x

Acara Pembukaan temu sastrawan Nasional di Tifa Nusantara ke-3 di Kota Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, Jumat malam 28 Oktober 2016. Tempo/Diananta P. Sumedi

Iklan

akhlis purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sastra, Susastra, Kesastraan dan Kesusastraan: Apa Bedanya?

Masyarakat luas masih banyak yang kebingungan jika ditanya arti kata 'sastra', 'susastra', 'kesastraan' dan 'kesusastraan'. Ini penjelasannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

RASANYA baru kemarin kami berdua duduk berhadapan. Tetapi ternyata saya hitung sudah lama juga berselang. Yang saya masih ingat, ia duduk di depan saya mencermati lembar-lembar kertas yang saya berikan. Saya tidak tahu apa yang ia akan tanyakan. Degup jantung saya makin kencang.

 

“Kamu lulusan jurusan Ilmu Susastra ya?” tanyanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

“Eh, betul,” jawab saya agak gugup.

 

“Apa bedanya ‘sastra’ dengan ‘susastra’? Kenapa seolah ada perbedaan? Ada bedanya ya?” ia memberondong saya dengan pertanyaan.

 

Saya ingat saya juga memiliki pertanyaan serupa sebelum masuk ke dalam jurusan itu sepuluh tahun lalu. Namun, bodohnya saya, saya belum sempat menanyakan pada dosen atau kepala jurusan saya mengenai beda kedua kata itu.

 

Saya tergagap. Saya memikirkan jawaban yang paling elegan bagi orang di depan saya ini . Saya tak mau kelihatan konyol dan dungu. Saya punya ijazah tetapi menjawab pertanyaan sesederhana ini rasanya tidak berdaya. Sampai lidah pun kelu. “Apa ya bedanya???” jerit saya dalam benak.

 

Saya jawab tidak ada bedanya, tetapi tentu saja ada yang masih mengganjal dalam jawaban singkat saya itu. Saya bersyukur orang yang bertanya di depan saya bukan orang yang menekuni dunia sastra. Tidak sedikitpun.

 

Insiden memalukan itu lewat sudah tetapi berhasil membuat saya gelisah mencari perbedaan makna keduanya. Saya pun membaca sana sini dan malah menemukan kepelikan baru lagi setelah menemukan istilah ‘kesastraan’ dan ‘kesusastraan’.

 

Keingintahuan saya menggiring kepada Lembar Informasi Kebahasaan dan Kesastraan Edisi 3, Mei-Juni 2014 yang menjelaskan duduk perkara kebahasaan yang diabaikan banyak orang ini.

 

Di dalam lembaran itu dijelaskan bahwa masyarakat awam masih sering salah paham soal makna yang tepat antara kata ‘sastra’, susastra’, ‘kesastraan’ dan ‘kesusastraan’. Tidak heran jika banyak orang yang bingung itu lalu menjawab keraguan mereka dengan berteori sendiri, bahwa semua kata tadi intinya sama: sastra. Titik.

 

Sayangnya, itu oversimplifikasi (penyederhanaan berlebihan) yang mendangkalkan makna di balik perbedaan subtil yang ada.

 

Saya susuri lagi penjelasan di lembaran tersebut dan menemukan bahwa keempat kata itu sering dianggap berarti sama sebab akar katanya sama, yakni ‘sastra’.

 

Yang luput dari pengamatan orang awam ialah bahwa menurut Soedjarwo (2007:65) kata ‘sastra’ (dalam bahasa Sansekerta, ‘cas’ artinya mengajar dan ‘tra’ artinya alat)  bermakna alat pengajaran. Sehingga tidak aneh jika dunia sastra sebenarnya dekat dengan dunia pendidikan, peningkatan kualitas sumber daya manusia.

 

Diterangkan kemudian bahwa awalan su- yang diberikan pada kata ‘sastra’ bermakna ‘indah’ atau ‘lebih’. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ‘susastra’ merupakan ‘alat pengajaran/ sastra yang indah’.  Itulah beda maknanya! Dari situ, saya simpulkan jurusan saya yang bernama ilmu susastra itu maknanya ‘disiplin ilmu yang  berkonsentrasi pada sastra yang indah’. Jadi tiada ruang bagi karya-karya picisan dan murahan di ruang kuliah kami di sini. Dan benar saja, karena saya lalu ingat kami hanya membahas karya-karya Fitzgerald, Lu Xun, Yasunari Kawabata, dan karya-karya yang dianggap canon alias puncak, panutan dan sakral.

 

Kemudian kita beralih pada pertanyaan makna ‘kesastraan’ dan ‘kesusastraan’. Masih menurut lembaran tadi, kata ‘kesusastraan’ didefinisikan sebagai ‘kumpulan atau hal-hal yang berkenaan dengan sastra’.

 

Sementara itu, kata ‘kesastraan’ dipakai untuk menyebutkan pemahaman kadar sastra (literariness). Misalnya kita bisa katakan demikian: “Kesastraan novel ‘Fifty Shades of Grey’ lebih rendah daripada novel ‘The Correction’.”

 

Ironisnya, imbuhan-imbuhan tadi justru membuat makna kata yang dilekati (sastra) menjadi makin menyempit. Buktinya, dikatakan bahwa makna ‘ sastra’ lebih luas daripada ‘kesusastraan’. Di samping itu, ilmu sastra juga pada hakikatnya meliputi ilmu bahasa, ilmu kesusastraan, ilmu sejarah, ilmu arkeologi, dan filsafat. Demikian halnya dengan sarjana sastra yang mencakupi ahli bahasa, ahli kesusastraan, ahli antropologi, ahli sejarah, ahli arkeologi, dan ahli filsafat. Mengetahui pemaknaan ini, saya jadi paham mengapa saat saya dulu kuliah di jurusan Sastra Inggris, saya tidak hanya dicekoki grammar (tata bahasa Inggris) dan disuruh membaca cerpen dan novel saja. Saya juga harus belajar linguistik, morfologi, fonetik (yang jujur tak begitu saya sukai), pranata masyarakatnya (rupanya ini sosiologi dan antropologi terapan), telaah sastra (yang ternyata mengharuskan saya membaca konteks sejarah saat karya-karya sastra dibuat untuk bisa memahami konteksnya lebih baik), etika dan filsafat (di sini aspek filsafat itu diberikan). Sungguh ruang lingkup sastra itu luas sekali. Waktu belajar 8 semester saja rasanya tidak mencukupi. (*)

Ikuti tulisan menarik akhlis purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler