x

Wiranto, Menteri koordinator Politik Hukum dan Keamanan. TEMPO/Imam Sukamto

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Aksi Sweeping Atribut Natal Harus Dilawan

Apakah sudah lupa makna Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan negara ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

….

Kini ibu sedang lara…

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Merintih dan berdoa….

Sepenggal lirik lagu Ibu Pertiwi itu sepertinya pas banget menggambarkan kondisi negeri ini. Kemajemukan negeri ini, yang terus digelorakan saat republik ini berdiri, kini seperti berada di pinggir jurang. Jika kesewenang-wenangan terus dibiarkan, tinggal jatuh aja ke dasar. Kebhinekaan negeri yang terus didengungkan dan menjadi semboyan negara mungkin akan tinggal kenangan.

Setiap bulan Desember tiba, keributan netizen soal haram halal mengucapkan Selamat Natal terus menjadi perdebatan yang terus diulang di media sosial. Setiap tahun. Di dunia nyata, keributan itu kini diperjelas dengan keluarnya fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia tentang penggunaan atribut Natal  oleh umat muslim demi menjaga akidahnya. Seperti diberitakan, MUI baru saja mengeluarkan fatwa nomor 56 tahun 2016. Fatwa itu berisi tentang penggunaan atribut keagamaan di luar agama Islam. Dalam fatwa itu, hukum menggunakan atribut keagamaan yang bukan sesuai agama Islam adalah haram.

Munculnya fatwa MUI ini berimplikasi kepada sikap seenaknya sendiri dari para organisasi massa keagamaan seperti Front Pembela Islam. Berbekal fatwa tersebut, laskar-laskar partikelir itu menunjukkan keberingasannya dengan menyapu restoran dan mal-mal yang memajang pernak-pernik Natal dan merusaknya.

Pada Minggu, 18 Desember 2016, FPI melakukan aksi sosialisasi dan sweeping di sejumlah pusat perbelanjaan di Surabaya, Jawa Timur. Tujuannya, agar tidak ada muslim yang memakai atribut Natal saat bekerja. Gilanya, aksi itu dikawal oleh 200 anggota polisi dari Satuan Samapta Bhayangkara (Sabhara), Pengendali Massa (Dalmas), dan Brigade Mobil (Brimob) Polda Jawa Timur. Padahal, massa FPI yang terlibat hanya puluhan.

Aksi serupa juga terjadi di Restoran Social Kitchen di Solo, Jawa Tengah, di hari yang sama. Puluhan orang berjubah datang ke restoran yang berada di sekitar Monumen Banjarsari. Mereka langsung masuk dan merusak beberapa barang di dalamnya. Bahkan, mereka memukul pengunjung restoran hingga ada beberapa orang yang harus dilarikan ke rumah sakit karena terluka.

Aksi mau enaknya sendiri dengan berbekal fatwa MUI itu jelas salah. Bagaimanapun, fatwa MUI tidak bisa dijadikan sebagai pijakan di negara yang berdasarkan hukum positif itu. Apalagi, aksi brutal, kalau tak ingin dikatakan biadab ini dilakukan dengan pengawalan polisi.

Seakan merespons keresahan masyarakat atas aksi bar-bar itu, Presiden Joko Widodo pun memanggil Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian ke Istana Kepresidenan. "Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan kepada Polri agar selalu berprinsip dan berpegang pada hukum yang berlaku," ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Istana Kepresidenan, Senin, 19 Desember 2016.

Pramono mengatakan, tindakan kepolisian mengawal aksi ‘bikin onar’ itu dipandang berlebihan. Musababnya, fatwa MUI itu bukan hukum positif. "Hukum positif kita adalah undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, dan termasuk keputusan Kapolri sendiri. Jadi, seharusnya, aturan itu yang dipegang. Presiden memanggil Kapolri perihal itu," ujarnya.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto di tempat yang sama juga menyatakan kementeriannya tengah mempelajari aksi FPI itu, terutama lantaran beraksi dengan pengawalan kepolisian. "Sedang kami garap suatu penelitian untuk mempelajari perkara ini karena seharusnya tidak boleh atas alasan apapun," katanya saat itu.

Menurut Wiranto, akan ada proses tersendiri bagi ormas-ormas yang ketahuan melakukan sweeping, apalagi dengan pengawalan Kepolisian. Proses itu tentunya berdasarkan hukum karena sweeping tidak dibenarkan oleh hukum.

Segendang sepenarian, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pun meminta masyarakat Indonesia saling menghargai dan bertoleransi menjelang perayaan Natal 25 Desember 2016.  "Harapan saya, tentu kita bisa saling menghargai dan menghormati sesama saudara kita yang merayakan Natal," kata Lukman di kantor Kementerian Agama di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Senin, 19 Desember 2016. 

Menurut Lukman, Indonesia adalah negara yang terdiri atas berbagai macam penganut agama. Menjelang Natal 2016, Menteri Lukman meminta seluruh masyarakat saling menghargai antar-umat beragama. "Jadi sebaiknya kita menghargai saudara kita yang merayakan Natal karena itulah keyakinan agama mereka. Sebagaimana mereka menghargai umat Islam yang merayakan hari besarnya," ujarnya.

Menteri Lukman juga meminta masyarakat segera melapor ke polisi jika menemukan aksi sweeping menjelang Natal. Lukman menilai segala bentuk pelanggaran seharusnya hanya ditindak aparat penegak hukum. "Jadi, kalau kita menghadapi hal-hal yang tidak sebagaimana mestinya, kewajiban kita sebagai warga negara adalah menyampaikan kepada aparat penegak hukum. Biarlah aparat penegak hukum yang bertindak atas nama hukum."

Kapolri Tito pun bakal menindak tegas organisasi kemasyarakatan yang menggelar sweeping anarkistis menjelang peringatan Natal. “Saya perintahkan ke jajaran, kalau sweeping dengan cara anarkistis, tangkap,” katanya di Universitas Negeri Jakarta, Senin, 19 Desember 2016. 

Menurut Tito, fatwa yang dikeluarkan MUI itu agak sensitif.  Tito mengimbau agar fatwa MUI bisa menggunakan bahasa yang tidak mengundang potensi konflik umat beragama. “Saya akan koordinasi dengan MUI agar keluaran fatwa juga mempertimbangkan toleransi,” ujarnya. 

Tito menilai fatwa MUI bukan merupakan hukum positif di Indonesia. Dengan demikian, segala bentuk sweeping dan perampasan atribut Natal dilarang.

Nah, jika para pemangku kebijakan sudah bersuara seperti ini, kenapa pelanggaran masih terus terjadi? Apakah kita sudah lupa cita-cita leluhur kita untuk menyatukan nusantara yang beragam ini. Apakah sudah lupa makna Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan negara ini?

Mari kita menilik sejarah Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini lahir dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular, seorang resi yang hidup pada abad 14 Masehi pada masa Kerajaan Majapahit. Siapa Mpu Tantular? Si empu ini penganut Buddha Tantrayana lho. Ia mengeluarkan ungkapan Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu juga ini, lantaran merasakan ketenteraman dan kenyamanan meski ia penganut Buddha di negara yang mayoritas beragama Hindu. Kebebasan beribadahnya dijamin oleh negara pada saat itu, meski ia minoritas. Jika dulu, rakyat nyaman dan aman beribadah sesuai keyakinannya, kenapa kita yang sudah kekinian ini, sudah abad 21, atau melampau 700 tahun lamanya, malah hendak kembali ke zaman kegelapan.

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini secara resmi menjadi semboyan kita sejak republik ini lahir. Saat UUD 1945 diamandemen, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhan sebagai semboyan negara sesuai pasal 36 A, yang berbunyi, “Lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.” Semboyan ini sebagai penggambaran atas persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Sebelum dinyatakan secara eksplisit di amandemen UUD 1945, lambang negara Garuda Pancasila yang menyertakan tulisan Bhinneka Tunggal Ika ini juga sudah ditetapkan dalam dalam Peraturan pemerintah No. 66 Tahun 1961 tentang Lambang Negara.

Jadi, kenapa kita harus menghancurkan tatanan yang dibikin dengan amat susah payah oleh para pendahulu kita. Buatnya pakai darah dan air mata lho. Bahkan dengan pengorbanan nyawa. Apa kita masih akan sibuk menuntut hak kita sebagai mayoritas lalu mengabaikan yang minoritas. Relakah Anda, semboyan yang sudah menyatukan negeri ini akan berubah menjadi ‘hanya’ Tunggal Ika saja? Artinya ya Cuma satu saja. Sejenis. Seiman. Sesuku. Seragam.

Kalau kita masih ingin persatuan Indonesia dengan keberagaman, lawan aksi memaksakan kehendak apalagi sampai merusak dan melukai orang itu. Kenapa? Karena Indonesia lahir dengan kemajemukan yang diwariskan nenek moyang kita selama berabad-abad.

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB