x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kalah Menang Melawan Terorisme

Setiap kemenangan yang harus dibayar dengan harga yang sangat mahal sesungguhnya adalah kekalahan, dan itulah yang dimaksud dengan pyrrhic victory.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Prasa pyrrhic victory adalah istilah sinis yang merujuk ke Pyrrhus (baca: Pairuz), Raja Yunani yang  berhasil memenangkan perang melawan pasukan Romawi dalam Pertempuran Heraclea tahun 280 Sebelum Masehi dan Pertempuran Asculum tahun 279 Sebelum Masehi. Tapi untuk meraih kemenangan itu, Raja Pyrrhus harus menanggung harga yang amat mahal: kehilangan banyak prajurit pilihan dan sebagian besar sahabat dekatnya. Yunani bahkan kehabisan sumber daya manusia untuk dijadikan rekrutmen pasukan baru. Sementara pasukan Romawi dalam waktu yang relatif singkat mampu melakukan recovery dan membangun kembali pasukan yang lebih kuat.

Raja Pyrrhus melihat kemenangannya itu dengan sinis dan lalu berkesimpulan:“One other such victory would utterly undo us (satu kemenangan lagi yang seperti ini, kita pasti sudah habis)”.

Setiap kemenangan yang harus dibayar dengan harga sangat mahal sesungguhnya adalah kekalahan, dan itulah yang dimaksud dengan pyrrhic victory.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Para sejarahwan menyebutkan banyak contoh klasik tentang pyrrhic victory. Dan contoh paling mutakhir adalah Mamasapano clash, ketika Special Action Force (SAF), satu unit elit di Philippine National Police (PNP) – dan diduga juga melibatkan United States Army Special Forces – melancarkan operasi dengan sandi “Oplan Exodus” pada 25 Januari 2015, terhadap Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF) dan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Operasi ini bertujuan menangkap atau membunuh Zulkifli Abdhir, teroris asal Malaysia yang dikenal dengan bomb-maker. Operasi “Oplan Exodus” berkahir dramatis: 44 anggota SAF tewas, dan hanya menewaskan 18 anggota MILF dan BIFF, serta 5 warga sipil.

Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, salah satu agenda global yang berpotensi bahkan sudah menjelma menjadi pyrrhic victory adalah global war on terrorism.

Seperti diketahui, mantan Presiden Amerika George W Bush pertama kali menggunakan prasa War on Terror (WoT) – yang juga popular dengan Global War on Terrorism (GWOT) – pada 20 September 2001. Dan sejak itu, GWOT digunakan hampir semua media dan peneliti di seluruh dunia ketika mengomentari dan mengulas setiap aksi teror dan penanggulangannya.

Pada 2013, Presiden Barack Obama sebenarnya berupaya merevisi konsep GWOT, dengan mengatakan “We must define our effort not as a boundless 'Global War on Terror', but rather as a series of persistent, targeted efforts to dismantle specific networks of violent extremists that threaten America (Kita harus menentukan usaha kita, bukan sebagai Globar War on Terror yang tidak mengenal tapal batas, tetapi menetapkan serangkaian upaya berkesinambungan yang secara spesifik diarahkan untuk menghancurkan jaringan kekerasan yang mengancam Amerika)”.

Tapi setelah berkuasa selama delapan tahun, Barack Obama lebih sering mengingkari janji dan komitmennya yang diucapkan sendiri di awal-awal kekuasaannya di Gedung Putih. Obama memang menarik pasukan Amerika dari Afghanistan dan Irak. Tapi kita tahu, setelah muncul Islamic State di Irak pada 2014, Amerika kembali terlibat langsung dan aktif dalam GWOT.

Dan mengacu pada pengamatan selama lebih 15 tahun pelaksanaan GWOT, ada beberapa catatan kritis, yang mungkin perlu diwacanakan lebih lanjut:

Pertama, GWOT adalah perang dengan batasan wilayah dan waktu yang sangat fleksibel. Periode waktunya bisa lebih panjang ketimbang attrition war (perang menghabiskan sumberdaya lawan).

Kedua, target GWOT bukan entitas negara (dengan tiga pengecualian yang mirip negara: pemerintahan Taliban di Afghanistan, kontrol IS di Raqqah Suriah dan di Mosul Irak), tapi sebuah komunitas ideologis, yang juga rela dan siap menempuh segala cara untuk melakukan perlawanan dengan napas panjang.

Ketiga, GWOT didesain untuk melawan musuh yang berkarakter “patah tumbuh hilang berganti”. Setelah Osama bin Laden tewas pada 03 Mei 2011 di Abottabad Pakistan, hanya perlu waktu sekitar tiga tahun kemudian untuk memunculkan seorang Abu Bakar Al-Baghdadi, pemimpin Islamic State di Irak. Dan tidak ada jaminan, jika Abu Bakar Al-Baghdadi juga akhirnya terbunuh, tidak akan muncul figur baru yang boleh jadi lebih bengis.

Keempat, konsep modifikasi Obama untuk secara spesifik memerangi dan menghancurkan jaringan teroris, sejauh ini justru terbukti sebaliknya: semakin banyak organisasi dan kelompok teror yang bermunculan di berbagai belahan bumi.

Untuk kasus Indonesia, setelah Jamaah Islamiyah (JI), banyak kelompok baru yang justru lebih sulit diantisipasi, karena lebih lentur dan nyaris tanpa komando tunggal.

Dalam skala lebih besar, sejauh ini tidak/belum ada konsep jitu untuk mengantisipasi gerak langkah para kombatan jihadis yang memilih menjadi lonely wolves.

Kelima, dari sekian banyak konsep deradikalisasi (memerangi radikalisme yang diyakini sebagai lahan tumbuhnya terorisme), yang diselenggarakan di banyak negara, nyaris semua gagal total, kecuali beberapa kasus pengecualian. Hasilnya, komunitas radikal bukannya berkurang, malah tambah banyak.

Di Indonesia, program deradikalisasi di semua lini, sejauh ini belum membuahkan hasil. Bahkan di negara-negara yang awalnya dianggap sukses melakukan deradikalisasi, akhirnya mengakui kegagalannya setelah muncul fenomena foreign fighters di Suriah dan Irak. Banyak komunitas radikal yang tadinya dianggap sukses menjalani program deradikalisasi, akhirnya menjadi mujahidin di Suriah dan Irak.

Keenam, yang paling dramatis, berdasarkan beberapa sumber, selama 15 tahun terakhir (akhir 2001 s.d akhir 2016), operasi pembunuhan di berbagai wilayah regional – yang sering secara angkuh diklaim sebagai bagian dari war on terror – telah menghasilkan jumlah korban sipil yang jauh lebih banyak, dibanding jumlah korban akibat aksi teror itu sendiri.

Ketujuh, Di semua negara, aparat keamanan yang khusus menangani kelompok teror akhirnya selalu dituntut – dan tidak selamanya sukses – dalam mengkombinasikan antara penegakan hukum dan penindakan yang bersifat khusus yang menuai kecaman.

Kedelapan, semua rekap data tentang aksi-aksi teror secara global, ternyata lebih panjang setelah war on terror, dibanding periode sebelum war on terror. Dan kecenderungan ini tampaknya masih akan berlansung

Kesembilan, kita belum dan mungkin tidak akan pernah tahu data tentang berapa triliun dolar, yang sudah digelontorkan untuk mendanai dan mendukung war on terror, baik di masing-masing negara, apalagi jika digabung anggaran semua negara dalam kegiatan memerangi terorisme dan radikalisme secara global.

Konsekuensinya, ibarat tercebur ke dalam kubangan comberan tak bertepi, semua tangan telah tercemari. Bahkan tak ada lagi bagian tubuh yang luput dari lumuran comberan. Pada saat yang sama, musuh war on terror, makin hari semakin nyata di depan mata, dan setiap saat mereka mampu melancarkan serangan balik.

Setiap penumpasan dan penggerebekan memang harus diapresiasi, tapi kalau untuk meraih publikasi sukses, lantas negara dan bangsa harus menanggung the Pyrrhic Victory, mungkin saatnya kita harus berpikir ulang tentang berbagai variabel yang selama ini belum terpikirkan.

Harus diakui, tidak ada solusi sim salabim dan tak ada resep mujarab yang bersifat generik dan instan dalam memerangi terorisme. Sementara menghentikan war on terror secara tiba-tiba dengan alasan apapun, tampaknya juga bukan langkah bijak. Namun setiap kemenangan dalam war on terror, yang akhirnya menjadi Pyrrhic Victory, tentu akan menjadi beban historis tersendiri bagi bangsa dan negara.

Syarifuddin Abdullah | Kamis, 22 Desember 2016 / 23 Rabiul Awal 1438H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler