x

Iklan

Erin Noviara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Styrofoam Diperbolehkan Secara Regulasi, tapi Tetap Berisiko

Kemasan styrofoam yang beredar di Indonesia sudah diuji oleh BPOM. Tapi ada beberapa syarat agar makanan di styrofoam tetap aman dikonsumsi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kemasan plastik selama ini banyak digunakan karena beberapa keunggulan, baik dari aspek harga, ketersediaanya di pasaran, maupun ketahanan materialnya. Kemasan plastik yang biasa digunakan ada beberapa jenis polimer yaitu Polietilen tereftalat (PET), Polivinil klorida (PVC), Polietilen (PE), Polipropilen (PP), Polistirena (PS), Polikarbonat (PC) dan melamin.

Di antara beberapa jenis kemasan plastik tersebut, salah satu jenis yang cukup populer di kalangan masyarakat adalah jenis polistirena busa, nama generik dari material yang kita kenal sebagai styrofoam.

Styrofoam pertama kali ditemukan oleh Ray McIntire yang bekerja sebagai insinyur kimia di Dow Chemical Company pada awal tahun 1940-an. Penemuan styrofoam didapatkannya secara tidak sengaja. Ray pada awalnya berniat mengembangkan bahan polimer sebagai isolator listrik untuk keperluan perusahaan tempat ia bekerja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika ia mengisolasi monomer stirena (bahan baku pembuat karet dan plastik) dengan isobutilena (cairan yang mudah menguap), lalu menekannya. Tetapi isobutilena bukannya menguap, malah berubah wujud menjadi gelembung busa padat, menghasilkan jenis plastik yang 30 kali lebih ringan dan fleksibel daridapa polistirena, jenis plastik yang banyak digunakan sebelumnya.

Saat ini, kemasan styrofoam yang beredar di Indonesia sudah diuji oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan menunjukkan hasil semuanya telah memenuhi syarat, di mana kandungan monomer stirena jauh di bawah batas maksimum yang diizinkan, yaitu 5000 ppm. Monomer stirena sendiri diketahui sebagai senyawa berbahaya jika masuk ke dalam tubuh, serta bersifat karsinogenik (pencetus kanker).

Meski demikian, ada beberapa syarat yang harus dilakukan agar makanan yang dikemas dengan kemasan styrofoam tetap aman dikonsumsi, yaitu:

1. Bahan styrofoam tidak digunakan untuk mengemas makanan secara langsung, harus diberi alas misalnya plastik atau kertas nasi.

2. Bahan styrofoam tidak digunakan untuk mewadahi makanan dengan kadar minyak tinggi dan dalam keadaan panas.

Penggunaan styrofoam itu telah diatur dalam Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.07.11.6664 Tahun 2011 tentang Pengawasan Kemasan Pangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala BPOM Nomor 16 Tahun 2014.

Regulasi sejenis melalui Peraturan Menteri Perindustrian No.24/M-IND/PER/2/2010 telah mewajibkan Pencantuman Logo Tara Pangan dan Kode Daur Ulang Kemasan Pangan dari plastik. Logo tara pangan adalah penanda yang menunjukkan bahwa suatu kemasan makanan/minuman aman digunakan. Logo ini disimbolkan dengan gambar gelas dan garpu.

Kendati telah diatur oleh regulasi terkait keamanannya, risiko terhadap penggunaan styrofoam tetap ada. Seperti yang belum lama terjadi, kasus keracunan nasi bungkus styrofoam yang dialami puluhan warga Cugenang, Cianjur, Jawa Barat.

Menanggapi kasus tersebut, Arie Listyarini dari Balai Besar Kimia dan Kemasan Kementerian Perindustrian, menjelaskan bahwa produksi kemasan untuk makanan seharusnya mengikuti tata cara pembuatan produk yang baik atau Good Manufacturing Practices (GMP) serta analisis bahaya dan pengendalian titik kritis atau Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) mulai dari bahan baku, hingga proses pemasaran.

Menurut analisis Arie, ada kemungkinan makanan yang disajikan dalam styrofoam dalam keadaan masih panas, sehingga terjadi migrasi monomer stirena ke dalam makanan. Pasalnya jika GMP dan HACCP itu dilakukan dengan benar, maka makanan dengan kemasan styrofoam yang sampai pada konsumen akan terhindar dari pencemaran yang dapat membahayakan kesehatan.

Styrofoam selain memiliki risiko kesehatan, material ini juga mendapat julukan sebagai sampah abadi, karena baru bisa terurai secara alamiah dalam jangka waktu  500 tahun. Terlebih sampai sekarang pemerintah kita belum melakukan penanganan khusus terhadap sampah styrofoam ini, dan pada akhirnya hanya metode sanitary landfill yang dipakai.

Di sejumlah negara telah melarang penggunaan kemasan styrofoam bukan karena alasan kesehatan, tetapi lebih karena styrofoam tidak dapat dihancurkan/didegradasi sehingga mencemari lingkungan.

Dengan pertimbangan kesehatan dan lingkungan, sudah saatnya produsen pangan serta konsumen menyadari pentingnya memilih kemasan makanan yang baik. Perhatikan apakah produk tersebut memiliki izin edar dan logo tara pangan.

Ikuti tulisan menarik Erin Noviara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB