x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pemuda, Ahmad Dhani, dan Obsesi Politik

Seperti apa perjalanan idealisme pemuda kita. Ahmad Dhani adalah satu cerita yang menarik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Permisi kenangan masa lalu

Beri kami jalan kami

Kami hadir bawa inovasi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jangan rintangi kami lagi

Hembusan transformasi budaya

Dan deras ombak globalisasi

Menghantam nurani paling dalam

Mendobrak satu birokrasi (Kebodohan... Kemiskinan...)

Begitulah bunyi lirik lagu grup band Dewa –masih 19, berjudul Format Masa Depan. Lagu itu menjadi bagian dari album dengan judul yang sama pada tahun 1994.  Sejatinya, Format Masa Depan adalahalbum kedua grup band asal Surabaya, Jawa Timur itu.  Album ini seakan mengekor kesuksesan album debut grup musik asal Surabaya, Jawa Timur, itu dua tahun sebelumnya.

 Album ini sendiri mengandalkan dua lagu, Aku Milikmu dan Tak Akan Ada Cinta yang Lain. Lagu Format Masa Depan yang ada di dalam album memang tidak pernah setenar kedua lagu cinta itu. Bahkan, tidak sehits lagu Mahameru yang kerap dinyanyikan para aktivis pecinta alam.

Menarik untuk menyimak bait-bait Format Masa Depan. Lagu itu sarat akan kritik di masa yang sangat antikritik. Ahmad Dhani, sebagai penulis lirik,  yang ketika itu masih berusia 22 tahun adalah pemuda harapan bangsa. Pada usia muda, ia telah meraih kesuksesan dengan lagu-lagu yang hits. Namanya meroket ketika itu. Ia sejajar dengan musisi-musisi senior yang terlebih dulu sukses dalam blantika musik tanah air.

Tak sekali itu lagu Dewa 19 mencibir kekuasaan –selain berbicara tema cinta tentunya. Coba simak lagu Aspirasi Putih. Lagu yang menjadi bagian dari album keempat Pandawa Lima itu juga sarat kritik. Bait-baitnya bergolak dan menuntut kebebasan.

Beri kami satu ruang‘Tuk katakan yang benar

Kuburkan yang salah

Biarkan kami tumpahkan

Aspirasi putih kami

 S’makin banyak orang pilihan

Yang nyata - nyata s’makin rakus

Bangun istana ‘tuk dinastinya

Atas nama rakyat jelata

 Ahmad Dhani, sang penulis lirik, mampu menyisipkan kritik-kritik itu dengan halus. Namun, lagu-lagu yang sarat kritik itu memang tidak berhasil mencuri perhatian dan menjadi hits untuk album yang rilis pada 1997 tersebut. Lagi-lagi, lagu “bermazhab” cinta yang berhasil tertambat di hati pecinta musik, seperti Kirana dan Aku di sini Untukmu. Terlepas dari hits atau tidaknya lagu-lagu kritik sosial Dewa ketika itu, Dhani selaku motor grup band itu pantas diapresiasi. Ia adalah sejatinya pemuda. Berpikiran maju dan berani melawan kekuasaan dengan jalurnya: musik.

Kritik itu pun dilanjutkan Dhani ketika band Dewa vakum. Berlabel Ahmad Band pada 1998, yang digawanginya bersama gitaris Dewa, Andra Ramadhan, juga Bongky Marcel dan Pay eks Slank dan Bimo eks Netral dan Dewa 19, dirilislah album Ideologi , Sikap, Otak. Dhani tampil bak tampil bak antitesis Penguasa Orde Baru dalam cover album itu. Ia memakai pakaian safari dan bersongkok hitam ala Proklamator Bung Karno berlatar penonton konser.

 Berbeda dengan album Dewa, Ideologi Sikap Otak justru menjadikan lagu berjudul Distorsi sebagai andalan. Lagu ini terbilang keras. Dhani tidak lagi bermain dengan metafora. Ia memuntahkan “perlawanan” dengan menggunakan kalimat-kalimat: korup, bangsat, nepotisme, revolusi, dan lain-lain. Diksi yang sejalan dengan “semangat zaman” keruntuhan Orde Baru dan dimulainya reformasi pada 1998. Tak ada yang protes atau menggelandang Dhani ke Koramil, Kodim, atau Kodam saat itu.

Selepas Orde Baru, Dhani bukan lagi pemuda culun dari kota pahlawan. Ia menjelma, meminjam istilah Akmal Nassery Basral dalam tulisannya di majalah Tempo 2008, musisi bertangan delapan.  Ia mendirikan kerajan bisnis musiknya. Kini, Dhani kerap vokal berbicara politik –sesuatu yang dulu hanya terucap lewat lirik lagu.  Ia, misalnya, pernah menjadi bagian dari Partai Kebangkitan Bangsa. Sang musisi mengaku kagum pada pandangan Mendiang Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Ia pun memilih mendukung Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2014 lalu. Dhani bahkan menciptakan lagu dukungan pada kandidat pilihannya itu. Lagu itu dikritik karena tampilan Dhani yang mirip dengan Heinrich Luitpold Himmler, komandan tentara SS NAZI Jerman.

Belakangan, Dhani menjadi kandidat Wakil Bupati Bekasi, berpasangan dengan Saduddin, politisi Partai Keadilan Sejahtera. Berpolitik adalah pilihan warga negara, termasuk bagi musisi sepopuler Ahmad Dhani. Dalam sebuah wawancara dengan media, ia mengaku memiliki program “keren” bagi wilayah penyangga ibukota tersebut.  

Pemuda dan Kritik

Pemuda adalah purnarupa bagaimana kritik itu disampaikan. Mengapa? Mungkin benar apa yang dikiaskan oleh Joastein Gardner dalam novel Dunia Sophie. Pemuda, meminjam perumpamaan Gardner, adalah seekor kutu yang menghuni bulu-bulu kelinci pesulap. Pemuda adalah sosok kutu yang selalu berusaha memanjat bulu kelinci untuk semakin dekat dan ingin melihat pesulap –ketika yang lain sibuk menganalisis bulu.

Mereka, kaum muda, memiliki semacam energi dan keberanian yang sudah dicatat dalam sejarah. Mereka adalah pembuka jalan bagi apa yang disebut dengan nasionalisme Indonesia pada 28 Oktober 1928. Sumpah yang kemudian menyatukan bahasa, bangsa, dan tanah air bernama Indonesia –nama yang sarat perlawanan. Peristiwa itu mengorbitkan nama-nama pemuda pergerakan seperti Mohammad Yamin, Sugondo, dan Sunario, juga tak lupa Wage Rudolf Supratman yang diakui sebagai pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Ketika itu, Hindia Belanda adalah wilayah yang relatif kokoh sebagai negara kolonial. Nama Indonesia mencuat pada 1850. Adalah George Windsor Earl, seorang etnolog berkebangsaan Inggris, berinisiatif menggunakan istilah Indunesia dan Malayunesia untuk penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu".Tradisi akademis ini dilanjutkan oleh muridnya James Richardson Logan,yang  menggunakan kata Indonesia sebagai sinonim dari Kepulauan India. Pemuda berani melawan arus dengan nama ‘Indonesia’.

Pemuda kembali “berulah” menjelang Proklamasi 1945.  Mereka memaksa duet Sukarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.  Adalah para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, dan Singgih yang “menculik” Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. Peristiwa itu tidak bisa dipungkiri menjadi akselerator proklamasi kemerdekaan di Jakarta pada 17 Agustus 1945.

Ketika generasi 45 menua dan menduduki posisi penting di pemerintahan, lalu Bung Karno menjelma menjadi penguasa Orde Lama yang otoriter, pemuda kembali muncul. Mereka, yang kemudian dikenal dengan generasi 66, menggelar aksi jalanan. Aksi yang kemudian “menjatuhkan” Orde Lama lalu berganti menjadi Orde Baru.

Lalu, ke manakah pemuda yang suka mengkritik itu? Sejarah berulang. Mereka memiliki akses politik untuk duduk di dalam kekuasaan. Generasi 66 menjadi “pemberi jalan” bagi Orde Baru, sekaligus, meski tidak semua tunduk, menjadi bagian dari pemerintahan Suharto. Kekuasaan berumur 32 tahun yang kemudian tumbang oleh generasi pemuda berikutnya pada 1998.

Generasi memang berganti. Yang muda menjadi tua. Menjadi tua cenderung pelupa, termasuk soal idealisme di masa muda. Dhani, dan juga mereka yang pernah muda, mungkin mirip kata-kata “nakal” kolumnis yang juga pakar kejiwaan mendiang M.A.W Brouwer, “Sewaktu muda tidak kiri, orang ini tidak punya hati. Hingga tua masih juga kiri, ia tidak punya otak." Selamat hari Sumpah Pemuda. ***  

Sumber foto:revolution by g-a-am via deviantart

 

 

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler