x

REFORMASI__PSSI

Iklan

Eddi Elison

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

PSSI, Kembalilah ke Khitah 1930 ~ Eddi Elison

Khitah 1930 tergambar jelas pada proses kelahiran PSSI.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rekomendasi Federasi Asosiasi Sepak Bola Dunia (FIFA) yang mengakomodasi surat Kementerian Pemuda dan Olahraga ihwal pemindahan tempat Kongres Luar Biasa (KLB) Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia dari Makassar ke Jakarta pantas diberi apresiasi khusus. Demikian juga waktu pelaksanaan KLB, yang awalnya diputuskan Exco PSSI pada 17 Oktober 2016, oleh FIFA digeser ke 10 November 2016.

Padahal sebelumnya pengurus PSSI mencoba bertahan untuk tetap melaksanakan KLB di Makassar dengan dalih sesuai dengan statuta FIFA. Jika pindah tempat, berarti KLB harus diundur delapan minggu. Ternyata FIFA tidak merespons pendapat PSSI karena pengunduran jadwal yang diputuskan FIFA kurang dari tiga minggu.

Apa yang telah diputuskan FIFA tersebut pantas mendapat apresiasi secara khusus. Hal ini membuktikan bahwa FIFA di bawah pimpinan Gianni Infantino dengan Sekretaris Jenderal Fatima Samoura jauh berbeda dengan kepemimpinan terdahulu di bawah Sepp Blatter-Jerome Valcke. Janji reformasi Infantino sesaat setelah terpilih sebagai Presiden FIFA tahun lalu mulai dilaksanakannya. Dia tidak lagi membutakan matanya terhadap kekurangan dan kelemahan statuta FIFA.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Duet Blatter-Valcke, yang saat ini sedang menjalani hukuman atas tindakan korupsi, biasanya mendiskreditkan pemerintah Indonesia dengan selalu membenarkan laporan PSSI, sehingga semua pengurus PSSI "mendewakan" FIFA. Bahkan Hinca Panjaitan pernah menyatakan bahwa sepak bola Indonesia adalah milik FIFA, bukan milik rakyat Indonesia.

Bagi insan sepak bola, rekomendasi yang diberikan FIFA untuk pemindahan KLB dari Makassar dan menetapkan 10 November 2016 sebagai jadwal pelaksanaan KLB jelas merupakan gambaran bahwa FIFA juga menyetujui dilakukannya perubahan total terhadap PSSI, seperti yang diinstruksikan Presiden Jokowi. Hal ini bisa dimengerti karena Indonesia merupakan sumber dana bagi industri/bisnis persepakbolaan dunia, sehingga prestasinya perlu ditingkatkan. Tanpa perombakan total, tidak mungkin prestasi persepakbolaan nasional dapat ditingkatkan. Maklum, selama ini PSSI hanya dijadikan sarana mencari panggung/muka orang-orang yang bergelut dalam berbagai kegiatan politik dan mencari duit dengan menggunakan berbagai cara, seperti pengaturan skor, taruhan, judi, sepak bola gajah, dan berjenis bentuk permafiaan lainnya, termasuk kartelisasi.

Berkaitan dengan usaha reformasi total PSSI yang harus dilaksanakan selama KLB nanti, kami menyarankan agar PSSI kembali ke khitah 1930. Khitah ini dideklarasikan sesaat setelah PSSI dilahirkan oleh para perintis kemerdekaan, seperti Ir Soeratin Sosrosoegondo, M. Daslam Adiwarsito, Moh. Amir Notopratomo, Anwar bin Noto, H. Moerdan bin Noto, dan H.A. Hamid.

Khitah 1930 tergambar jelas pada proses kelahiran PSSI. Sebulan sebelum dibentuknya PSSI, beberapa tokoh sepak bola Yogyakarta merencanakan pertandingan amal. Agar lebih ramai, diundanglah klub-klub dari luar Yogyakarta. Namun klub-klub tersebut mengusulkan agar panitia meminta izin terlebih dulu dari Nederlands Indische Voetbal Bond (NIVB). Jawaban NIVB, "Tidak bisa. Anggota NIVB dilarang bermain dengan perkumpulan sepak bola inlander yang tidak teratur."

Bisa saja penghinaan terhadap komunitas sepak bola Indonesia tersebut dicetuskan NIVB karena setahun sebelumnya telah terbentuk Indonesische Voetbal Bond (IVB) atas inisiatif tokoh-tokoh pergerakan, seperti Tjindarbumi, Soebroto, dan Soeroto. Namun IVB tidak pernah aktif. Setelah PSSI terbentuk, IVB dilebur ke dalam PSSI.

Untuk membuktikan kemampuan bangsa Indonesia dalam mengurus sepak bola, yang menjadi pendorong utama terbentuknya PSSI, seperti dinyatakan Ketua Panitia Pembentukan PSSI Daslam Adiwarsito saat membuka sidang pada 1930: "Kita orang koempoelan sport bagi kemoeliaan bangsa."

Berbagai pernyataan sikap dan tekad kemudian tercetus pada saat PSSI disahkan pada pukul 00.30 di Gedung Handeprojo (sekarang Gedung Batik), Jakarta. Salah satunya tekad Soeratin, yang terpilih sebagai Ketua PSSI, adalah klub-klub PSSI tidak boleh kalah dari klub-klub Belanda. Pernyataan dan tekad para tokoh sepak bola pada 1930-an tersebut merupakan komponen khitah, yang kemudian dituangkan dalam bentuk Mukadimah Statuta PSSI.

Kembali ke khitah 1930 bukan berarti kemunduran. Khitah tersebut memiliki jiwa, semangat, dan nilai-nilai perjuangan luar biasa yang sampai kapan pun tetap relevan, terutama untuk melahirkan prestasi digdaya, yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Apalagi sejak lebih dari seperempat abad lalu khitah tersebut tidak dapat dihayati PSSI, padahal alinea pertama mukadimah jelas tertulis bahwa PSSI adalah alat perjuangan dan pemersatu bangsa. Mukadimah adalah meta law dari sebuah organisasi, seperti Pembukaan UUD 1945 bagi bangsa Indonesia. Faktanya, saat ini PSSI menjadi wadah turbulensi persepakbolaan nasional dengan hasil: paceklik prestasi.

Eddi Elison, Pengamat Sepak Bola Nasional

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 4 November 2016

Ikuti tulisan menarik Eddi Elison lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB