x

ormas

Iklan

Tasroh

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Audit Total Ormas

Terlepas dari pro kontra terkait ormas yang gemar berbuat onar, keberadaan ormas di Indonesia sejak era reformasi memang cenderung ‘dibiarkan’

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

leh Tasroh *)

Pemerintah dan berbagai komponen bangsa kembali mewacanakan revisi Undang-undang No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Wacana tersebut lahir dilatarbelakangi oleh kian banyaknya ulah Ormas yang bertindak brutal, hobi kekerasan dan mendalilkan asas organisasinya secara terang-terangan anti Pancasila.

Menko Polhukam, Wiranto, meyakini bahwa ormas yang berperilaku jauh dari nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan asas Pancasila tersebut sebenarnya tidaklah demikian.  Apalagi ormas yang mengusung aklaq religiusitas, dimana dalil-dalil agama menjadi landasan idiologis dan gerak perjuangannya. Ormas demikian terjadi lebih kepada alasan praksis yakni ormas yang keliru memilih pemimpinnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terlepas dari pro kontra terkait ormas yang gemar berbuat onar, keberadaan ormas di Indonesia sejak era reformasi bergulir, khususnya sejak era rezim Soeharto tumbang (1998an) memang cenderung ‘dibiarkan’ oleh negara/pemerintah berkuasa. Dengan dalil kebebasan berorganisasi dan berekspresi, pemerintah pasca Soeharto cenderung lebih ‘lunak’ dalam merespon kelahiran ormas-ormas tersebut.

Hal itu terlihat dari mudahnya komponen bangsa/warga/kelompok masyarakat yang mendirikan Ormas, apalagi ormas dengan label ‘agama tertentu’. Maka seperti catatan Kemendagri (2016)), kini tercatat di seluruh Indonesia sudah terlahir sebanyak 250 ribu ormas mulai ormas kelas teri di desa-kampung hingga ormas elite kakap yang memiliki jaringan lintas wilayah bahkan lintas negara (Kompas, 1/12/2016).

Tragisnya, disaat yang sama, ribuah ormas tersebut seolah dianggap sebagai ‘mainan’ belaka baik oleh para pengurus manajemennnya hingga oleh negara/pemerintah itu sendiri. Sejarawan Ong Ho Kham (1998) pernah menulis bahwa ormas-ormas tersebut sejak rezim Soeharto tumbang lebih berasa bermain ‘politik’ atau menjadi bagian dari organisasi politik ketimbang mewujudkan cita-cita luhurnya sebagai partner masyarakat dan negara membangun rasa solidaritas, kesetiakawanan hingga membentengi segenap tumpah darah Indonesia dari berbagai rongrongan idiologis.

Bahkan perkembangan Ormas di Indonesia di era reformasi, dengan dalih demokrasi liberal, pergerakan dan perkembangan Ormas kian nyata menjadi bagian intergral dari perjuangan politik chauvinisme yang ditandai dengan (1) mudahnya proses kelahiran ormas, (2) dikuasai oleh elite dan segelintir politisi berkedok agama, (3) mudahnya ditumpangi, diboncengi oleh penguasa modal dan kekuasaan serta (4) rakus dalam mengejar materi dan kekuasaan keduniawian.

Harus diakui, ormas-ormas demikian kian bertebaran dimana-mana. Hal ini lantaran tak hanya digemari oleh berbagai komponen masyarakat/warga lantaran sudah dianggap sebagai medium penyemai kebebasan berpendapat, tetapi juga karena negara/pemerintah sendiri tidak kuasa (baca: ketakutan—red), jika berhadapan dengan ormas-ormas demikian. Apalagi sudah menjadi rahasia umum, penguasa dan kekuasaan pemerintah, sadar atau tidak, juga ditopang oleh elite ormas itu sendiri, baik melalui dukungan politik praktis (parpol) atau melalui penguatan kelembagaan masng-masing.

Berdasarkan kajian LPM UI (2015), sudah menjadi rahasia umum bahwa semua ormas yang beroperasi di Indonesia memiliki afiliasi, dukungan dan kolaborasi dengan partai politik. Maka benar apa yang disebut MH Ainun Nadjib (2016), terhadap ormas brutal yang mengklaim membela agama tertentu pun, sejatinya bukanlah sedang memperjuangkan, membela apalagi berahklaq agama tertentu secara autentiq, tetapi justru hanya dijadikan ‘bamper’ bagi upaya-upaya elite ormas tersebut untuk berburu kuasa, kekuasaan bahkan jabatan keduniawian. Nilai dan dalil-dalil agama yang terpampang di poster-poster seperti terlihat dalam kegiatan demontrasi belakangan, sejatinya hanyalah menjadi media kamuflase ala politik ‘bunglon’ guna mendapatkan legitimasi sebagian umat yang didramatisir oleh elite untuk turut mendukung aksi-aksi liar dengan dalih perjuangan agama dan kemasyarakatan.

Perilaku dan tindakan ormas demikian kian mengakar di level akar rumput lantaran para elite ormas membangun jejaring dengan aktivis dan elite partai politik yang kuat. Ikatan-ikatan elite ormas dengan jejaring akar rumput dapat berkembang massif lantaran ‘politik bagi-bagi’ materi yang merata dikalangan ormas dan parpol itu sendiri. Maka benar ketika lahir adagium, pengurus ormas juga butuh makan dan kenikmatan, hanya dengan bertindak liar itulah, mereka dapat menghidupi dan membiayai kegiatan ormas!”. 

Audit Total

Atas dasar fakta tersebut, sejatinya kondisi ‘idiologis’ ormas di Indonesia sedang dalam krisis mahadahsyat. Peneliti dari Australia dalam pemapran kajiannya di NBC News (29/11/2016) menyebutkan bahwa organisasi sosial kemasyarakatan (dan keagamaan) di kawasan Asia Pacific, kini sedang menjadi ‘hotbed’ penyemai idiologi kiri (right idiology), yang dikembangkan dari hasil revolusi politik di kawasan Timur Tengah (middle east) yang bercirikan radikalisme dan sosialisme religius.

Agama menjadi basis isu ormas lantaran hanya dengan cara demikian yang mampu mengikat kuat sendi-sendi ‘idiologis’ warga di level akar rumput. Persemaian idiologi ormas yang dibalut dengan agama diyakini tidak hanya menjadi ‘perekat’ darah dan jiwa para pengikutnya, tetapi sekaligus menjadi pelecut massal semua komponen bahkan untuk menjungkirbalikkan idiologi tandingan hingga kekuasaan itu sendiri.

Kondisi ormas demikianlah sebenarnya yang menjadi pembusuk demokrasi dan politik, ( decayed democracy and politics) seperti yang disebutkan pakar politik Ohio University, Daniel Dunn dalam “Beyond Idiology of Non-Governmental Organization”, (2010). Dunn menyebutkan bahwa atas nama demokrasi pula, para aktivis ormas mengembangkan cara-cara radikal, brutal dan tempramental bukan dalam rangka memperjuangkan nilai dan akidah keagamaan, tetapi sejatinya sebagai upaya perjuangan memperebutkan kekuasaan dan jabatan. Karena diakui, hanya dengan taktik demikian, dukungan massif dengan gratis bisa diperoleh. Disinilah ‘politik tipu-tipu’ dipertontonkan!

Sayangnya, dalam landscape Indonesia, negara/pemerintah berkuasa belakangan juga terlihat gamang bahkan terkesan takut jika berhadapan dan mencoba mengendalikan ‘idiologi’ ormas – ormas tersebut. Padahal sejatinya, ketika ormas-ormas tersebut terbuki bertindak brutal bahkan terang-terangan tertulis dalam AD/ART organisasinya tidak mencantumkan idiologi negara yang sah dan dipersyaratkan UU, secara otomatis menjadi tugas dan tanggungjawab negara melalui pemerintah berkuasa untuk tegas dan tuntas menyelesaikan kemelut ormas tersebut.

Maka merespon tuntutan publik kekinian, hemat penulis, pemerintah (melalui Kemendagri) tak perlu terburu-buru untuk segera melakukan revisi terhadap UU ormas tersebut, karena sejatinya persoalan bukan berada pada adaptif atau tidaknya regulasi negara tersebut, tetapi lebih kepada konsistensi dan keseriuan negara/pemerintah untuk menegakkan regulasi/atuan main dalam UU Ormas tersebut. Terbukti banyak pelanggaran hukum dan tindakan kekerasan dari ormas onar sering dibiarkan tanpa kejelasan solusi hukum.

Salah satunya adalah mandat dan amanat UU Ormas yang belum konsisten dan serius dijalankan aparat negara/pemerintah adalah audit total terhadap keberadaan ormas itu sendiri, khususnya audit terhadap idiologi, garis perjuangan, asas dan ‘bisnis’ ormas itu sendiri secara detail dan terintegrasi. Audit ‘idiologis’ dan garis perjuangan ormas mendesak dijalankan negara/pemerintah lantaran terbukti dari sepak terjang dan track record ormas – ormas tersebut selama ini, cenderung kian jauh dari idiologi negara tercinta. Penegasan idiologis itu juga dapat terlihat dari ‘bisnis’ yang selama ini digelutinya dimana sebagian urusan yang kerjakan hakikatnya hanyalah perebutan kuasa, guna mendapatkan job-job yang bisa mendapatkan ‘modal’ untuk menghidupi operasional organisasi. 

Audit total, transparan dan jujur terhadap ormas – ormas tersebut diharapkan mampu mengurai sekaligus menyelesaikan  ‘kemelut idiologis’ secara gamblang guna mewujudkan keberadaan ormas idaman rakyat dan bangsa yakni ormas yang santun, beridiologi Pancasila serta berjuang dengan iklas dan gigih untuk meningkatkan martabat dan derajat kehidupan rakyat secara keseluruhan. Melalui audit totoal itu pula, pemerintah selaku regulator dan fasilitator dapat menelisik apa, siapa dan bagaimana sejatinya nilai-nilai dan adab perjuangan ormas membangun habitatnya, mencerahkan hidup para pengikut dan pendukungnya sekaligus darimana dan darisiapa dana-dana ormas dialirkan dan untuk kepentingan siapa dan apa dana-dana tersebut dibelanjakan.

Langkah demikian mendesak saat ini dilakukan negara/pemerintah agar rakyat tidak kembali menjadi korban kebrutalan ormas atau rakyat banyak dijadikan bamper elite ormas untuk berjuang dengan dalih agama tertentu, tetapi sejatinya hanya menjadi alat perebutan kekuasaan dan jabatan. Inilah sejatinya kenistaan ormas itu sendiri. Karenanya sebelum kenistaan itu berkembangbiak dan menelan korban persatuan dan kesatuan rakyat sendiri, jauh lebih mendesak negara/pemerintah melakukan audit total pada semua ormas tanpa kecuali, guna menatakembangberdayakan ormas untuk kembali ke fitrahnya sebagai ‘penyemai’ keadaban sosial-keagamaan, pencerah martabat umat dan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa-suku, agama dan golongan guna kian kuatnya NKRI, bukan sebaliknya, menjadi alat kompor-komporan politik yang menyesatkan!*** (Tasroh, S.S.,MPA.,MScPegiat Banyumas Policy Watch dan Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan)

Ikuti tulisan menarik Tasroh lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler