x

Pendemo ditangkap oleh polisi Los Angeles dalam aksi unjuk rasa terhadap terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS di Los Angeles, California, 12 November 2016. REUTERS/Kevork Djansezian

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Trump dan Muslim Amerika~Husein Ja'far Al Hadar

Di AS atau Eropa, tak sedikit orang dengan pikiran seperti Trump: seorang Islamofobia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Husein Ja’far Al Hadar

Pendiri Cultural Islamic Academy Jakarta

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Saat bersalaman dengan saya (di gedung Trump Centre), dia tertawa karena tak pernah bermimpi bertemu dengan muslim yang bisa tersenyum. Saya terkejut dan bertanya mengapa demikian? Dia bilang karena itu yang ia lihat di TV, bahwa orang muslim marah dan suka berperang.”

Kisah tersebut datang dari Imam Shamsi Ali, Imam Masjid New York, Amerika Serikat. Kisah pertemuannya dengan Donald Trump lebih lima tahun silam, saat Trump menjajaki adanya kemungkinan menjadi lawan Presiden Barack Obama dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat.

Di AS atau Eropa, tak sedikit orang dengan pikiran seperti Trump: seorang Islamofobia. Seperti juga sebagian orang di negara-negara muslim memandang non-muslim. Bukan hanya soal agama, tapi juga ras, warna kulit, dan lain-lain. Itu seolah menjadi fenomena sebagian manusia yang gagap membedakan ikhtilaf (perbedaan) dan khilaf (perpecahan). Tapi hal tersebut menjadi ancaman besar dan sangat serius ketika mereka yang “sakit” itu memegang kekuasaan sebuah negara. Apalagi negara adidaya seperti Negeri Abang Sam.

Setidaknya, ada dua masalah pada diri Trump dan orang-orang semacamnya dengan Islam, sebagaimana terlihat dalam episode pertemuannya dengan Shamsi Ali. Pertama, ia tak tahu Islam, sebagaimana mayoritas orang AS lainnya, sesuai dengan jajak pendapat Gallup World Poll yang dilakukan pasca-tragedi 11 September 2001. Dan, kata Sayyidina Ali, “Orang akan membenci apa yang tak dia ketahui,” atau, seperti dalam pepatah Indonesia, bagaimana seseorang akan sayang pada sesuatu yang tak ia kenal? Adapun yang ia tahu adalah “citra” Islam.

Sebagaimana kita pun murka melihat Islam dalam citra ekstremis seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Juga, yang ia tahu adalah Islam dalam pembingkaian media, sebagaimana 57 persen orang AS dalam temuan jajak pendapat tersebut. Ini seperti kekacauan orang yang belajar Islam dari Google atau seperti mirisnya kita melihat ustad selebritas dengan “Islam”-nya yang kacau.

Mengenai Islam dalam pembingkaian media Barat, sudah jamak diketahui bagaimana sebagian mereka begitu bias dan tendensius mencitrakan Islam. Jack Shaheen, dalam bukunya, Reel Bad Arabs: How Hollywood Vilifies a People, yang kemudian difilmkan pada 2006, memberikan gambaran tentang fakta itu. Seperti ditegaskan Shaheen, dari sekitar 900 film Hollywood—dari kartun-kartun buatan Disney yang meraih Oscar hingga True Lies, film aksi tentang teroris Arab-muslim yang pernah laris—hanya sekitar 50 film yang menggambarkan orang-orang Arab-muslim secara netral. Sedangkan yang menggambarkan obyek itu dengan citra positif lebih sedikit lagi. “Bisa dihitung dengan jari,” kata Shaheen.

Ironisnya, sebagaimana menjadi kesimpulan John L. Esposito dalam The Future of Islam (2010) dan diteguhkan oleh Karen Armstrong dalam pengantarnya di buku tersebut, salah satu masalah utama pandangan Barat terhadap Islam adalah lantaran kesalahpahaman atau bahkan ketidaktahuan mereka. Bukan hanya pada masyarakatnya, tapi juga, yang jauh lebih penting dan berpengaruh, terjadi pada pemerintah dan pemangku kebijakan penting di sana. Jeff Stein, redaktur keamanan nasional Congressional Quarterly di Washington, DC, awalnya terkejut ketika menonton petinggi FBI di TV pada 2005 yang mengakui ketidaktahuannya tentang Islam secara mendasar, bahkan sejak awal melepaskan diri mereka dari keinginan untuk tahu. Maka, pada 2006, Stein menguji pejabat kontraterorisme, petinggi intelijen, hingga anggota Kongres dengan pertanyaan dasar tentang Islam dan hasilnya ternyata mereka tak tahu apa-apa tentang itu.

Kedua, Trump menyatakan atau bahkan menyimpulkan bahwa muslim suka berperang. Ia menilai 1,6 miliar orang hanya dari segelintir oknumnya yang ekstrem yang ia tonton di TV. Padahal, itu adalah masalah pada oknum semua agama atau komunitas apa pun. Ia tak membaca tentang Muhammad yang dari 8.000-an hari masa hidupnya sebagai rasul, hanya 80-an hari yang digunakannya untuk berperang. Selebihnya, yakni 99 persen hidupnya, dipakai untuk menebar rahmat dan meneladankan akhlak mulia. Perangnya pun dalam konteks jihad: bertahan dari serangan. Soal jihad pun, ia tegaskan dalam sabdanya, yang lebih mulia dari perang adalah jihad besar (jihad al-akbar) berupa memerangi nafsu angkara pada diri sendiri.

Kini, Trump terpilih sebagai Presiden AS. Ini sesuatu yang dikhawatirkan Imam Shamsi Ali dan kaum muslim AS, sehingga diberitakan bahwa mereka berbondong-bondong masuk ke bilik suara untuk memilih Hillary Clinton. Trump seolah menyempurnakan temuan Stein bahwa kini presidennya pun tak tahu tentang Islam.

Namun, kita berharap, pertama, Trump menyadari posisinya sebagai presiden, sebagaimana ia tegaskan dalam pidato kemenangannya, kala ia berjanji akan menjadi pemimpin bagi semua kalangan, bukan lagi Republiken atau konstituennya. Tentunya, itu termasuk muslim rakyat AS yang jumlahnya 3,3 juta jiwa berdasarkan Pew Research Center 2015 dan mengalami pertumbuhan signifikan sejak 2011, melebihi Yahudi. Terlebih lagi, jajak pendapat Gallup World Poll membuktikan bahwa muslim di Negeri Abang Sam tak melihat dan menyadari dirinya sebagai seorang muslim di Amerika, melainkan muslim-Amerika sebagaimana muslim-Nusantara, yakni seorang muslim dengan kesadaran kebangsaan.

Kedua, berdasarkan jajak pendapat tersebut, orientasi muslim Amerika adalah pendidikan, ekonomi, dan demokrasi. Kita berharap Trump menjalankan kebijakan berbasis “diplomasi publik”: membangun dialog dan jembatan kesepahaman bagi pengentasan masalah bersama tanpa bias nilai primordialisme semacam Islamofobia atau sentimen warna kulit. Apalagi, corak kepemimpinannya memang tampak lebih berorientasi ke sana. Tapi Islamofobia kerap membuatnya bias. Penting bagi Trump kini untuk menjernihkan persepsinya tentang Islam dengan membuka dialog dengan mereka yang dikenal sebagai “juru bicara” di AS, seperti Esposito, Seyyed Hossein Nasr, dan Shamsi Ali. Maka, yang akan lahir adalah kebijakan yang konstruktif, bukan diskriminatif, seperti yang dulu dia dengung-dengungkan di mimbar kampanye.

[*]

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler