x

Iklan

akhlis purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Setahun Bersepeda di Kota Motor dan Mobil

Pengalaman bersepeda di Jakarta yang belum ramah pesepeda tidak selalu kurang menyenangkan juga asal kita bisa menyiasatinya. Ini pengalaman saya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

NATAL tahun ini saya akan merayakan ulang tahun sepeda saya. Ulang tahun pertama yang mesti dirayakan. Ya meskipun saya muslim dan kata sebagian muslim merayakan ulang tahun itu terlarang, ini kan bukan muslim yang merayakan tetapi sepeda. Saya sebagai majikannya cuma menjadi perantara saja.

Setelah setahun menjadi pesepeda di Jakarta, satu hal yang saya masih keluhkan memang tingkat polusinya. Bersepeda di hari-hari kerja memang terasa idealis tetapi kurang realistis karena sama saja saya harus merelakan paru-paru saya diperkosa oleh gas-gas buangan dari knalpot mesin-mesin kendaraan bermotor yang lalu lalang. Belum lagi terik matahari dan terpaan hujan. Sangat berisiko merusak ketahanan tubuh saya yang cukup ringkih ini. Saya tidak bisa mengambil risiko itu. Apalagi jalanan Jakarta juga belum mengakomodasi kebutuhan pesepeda dengan menyediakan jalur khusus di semua jalanan protokolnya.

Bersepeda dengan nyaman di Jakarta memang hanya ada dua pilihan waktu di kala fajar menyingsing sampai pukul 6 pagi dan bisa juga di sore hari. Hari kerja atau hari libur atau akhir pekan rasanya sama saja. Maksud saya, sama tidak bisa ditebaknya. Kadang saya bisa mengayuh mulus tanpa hambatan, kadang juga bisa tersendat sana-sini.

Saya sempat ingin membeli masker karbon aktif untuk bersepeda. Agak terlalu berlebihan bagi sebagian orang tetapi kemudian saya pikir ini investasi kesehatan yang sangat perlu dan mendasar.

Karena bersepeda di dalam kota yang tidak berperikesepedaan ini memiliki banyak tantangan, yang salah satunya ialah medannya yang tidak rata dan turun naik, saya harus berpikir seribu kali sebelum mengebut di jalan bersama motor dan mobil. Saya tidak mau berakhir naas sebagaimana yang dialami seorang pesepeda di sebuah akhir pekan di jalan Thamrin, yang membuat jasadnya terkoyak tak karuan lalu ditinggal begitu saja di jalanan oleh pengendara mobil penabraknya. Akhir yang pedih bagi manusia yang cuma ingin bertubuh sehat dan tidak menjadi beban lingkungan sekitarnya.

Soal kecepatan menembus jalanan, rupanya ada strategi khususnya juga terutama jika kita ingin mendapatkan manfaat sehatnya tanpa banyak meracuni diri dengan asap buangan kendaraan bermotor.

Ada hal yang perlu sekali kita ketahui sebagai pesepeda terkait kecepatan dan risio terpapar polusi udara. Kata ilmuwan, kecepatan kita bersepeda menentukan paparan terhadap polusi. Logika yang saya biasa pakai ialah makin lama berada di jalan, makin tinggi risiko terkena gas buangan dan makin banyak gas beracun yang masuk ke tubuh. Sehingga saya berupaya untuk secepat mungkin mengayuh.

Namun, siapa sangka menurut studi ilmiah terkini dari tim riset University of British Columbia, terlalu cepat mengayuh sepeda kita malah justru memperparah paparan polusi udara. Dikatakan lagi bahwa ada titik kecepatan optimal yang memberikan kita manfaat olahraga dengan sesedikit mungkin paparan gas buangan pada tubuh. Detailnya begini: jika Anda mengayuh dengan kecepatan 7-12 mil per jam, tingkat paparan itu akan paling minimal.

Tetapi jika Anda menurunkan kecepatan mengayuh sampai sekitar 6 mil per jam, udara kotor akan masuk dua kali lipat jumlahnya ke dalam paru-paru kita.

Secara lebih spesifik, jika Anda pesepeda wanita berusia di bawah 20 tahun, kecepatan ideal Anda saat bersepeda ialah sekitar 7,76 mil per jam.

Meskipun ditentukan secara akurat, saat bersepeda tentu akan sangat mustahil memelihara kecepatan itu terus menerus. Jadi, saat di jalan nanti, tak perlu terlalu berkonsentrasi pada tepat tidaknya tingkat kecepatan kita pada yang ditetapkan ilmuwan tadi.

Satu simpulan studi yang mengejutkan menurut saya ialah bahwa para pengendara mobil justru tidak lebih beruntung soal paparan polusi ini. Semula saya pikir pengendara mobil lebih terlindungi dari gas buangan kendaraan bermotor tetapi ternyata saya salah. Dikatakan para pengendara mobil justru terpapar polusi udara lebih banyak daripada pesepeda dan pejalan kaki.

Lalu apa yang bisa kita lakukan agar terhindar sebisa mungkin dari risiko paparan polusi udara perkotaan? Ilmuwan menyarankan untuk memilih rute yang paling sepi. Itu artinya kita mesti tahu jalan-jalan ‘tikus’ di sekitar daerah antara tempat kerja dan tempat tinggal Anda. Selain bisa tiba lebih cepat, kita tidak perlu menghirup terlalu banyak gas beracun.

Walaupun sebelumnya saya katakan Jakarta sebagai “kota yang tidak berperikesepedaan”, saya sebenarnya sudah menemukan sejumlah pengguna jalan yang menghormati dan melindungi para pesepeda yang notabene menjadi pengguna jalan paling lemah kedua setelah pejalan kaki. Saat saya hendak berganti jalur, misalnya, pengendara-pengendara ini secara sukarela memperlambat laju kendaraan mereka dan saya bisa lebih leluasa bergerak. (*)

Ikuti tulisan menarik akhlis purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB