x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Meluruhkan Perbedaan di Arena Olahraga

Olahraga adalah medium rekonsiliasi yang senyap. Saat tanda dimulainya pertandingan bertiup, saat itu pula kita melupakan warna kulit, agama, dan ras.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seorang kawan pernah membuat status yang menggetarkan hati di media sosial. Begini tulisnya, “Ketika Boaz mengoper bola ke Andik, itulah Indonesia.” Di lapangan hijau, kita bisa melupakan banyak hal: warna kulit, agama, juga prasangka.  Mengapa?

Selalu Ingat  The Titans

Sulit untuk menjawabnya pertanyaan di atas. Tapi, menarik untuk menyimak kisah sebuah tim Football SMA di Alexandria, Virginia, Amerika Serikat pada 1971. Sekolah bernama T.C. Williams High School menghadapi masa-masa terberat ketika itu. Kebijakan baru mengharuskan sekolah itu menjalani desegregasi. Artinya, sekolah dibuka tidak hanya bagi pelajar berkulit putih, namun juga pelajar kulit berwarna terutama warga Afro-Amerika.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kawasan Alexandria pada masa itu begitu rentan akan konflik antar ras. Penembakan remaja kulit hitam oleh seorang penjaga toko pada Juli 1971 hampir memicu kerusuhan massal jika tidak segera dipadamkan. Padahal, tujuh tahun sebelumnya, 1964, peristiwa pembunuhan tiga aktivis yang salah satunya berkulit hitam di Missisipi belum hilang dalam ingatan kolektif warga Amerika. 

Kebijakan desegregasi di T.C. Williams ini berimbas kuat pada perubahan struktur kepengurusan sekolah. Tak hanya itu, perubahan itu juga terjadi pada struktur kepelatihan tim football sekolah tersebut. Ibarat sepak bola di Eropa, football adalah identitas bagi sebagian besar warga Amerika. Perubahan struktur kepelatihan ini mengusik  kepengurusan lama yang semuanya kulit putih.

Pelatih lama tim, Bill Yoast, yang telah memberikan sejumlah gelar kepada The Titans, julukan tim itu,  harus diganti dengan pelatih football dengan reputasi level lebih rendah bernama Herman Boone, seorang kulit hitam. Keputusan yang kemudian membuat pemain lama cemas akan posisi mereka. Prasangka rasialis menyeruak ketika itu. Teriakan boikot pun terdengar dari sudut-sudut kemarahan dan prasangka.  Kondisi ini kian bertambah runyam ketika Yoast harus bertukar posisi dengan Herman Boone. Posisi Yoast berada di bawah Boone yang bertindak sebagai pelatih kepala.

Herman Boone memiliki karakter keras. Ia dikenal pula sebagai aktivis yang kagum pada pemikiran Martin Luther King Junior.  Kehadirannya di tim T.C. Williams memberikan harapan bagi warga kulit hitam agar anak-anak mereka bisa bermain dalam olahraga bergengsi tersebut.

Apa yang terjadi kemudian adalah adaptasi yang sulit. Prasangka terus-menerus terjadi di  dalam tim tersebut.  Boone pun memutuskan untuk menggelar latihan pra-musim di Kamp Pelatihan, Gettysburg, Pennsylvania. Pemilihan tempat itu bukan tanpa alasan. Gettysburg adalah saksi bisu ketika kebencian serta prasangka ras membuat manusia saling membinasakan.  Tempat itu adalah lokasi pertempuran besar dalam perang saudara di Amerika Serikat. Tercatat hampir 50 ribu korban tewas, luka, dan hilang dalam pertempuran yang terjadi pada Juli 1863 itu.

Selama menjalani pelatihan pra-musim, Boone bersama Yoast sebagai pelatih, berusaha merekatkan anak didiknya. Selama dua minggu, mereka “mencuci otak” anak didiknya untuk melawan prasangka ras dan kebencian terhadap perbedaan. Dua ikon atlet terbaik tim itu, Gerry Bertier dan Julius Campbell, menjadi inspirasi bagi kawan-kawan lainnya. Alhasil, tim football itu menjadi inspirasi bagi desegregasi.

Kebersamaan itu pula yang dibawa hingga ke lapangan hijau. Tim besutan Boone dan Yoast berhasil meraih musim yang sempurna tanpa kekalahan. Pemandangan di arena stadion pun berubah. Tak ada lagi bangku pemisah antara penonton berkulit hitam dan berkulit hitam.

***

 

Salah satu fragmen menarik dari kisah The Titans, adalah kedatangan seorang siswa baru bernama Ronnie Bass. Anak muda ini berasal dari keluarga Perwira Angkatan Laut. Sang Ayah ingin anaknya bermain untuk The Titans karena satu alasan, “Jika mereka (kulit hitam dan kulit putih) bisa berperang bersama, mengapa tidak dengan bermain football.

Kisah The Titans ini kemudian diangkat ke layar kaca pada tahun 2000 oleh Disney. Disutradari oleh Boaz Yakin, film ini dibintangi oleh dua aktor watak Hollywood, yaitu Denzel Washington sebagai Herman Boone dan Will Paton sebagai Bill Yoast. Film ini mendapat apresiasi luar biasa karena ceritanya yang menyentuh.

***

Perbedaan itu pula yang kita lupakan kala bendera merah putih berkibar di Barcelona, Spanyol, pada tahun 1992. Dua putra bangsa terbaik, Alan Budikusumah dan Susi Susanti, mengawinkan medali emas tunggal putra-putri untuk cabang bulu tangkis. Kita bersorak gembira. Sorakan yang sama terdengar ketika Rudi Hartono, sang legenda hidup, meraih gelar demi gelar All England. Juga, saat pasangan Liliyana Natsir dan Tontowo Ahmad meraih medali emas Olimpiade Rio de Janeiro Brazil 2016.

Ketika kok menyentuh lantai lapangan, menandakan permainan usai, pada momen itu pula kita melupakan darah leluhur yang mengalir pada Alan, Susi, Rudi, dan Butet. Atau, ketika Boaz Solossa berbagi bola dengan Stefano Lilipaly, lalu mengumpannya ke Andik Virmansyah. Hanya ada satu kata yang teringat ketika itu: Indonesia. Mungkin ini semacam Imagined Community, komunitas yang dibayangkan, oleh Benedict Anderson.  

Komunitas bernama Indonesia kembali direkatkan oleh hadirnya musuh bersama yaitu tim negara lain. Kekuatan itu kian erat ketika simbol-simbol ke-Indonesia-an dihadirkan dalam kaus, sapuan cat merah putih di wajah, bendera merah-putih berbagai ukuran, hingga lagu kebangsaan.

Kompetisi liga antarklub yang memisahkan penonton dengan warna-warni kebanggaan masing-masing klub seolah luruh dalam warna kebangsaan merah putih. Karena itu, olahraga, meminjam konsep Robert Bellah bisa menjelma menjadi agama sipil, kaidah baru yang memiliki kekuatan perekat dengan simbol-simbol baru. Olahraga adalah medium rekonsiliasi yang senyap. Bersamaan dengan tiupan peluit tanda dimulainya laga, saat itu pula kita melupakan agama, ras, dan warna kulit.

Begitulah olahraga, ia membawa kita menghapus perbedaan meski untuk sementara waktu. Karena itu, jika kamu membenci perbedaan, ingatlah arena olahraga....

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler