x

KPU Matangkan Debat Gubernur Desember Mendatang

Iklan

Andrian Habibi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kesetaraan Penyelenggara Pemilu~Andrian Habibi

Ini terlihat dari masalah pengangkatan tenaga ahli dan keharusan keterwakilan perempuan dalam komposisi komisioner penyelenggara pemilu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Andrian Habibi

Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu Indonesia

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemerintah akhirnya menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum ke DPR. Draf ini merupakan kodifikasi dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Draf itu diserahkan dengan pengetikan yang tergesa-gesa tanpa rasa bersalah. Hal ini ditandai dengan adanya pasal yang tidak menjunjung tinggi atau minimal memiliki niat pemenuhan kesetaraan antar-penyelenggara pemilu. Memang benar bahwa Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum sudah disetarakan atas nama lembaga permanen dari pusat hingga tingkat kabupaten/kota. Jumlah komisioner keduanya pun sama. Mungkin, dengan menyamakan jumlah komisioner dan posisi kepermanenan, lembaga itu bisa dianggap memenuhi semangat kesetaraan.

Akan tetapi, setelah penulis membaca pasal demi pasal dalam draf itu, ada kejanggalan dalam mengubah makna kesetaraan antar-lembaga ke bentuk teks undang-undang. Ini terlihat dari masalah pengangkatan tenaga ahli dan keharusan keterwakilan perempuan dalam komposisi komisioner penyelenggara pemilu. Pertama, dalam membantu kerja-kerja KPU, pada pasal 69 ayat 2 huruf c, draf ini mengizinkan Sekretariat Jenderal KPU untuk mengangkat tenaga ahli. Pengangkatan ini sesuai dengan kebutuhan komisioner KPU.

Pengangkatan tenaga ahli tentu saja dianggap wajar, mengingat komisioner KPU juga membutuhkan tenaga-tenaga profesional untuk memudahkannya dalam memahami kerja-kerja penyelenggaraan pemilu. Memang, pada kenyataannya, tenaga ahli ini bisa saja menerima gaji buta atau sekadar menjadi teman bicara komisioner. Ini karena sudah ada pegawai negeri yang ditugasi pemerintah membantu komisioner.

Namun tenaga ahli juga berperan sebagai alat penyampai pesan ke dalam dan ke luar. Misalnya, jika komisioner KPU merasa perlu menyampaikan pesan kepada sekelompok orang dalam tahapan seleksi calon komisioner KPUD, tenaga ahli dapat berfungsi sebagai penyambung pesan demi menjaga nama baik sang komandan. Begitu juga sebaliknya. Bila calon komisioner KPUD membutuhkan alat komunikasi untuk meyakinkan KPU dalam tahapan seleksi KPUD, tenaga ahli juga dapat dimanfaatkan.

Di sisi lain, setelah melihat draf RUU Penyelenggaraan Pemilu, Bawaslu ternyata tidak menemukan pasal yang memperbolehkan sekretariat jenderal mengangkat tenaga ahli bagi komisionernya. Jadi, komisioner Bawaslu dianggap tidak membutuhkan tenaga ahli untuk mengefektifkan kerja-kerja pengawasan, atau komisioner Bawaslu sudah diyakini memiliki kemampuan superhero sehingga tidak membutuhkan kesetaraan yang sama dengan KPU dalam hal kewenangan mengangkat tenaga ahli.

Selain itu, perkara kesetaraan kembali bermasalah dalam hal komposisi. Pasal 75 ayat 10 Draf RUU Penyelenggaraan Pemilu memerintahkan Bawaslu agar mempertimbangkan keterwakillan perempuan sebesar 30 persen dalam komposisi komisionernya, dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota. Namun draf itu tidak mewajibkan keterwakilan perempuan dalam KPU.

Akibat ketidaksetaraan ini, panitia seleksi calon komisioner KPU dan Bawaslu tentu bisa mengabaikan keberadaan perempuan sebagai komisioner KPU. Namun panitia bisa saja memaksa beberapa perempuan agar tetap hadir hingga tahapan seleksi terakhir pada komposisi calon komisioner Bawaslu.

Penyelenggaraan pemilihan umum akan lebih berwarna indah bila mampu memenuhi kehadiran para kaum hawa. Komposisi itu juga membuka ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik dan pemerintahan. Walhasil, berlakulah nasihat Pramoedya Ananta Toer bahwa kita harus adil sejak dari pikiran.

Ikuti tulisan menarik Andrian Habibi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

5 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB