x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sejak Lama Engkau Menaksir Kursiku, Bukan?

Kursi bukanlah sekedar tempat duduk, tapi menguarkan relasi kuasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

 
 “Kursi itu obyek yang sangat sukar. Pencakar langit bahkan lebih mudah. Itulah sebabnya (desainer kursi) Chippendale terkenal.”
--Ludwig Mies van der Rohe (Artsitek, 1886-1969)

 

Beberapa tahun yang lampau, seseorang yang baru saja diangkat jadi manajer sebuah perusahaan mendatangi rumah saya. Setelah setengah jam bertamu, ia pun beranjak dari kursi. Tiba-tiba saja ia mengajukan penawaran yang mengejutkan: “Kursi bapak boleh saya beli?” Ia menyebut angka yang membuat saya langsung menolak, sebab ia tidak menghargai—oleh karena tidak tahu—sejarah dan ingatan yang melekat pada kursi tamu yang baru saja ia duduki.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Banyak tamu saya yang menyukai duduk di kursi yang letaknya sedemikian rupa sehingga nyaris semua mata orang yang ada di ruang tamu akan mengarah kepada orang yang duduk di kursi tamu itu. Desain kursi itu sebenarnya sederhana, tapi kesederhanaan yang kokoh dan menguarkan kekuatan. Terlebih lagi peletakannya yang membuat orang yang duduk di atasnya menjadi pusat perhatian.

Tentu saja, itu kursi tunggal, bukan kursi untuk berdua atau bertiga. Sebuah kursi ternyata sanggup menguarkan pesona tersendiri yang bahkan mampu menguatkan karisma orang yang mendudukinya. Para penguasa—dalam bidang apapun—menyukai pilihan desain, material, ukuran, hingga peletakan kursi yang membuat diri mereka jadi pusat. Bagi mereka, kursi lebih dari sekedar tempat duduk atau mengusir penat, melainkan bagian dari relasi kuasa.

Dalam bukunya, My love can only occupy one person at a time, Jarod Kintz mereka-reka alasan mengapa orang lain berebut menempati kursi miliknya. “Engkau mencintai kursiku karena nyaman, atau karena kursi itu milikku, atau karena ketika engkau duduk di situ maka aku tak punya tempat untuk duduk?” tulis Kintz. Ya, ketika engkau menduduki kursiku, maka akupun tak lagi punya tempat duduk. Tak punya tempat duduk berarti lemah, tersingkir dari pergaulan di antara kaum berkuasa, untuk kemudian dilupakan.

Barangkali, oleh sebab pikiran semacam itu, sejak zaman purba, orang memperebutkan kursi tunggal, bukan kursi untuk berdua, apa lagi bertiga. Orang enggan berbagi—kursi panjang adalah kursi bagi para penonton, yang tidak punya nyali untuk duduk sendirian. Kursi tunggal adalah kursi bagi pemain yang menghendaki seluruh perhatian khalayak tertuju kepada dirinya.

Dapat dimengerti bila desain kursi bukan hanya mengacu kepada fungsi untuk memberi kenyamanan kepada yang duduk; bukan pula sekedar untuk meraih capaian artistik tertentu. Kursi, oleh para desainernya, dirancang sebagai medium ekspresi diri. Tapi kursi memperoleh makna lebih dari itu. Kursi menjadi perkara status—dan karena itu banyak sekali orang memperebutkannya. Seorang gubernur tidak akan bersedia menerima para tamunya dengan duduk di atas dingklik atau bangku kayu.

Kursi, dalam lintasan sejarahnya, memiliki sejumlah bentuk simbolis yang beraroma spiritual maupun sosial. Kursi dirancang agar tubuh dapat bersandar dengan nyaman sehingga pikiran terpusat tanpa terganggu oleh kebutuhan jasmaniah. Dengan segenap kesadaran, kursi adalah simbol imortal dari aktualisasi diri.

Tapi kursi segera terhubung dengan otoritas dan status. Di masa-masa awal, kursi dibaut dari bahan kayu yang amat berat agar susah dipindahkan. Sosok yang duduk di atasnya menarik garis batas melalui bobot kursinya yang berlipat dibanding kursi lain. Sosok ini akan duduk dengan cara yang memaksa para tamunya agar memperhatikan dirinya—apa yang ia katakan, gerak tubuh yang ia perlihatkan.

Sebaliknya, sebuah kursi tamu dapat memaksa tamunya itu agar bersikap sesuai keinginan tuan rumahnya. Kursi ini sanggup memerangkap tamu dan menjadikannya merasa tidak seimbang untuk menandingi karisma tuan rumah. Sang tamu kehilangan kekuatan untuk menyatakan kehendaknya sendiri.

Tak ada kursi yang sanggup menandingi kursi sang penguasa—bobotnya, ukurannya, kemegahannya—dan dari situlah sang penguasa menegaskan otoritasnya. Ketika penguasa mengambil keputusan, maka keputusan itu bukanlah bagian terpisah dari kursi. “...kursi memiliki posisi penting dalam bahasa otoritas, sebagai penanda kuasa,” kata Arthur Danto.

Kursi dibuat dari material yang bukan sekedar memperlihatkan cita rasa perancangnya atau pemiliknya atau orang yang duduk di atasnya, tapi juga menandakan kemakmuran. Eboni, gading, marmer, maupun kayu yang diolah begitu indah adalah manifestasi kemakmuran. Orang-orang Mesir kuno bahkan meyakini kursi diciptakan sebagai representasi alam untuk menghindari kekacauan semesta.

Desain kursi mencerminkan jenjang kekuasan. Cobalah perhatikan ruang sidang paripurna DPR: kursi ketua dan para wakil ketua berbeda dari anggota. Amati pula ruang sidang kabinet: kursi presiden berbeda dari kursi para menteri. Di ruang sidang pengadilan: kursi para hakim berbeda dari pengacara, jaksa, apa lagi pesakitan. Di dalam desain kursi, pilihan material, ukuran, dan peletakannya tersimpan konsep tentang jenjang kekuasaan.

Seseorang membutuhkan kursi untuk mengangkat wibawa dirinya di hadapan orang banyak. Seseorang memerlukan kursi untuk memperlihatkan otoritasnya; ia memerlukan kursi agar suaranya didengar orang lain. Setiap orang niscaya perlu tempat duduk, tapi sebagian orang menginginkan kursi yang tidak setiap orang bisa mendudukinya agar ia bisa memutuskan nasib orang lain.

Lewat kata-katanya yang dingin, tapi disertai derai gelak tawa, ia menikmati kemenangan ketika berhasil memaksa orang lain menyerahkan kursi kepada dirinya. Ya, sebuah kursi yang menjadikannya pusat perhatian. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler