang juri. Saya dan dua juri yang lain berdiskusi hangat, menentukan juara 1, 2, dan 3.
 
Usai dikusi hangat yang cukup membikin keringat bercucuran, padahal ruangan ber-AC. Tiga juri (nama disembunyikan berkaitan dengan privasi) menyepakati nama-nama yang menjadi juara 1, 2, dan 3, termasuk juara harapan 1, dan dua. Artinya, sudah tidak ada hal yang perlu kami bicarakan dengan serius. Jadi kami berbincang-bincang saja tentang perkembangan sastra Nasional. Masing-masing kami mengajukan konsep dan mempertanyakan konsep. Masing-masing kami memandang jauh ke depan dan sesekali mengkaji jalan yang jauh di belakang. Kami berbincang sangat hangat, seperti bertemu dengan kekasih yang satu hati satu jiwa.
 
Di tengah kehangatan para dewan juri, muncul hawa panas. Seorang panitia menerobos ruang juri. Duduk di samping saya. Kebetulan sofa yang saya duduki masih kosong, sedangkan sofa yang satunya lagi sudah diduduki dua juri lainnya. Tanpa basa-basi ia langsung menanyakan siapa saja yang menjadi juara. Saya menyampaikan si A dari Provinsi A juara 1, si B dari Provinsi B juara 2, si C dari Provinsi C juara 3, si D dari Provinsi D juara harapan 1, dan si E dari Provinsi E juara harapan 2. 
 
Mendengar pemaparan saya, panitia tersebut mengerutkan dahi. Saya hanya tersenyum membaca airmuka kurang senang itu. Berkali-kali ia membaca kertas pertanggungjawaban juri, berkali-kali pula ia mengerutkan dahi.
 
“Maaf sebelumnya, Pak. Mengapa si E dari Provinsi E hanya harapan 2, bukannya ia lebih baik dari si B yang dari Provinsi B itu?” protesnya dengan hati-hati.
 
“Atas dasar apa Ibu mengatakan si E lebih baik dari si B?”
 
“Ya, lebih ekspresif saja," paparnya. "Si B  tampaknya datar-datar saja, kurang power full!”
 
Mendengar kenyinyirannya, saya masih berusaha mengatur napas, berusaha menyikapi dengan dingin. Sementara juri yang lain sepertinya memang mempersilakan saya untuk menangani panitia yang kurang paham itu.
 
“Begini, Bu," saya mulai mengatur nada bicara. "Seorang penyanyi yang bisa bernyanyi akan tahu kapan suara penyanyi yang lain itu fals dan kapan tidak. Berbeda dengan pendengar yang tidak tahu teknik bernyanyi, apa saja dikira enak dan tidak fals, asalkan power full dan ekspresif. Begitu juga dengan membaca puisi. Banyak orang berpikir, yang power full dan ekspresif pasti lebih baik dari yang tidak. Anggapan tidak selalu benar, karena volume suara yang power full tapi tidak terkontrol merusak padu-padan keseluruhan tampilan, termasuk harmonisasi nada dan volume suara selama pembacaan puisi. Jadi, jika Ibu menyaksikan dan menilai dari segi like or dislike, saya menilai dari segi kemampuan penguasaan teknis, baik teknis pembacaan maupun teknis penjiwaan, dan pemaknaan teks puisi,”
 
Dan terus saya memaparkan panjang lebar. Bukan membela diri, tapi harus ada yang diluruskan. Pemahaman tentang pembacaan puisi jangan pemahaman lebay; berlebihan. Semua ada porsi dan komposisinya.
 
“Tetapi si E saya rasa kontrolnya sudah bagus,” kilahnya.
 
“Kontrol apanya, Bu?”
 
“Ya semuanya,”
 
“Baik kalau begitu!" saya sedikit menggeser letak duduk, lebih menghadap ke wajah panitia itu. "Apa Ibu menghitung berapa kali napasnya terdengar ngos-ngosan?" ia tersenyum, menggelengkan kepala sedikit. "Apakah Ibu menghitung berapa kali suaranya hilang lalu muncul lagi seperti seorang perenang yang tenggelam dan berusaha muncari pertolongan?" kembali ia geleng kepala, tanpa senyum "Apakah Ibu juga memperhatikan gerakan tubuhnya? Pahamkah Ibu motif gerak tubuhnya itu sebagai pengantar makna atau hilang orientasi?” 
 
Saya terus mencecarnya dengan pertanyaan sambil mengajukan catatan kecil yang saya buat. 
 
“Inilah bedanya antara yang paham dan tidak paham, Bu. Maaf, bukan saya mengecilkan Ibu, tapi sebagaimana yang Ibu sampaikan kemarin, Ibu seumur hidup tidak pernah membaca puisi dan jarang sekali menyaksikan orang membaca puisi. Jadi jelas, Ibu kurang referensi dan kurang pengetahuan dalam hal ini.”
 
Saya melirik ke arah dua juri, yang tidak lain adalah para senior saya di dunia sastra. Mereka tersenyum saja. Lagi-lagi saya paham, keduanya telah menyerahkan persoalan panitia yang menggugat ini kepada saya.
 
“Jadi bagaimana, Bu?” tanya saya ketika panitia itu terdiam.
 
“Iya, sekarang saya paham. Sebelumnya saya mohon maaf karena telah lancang mempertanyakan hasil penilaian para juri. Saya hanya khawatir juri khilaf. Kalau begini saya lebih tenang.”
 
Panitia itu pun dengan wajah yang serba salah pamit dari ruang juri. Saya mengerdipkan mata kepada salah satu juri sambil bertanya.
 
“Siapa sih sebenarnya si E itu?”
 
“Dengar-dengar sih orang penting. Buktinya setiap ia tampil, anak buahnya banyak sekali yang heboh.” papar salah satu juri yang duduk berseberangan dengan saya.
 
“Oh,” gumam saya seraya bermain hipotesa dengan diri saya sendiri.
 
 
Siang itu, saya sengaja tidak pulang lebih dahulu meski tugas saya sebagai juri sudah selesai. Saya dan dua juri lainnya sepakat untuk mengawal hasil penjurian sampai pengumuman yang dilaksanakan sore harinya. Berbeda dengan dua juri lainnya yang masih berbincang tentang sastra dan dunianya, saya tertidur di kursi. Mungkin saya lelah menghadapi panitia yang menggugat tadi, atau mungkin saya mulai lapar?
 
Kira-kira begitulah pengalaman yang dapat saya bagikan. Semoga ada hikmah yang dipetik oleh para pembaca, terutama  yang biasa mengikuti lomba membaca puisi atau yang biasa menjadi juri lomba membaca puisi. ***

Ikuti tulisan menarik Muhammad Rois Rinaldi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler