x

Ilustrasi Pungutan liar (Pungli)/Korupsi/Suap. Shutterstock

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Suap Swasta, Dapatkah Dijerat?~Andreas Nathaniel Marbun

Atas permasalahan itu, dibuatlah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan suap di sektor swasta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Andreas Nathaniel Marbun

Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum UI

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di Hari Antikorupsi yang jatuh pada 9 Desember ini, ada baiknya Indonesia berkaca kembali mengenai upaya pemberantasan korupsi yang masih jauh dari harapan. Salah satu usaha yang perlu dikejar dengan serius oleh pemerintah adalah memberantas para pelaku suap di sektor swasta.

Rasanya terlalu naif jika masih ada yang berpandangan bahwa suap hanya dapat dilakukan di sektor publik dan melibatkan pejabat negara sebagai penerima suap. Sebab, kasus terkait dengan suap di sektor swasta kerap terjadi di Indonesia dan telah menjangkit di berbagai sektor.

Salah satu contoh adalah skandal suap dokter dan rumah sakit dari perusahaan farmasi. Suap dilakukan dengan tujuan agar para dokter hanya mau "menjual" obat produksi perusahaan tersebut kepada pasien, seperti diungkapkan dalam sebuah laporan investigasi khusus majalah Tempo pada November tahun lalu. Kasus tersebut menjadi perbincangan di berbagai media massa. Semua rekomendasi bernada sama, yakni meminta pemerintah membuat pasal pemidanaan terhadap pelaku suap di sektor swasta. Tapi apakah benar Indonesia belum punya aturan tersebut?

Pada dasarnya, jauh sebelum konvensi PBB tentang anti-korupsi (UNCAC) yang menganjurkan negara-negara mengkriminalisasi suap di sektor swasta tersebut disepakati di Meksiko pada 2003, Indonesia sudah menerapkannya saat rezim Orde Baru. Peraturan yang dapat menjerat suap di sektor swasta ini ada dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap yang hingga kini belum dicabut dan masih berlaku.

Undang-undang tersebut dibentuk karena ada penyuapan di kalangan swasta, khususnya di bidang olahraga (suap kepada pemain lawan) yang ramai dibicarakan masyarakat. Para penegak hukum dan ahli hukum juga bertanya-tanya serta berdebat panjang guna menjawab pertanyaan apakah pihak yang menerima uang, tapi dia bukan pejabat pemerintah (non-official government), dapat dijerat dengan aturan suap dalam KUHP?

Atas permasalahan itu, dibuatlah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan suap di sektor swasta. Rancangan tersebut tidak saja berlaku dalam bidang olah raga, tapi juga memasuki seluruh bidang yang sifatnya tidak melibatkan pejabat publik. Rancangan itulah yang akhirnya melahirkan undang-undang tersebut.

Selayaknya, pengaturan suap dalam undang-undang tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980, juga mempidana pemberi suap (active bribery) ataupun penerima suap (passive bribery). Tidak ada perbedaan signifikan yang ada di antara kedua pengaturan suap tersebut. Hanya, UU Nomor 11 Tahun 1980 itu mencakup pelaku suap yang lebih luas. Tapi justru undang-undang yang hanya terdiri atas enam pasal ini jarang (atau tidak pernah) digunakan.

Sayangnya, sistem pencatatan peraturan yang buruk dan banyaknya peraturan (hampir setiap undang-undang) yang memiliki ketentuan pidana di Indonesia (dan tidak terkodifikasi) lambat laun membuat UU Nomor 11 Tahun 1980 menjadi "aturan yang terlupakan". Hal itu diperparah oleh minimnya publikasi tentang aturan ini. Jangankan orang awam, penegak hukum sekalipun banyak yang tidak mengetahui peraturan ini. Jika mereka tahu, seharusnya kasus suap farmasi kepada dokter pada tahun lalu diproses berdasarkan aturan ini, bukan justru hilang bak ditelan bumi.

Perlu dicatat pula bahwa seringkali kita salah kaprah dan menilai bahwa penegakan hukum dalam bidang pemberantasan korupsi hanya dikaitkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lantas muncul pertanyaan, apakah KPK bisa menangani pelaku suap di sektor swasta yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 1980? Jawabannya tidak.

UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK membatasi kewenangan KPK pada tugas pemberantasan tindak pidana korupsi. Meskipun, secara teori, suap secara umum (kepada pejabat publik ataupun swasta) masuk dalam kategori tindak pidana korupsi, dalam hukum positif Indonesia, tindak pidana korupsi itu terbatas, sebagaimana diatur dalam Bab II UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbarui dalam UU Nomor 20 Tahun 2001.

Lalu, siapa yang berwenang menangani perkara tersebut? Hanya polisi dan jaksa. Inilah saatnya bagi kepolisian dan kejaksaan untuk membuktikan diri bahwa mereka dapat dipercaya publik menangani kasus suap di sektor swasta.

Sistem peraturan perundang-undangan yang tidak keruan dan pemberantasan korupsi yang hanya berpusat pada KPK membuat masyarakat lupa akan salah satu undang-undang terpenting ini. Untuk memperbaiki hal itu, pemerintah perlu dengan serius mempromosikan dan memerintahkan para penegak hukum (polisi dan jaksa) untuk menggunakan ketentuan tersebut dalam menjerat pelaku suap sektor swasta. Dengan demikian, penegak hukum di Indonesia abad ke-21 seharusnya tidak perlu lagi berlelah-lelah untuk memperdebatkan bagaimana mempidana pelaku suap di sektor swasta selayaknya penegak hukum pada 1970-an.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu