x

Iklan

Erri Subakti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tidak Ada Rush Money dan Prasyarat Kerusuhan

Banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi kerusuhan di Indonesia, padahal prasyarat kerusuhan itu tidak terpenuhi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengikuti perkembangan kondisi politik dewasa ini banyak orang yang mengkhawatirkan akan terjadinya kerusuhan di ibukota Indonesia. Terlebih kekhawatiran itu datang dari WNI keturunan Tionghoa atau pun dari mereka yang secara kebetulan memiliki paras dan fisik berkulit putih, kuning dan bermata agak sipit.

Beberapa sahabat saya yang memiliki ciri-ciri fisik tersebut di atas menanyakan kemungkinan-kemungkinan terburuk dari situasi akhir-akhir ini. Saya katakan bahwa memang yang diharapkan oleh mereka yang ingin mengganggu ketentraman kehidupan berbangsa dan bernegara adalah menimbulkan keresahan di masyarakat. Mereka berharap ada kepanikan nasional dari issue-issue yang selalu dihembuskan setiap hari melalui berbagai jejaring media sosial.

Mengapa saya berani katakan bahwa tidak akan terjadi kerusuhan yang besar pada 2 Desember 2016 yang berdasarkan agenda kegiatan dari FPI, mereka akan melakukan aksi di pusat ibukota Indonesia itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada beberapa faktor. Kalau kita mau membandingkan dengan kerusuhan di tahun 1998, hampir semua indikator perekonomian kolaps. 'Isi perut' kelas menengah mulai terganggu. Mahasiswa/i kalangan menengah ke atas di Trisakti sudah mulai merasakan dampak menipisnya isi dompet mereka. Hampir semua elemen masyarakat merasakan kondisi sosial politik yang rapuh saat itu.

Sementara pada tahun 2016 ini, semua data-data ekonomi dan keuangan nasional relatif meningkat dan berjalan dengan baik. Kelas menengah baru terus tumbuh. Masyarakat kelas bawah di Jakarta sendiri pun telah merangkak naik menjadi kelas menengah baru dengan penghasilan Rp 3,4 juta berdasarkan UMR, ditambah berbagai fasilitas sosial, kesehatan dan pendidikan yang semakin mudah (dan murah bahkan gratis). Kemudahan birokrasi dan terbukanya saluran pelaporan kepada aparat pemerintah dengan jauh lebih lancar dan responsif.

Jauh sekali kondisinya jika dibandingkan tahun '98, persis di tanggal terjadinya kerusuhan besar di ibukota, saat saya berjalan dari kampus UI Salemba ke arah stasiun Cikini melewati gang-gang sempit, terdengar suara anak kecil, "Hore hari ini kita makan ayam...!" (mungkin ortu mereka habis menjarah, saya tidak tau) Teriris hati saya mendengar kalimat kegembiraan anak itu.

Di sisi lain, langkah-langkah pemerintah dalam mengantisipasi hal terburuk yang mungkin terjadi saya lihat sangat sigap. Kita lihat satu per satu pimpinan Parpol di Indonesia diundang Presiden ke istana untuk makan siang atau menikmati teh sore. Apalagi sebelumnya Presiden juga telah berkunjung ke kediaman rival politiknya saat Pilpres 2014 lalu dan memberikan kesan kondisi politik yang sejuk.

Aparat keamanan dan pertahanan dalam hal ini TNI dan Polri juga dengan tegas, kompak, memberikan pernyataan-pernyataan seperti seorang ayah kepada anak-anaknya mengatakan, "Ngambek boleh, marah boleh, tapi jangan mengganggu saudara kamu yang lain, jangan merusak barang-barang," kalimat yang diucapkan sambil memegang sapu. (buat nyapu... bukan apa-apa) :D

Dan yang paling penting adalah pemerintah telah melokalisir masalah hanya fokus pada proses hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang telah menjadi tersangka atas dugaan penistaan agama. Tidak pada masalah lain-lain yang hanya 'dicocok-cocokan' saja.

Majelis Ulama Indonesia, NU, dan Muhammadyah secara kelembagaan, para pimpinannya juga telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan bahwa mereka saat ini bukan berada pada posisi mendukung aksi yang akan dilakukan 2 Desember 2016 nanti. Pernyataan-pernyataan lembaga-lembaga berbasis agama tersebut lebih menunjukkan bahwa mereka hanya dalam posisi 'watching.' Jika terjadi hal terburuk (jangan sampai) dan aparat keamanan terpaksa harus menghentikan dengan paksa aksi demonstrasi, mereka yang tidak turun aksi akan bilang, "Gue bilang juga apa...."

Dengan sigapnya aparat keamanan menjaga lokasi-lokasi rawan kerusuhan di Jakarta, bisa menjadi langkah preventif untuk tidak terjadi kerusuhan massa di lokasi lainnya, sehingga kemungkinan terburuk bisa segera dicegah dengan cepat.

Terakhir, hal positif yang terjadi hari ini, yaitu mengenai issue 'rushmoney'. Beberapa hari lalu ada kekhawatiran dari para pekerja perbankan akan adanya penarikan dana dari para nasabah mereka. Meski secara hitung-hitungan nasional ajakan untuk melakukan pengambilan uang secara besar-besaran itu tidak akan berdampak dalam ekonomi nasional, namun tetap saja kantor-kantor cabang di berbagai daerah merasa khawatir dengan issue tersebut. "Sudah capek-capek mengumpulkan dana masyarakat..." begitu kekhawatiran seorang kawan di daerah.

Nyatanya hari ini tanggal 25 Nopember 2016 tidak ada kejadian penarikan dana besar-besaran. "Alhamdulillah, aman... gak ada apa-apa, transaksi berjalan seperti biasa...." Begitu jawaban seorang bankir di daerah.

Maka dari itu penting bagi kita semua untuk tetap menjaga kewarasan, menjaga ketenangan bathin, tidak perlu menyebarkan berbagai broadcast yang berpotensi mengganggu stabilitas kehidupan sosial dan ekonomi, karena kita semua sama-sama membutuhkan ketenangan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di republik tercinta ini.

Siapa sih yang mau rusuh? Mau? Mau? Kalau gak mau, ya lakukanlah aktivitas seperti biasa, tidak usah panik atau menyebarkan kepanikan. Percayalah, segala prasyarat akan pecahnya kerusuhan besar, tidak bisa terpenuhi untuk dilakukan pada tanggal 2 Desember 2016.

(Erri Subakti)

 

Ikuti tulisan menarik Erri Subakti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler