x

Front Page Cantik. Menyaring Arus Media Sosial. shutterstock.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kabar Sesat Setua Manusia

Fenomena berita bohong, palsu, dan menyesatkan bukan fenomen era digital. Ia sama tuanya dengan manusia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Suatu ketika, 6 Juli 2014, seorang bapak-bapak bernama Jay Branscomb memposting foto seorang lelaki tengah duduk di tanah. Tepat di belakang lelaki berkacamata itu tergeletak seekor hewan besar sejenis Dinosaurus. Tampaknya hewan itu mati.

Di halaman Facebook-nya itu, Branscomb menulis kata-kata yang bernada ‘menghasut’: “Ini foto memalukan pemburu rekreasional yang bahagia berpose di dekat seekor Triceratops yang baru saja ia bantai. Tolong bagikan (foto ini) agar dunia dapat mempermalukan manusia hina ini.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ribuan komentar yang sampai ke laman Facebook Branscomb, sebagian marah besar dan mengecam lelaki yang ada di foto itu: “Tindakan barbar begini kok masih diizinkan... apa tidak ada undang-undang konservasi yang bisa diberlakukan?” Sebagian lainnya merespons dengan kelakar; “Hewan malang! Triceratops sebentar lagi musnah! Mereka segera lenyap seperti burung Dodo dan ET.” Sebagian lainnya menanggapi serius: “OMG kalian orang bodoh! Hewan ini TIDAK nyata! Ini hewan yang hidup 66 juta tahun yang silam! Ini model untuk film!”

Dari ragam komentar itu terbukti banyak orang tidak tahu bahwa lelaki di foto itu adalah Steven Spielberg, sutradara film terkenal, dan hewan di belakangnya yang tampak tak bergerak itu adalah salah satu ‘pemain film’-nya. Tentu saja, Branscomb bercanda, tapi respons di laman Facebook-nya itu menunjukkan tidak semua orang tahu bahwa itu kelakar sebab tidak semua orang tahu bahwa itu Spielberg, bahwa Spielberg membikin film Jurassic Park, dan bahwa makhluk sejenis Dinosaurus itu sudah punah dari muka Bumi. Yang pasti, kegemparan sudah terjadi.

Jika kelakar saja bisa bikin gempar, apa lagi berita bohong, palsu, atau fitnah. Selama ini, media arus utama yang dikelola para jurnalis profesional bekerja dengan harus mengikuti kaidah-kaidah jurnalistik agar berita yang mereka terbitkan di surat kabar, radio, televisi, maupu media online dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan akurasinya.

Tapi, ketika siapapun dapat membuat ruang redaksi (newsroom) sendiri, media di internet sendiri, maupun media sosial, segalanya berubah. Melalui laman di internet maupun media sosial, banyak kabar disebarluaskan tanpa diuji lebih dulu kebenarannya, ditelusuri sumber-sumbernya, diperiksa silang dengan sumber-sumber lain, maupun mengikuti kaidah lain yang selama ini jadi pegangan para jurnalis profesional. Bahkan, kabar-kabar yang belum diverifikasi itu dibumbui agar lebih sensasional dan menarik pembaca. Maka, jagat media kita penuh dengan kabar yang tidak layak dikonsumsi sendiri apa lagi disebarluaskan kepada banyak orang. Bisa kabar bohong, kabar tidak akurat, kabar palsu, kabar menyesatkan, kabar fitnah, dan seterusnya.

Internet dan media sosial seperti yang ada sekarang memang fenomena baru, tapi berita bohong atau palsu bukan. Sebagian peneliti sejarah berpendapat bahwa berita bohong sudah ada sejak adanya konsep tentang ‘berita’, kira-kira 500 tahun yang silam, seiring dengan penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg. Namun, berita bohong dalam bentuk yang lebih tua sudah ada ratusan tahun sebelum Gutenberg.

Penemuan Gutenberg pada 1439 mendorong lahirnya perusahaan penerbitan. Beraneka berita mulai bersirkulasi,  dan repotnya sangat sukar untuk memverifikasi berita-berita itu. Terdapat banyak sumber berita, dari publikasi resmi oleh otoritas politik dan agama, hingga catatan saksi mata pelaut dan pedagang. Para penulis berita masa itu bekerja tanpa dibekali konsep etika jurnalistik atau obyektivitas dalam meliput dan memberitakan.

Pembaca, karena itu, harus waspada atau menjadi makanan empuk para pembuat berita palsu. Pembaca memang mudah menelan berita yang cenderung sensasional, heboh, seru, ekstrem, tapi mereka lupa bahwa berita-berita semacam itu mengandung racun, mampu menyesatkan pikiran dan mengobarkan prasangka serta sentimen apapun. Jamak sudah, orang terprovokasi oleh berita untuk melakukan kekerasan tanpa lebih dulu memeriksa kebenaran berita itu—ingat, emosi memang kerap bergerak lebih cepat ketimbang pikiran.

Di abad ke-16, misalnya, masyarakat memperoleh berita yang dibocorkan oleh relazioni—istilah bagi staf pemerintah Venesia yang menangani laporan-laporan rahasia. Namun, tidak lama kemudian dokumen orisinal yang bocor ini disusul oleh peredaran dokumen palsu. Di abad berikutnya, kabar yang sengaja dipalsukan makin gencar beredar seiring dengan pergolakan kekuasaan.

Di abad ke-18, menurut Jacob Soll, gempa bumi Lisbon, Portugal, pada 1755 menjadi berita yang lebih kompleks tatkala otoritas agama dan politik di Eropa menyalahkan kejadian alam itu sebagai pembalasan Tuhan kepada orang-orang yang berdosa. Pamflet-pamflet berisi berita bohong dan hasutan beredar tak terkendali, isinya serangan terhadap orang-orang yang disebut ‘kaum pendosa’. Mereka diburu dan dihakimi oleh warga lainnya.

Beberapa surat bakar Amerika, pada awal abad ke-19, mengangkat berita-berita sensasional untuk mendongkrak sirkulasi. Seperti ditulis David Uberti di Columbia Journalism Review, pada tahun 1835 surat kabar The New York Sun menerbitkan laporan enam edisi berjudul ‘Great Astronomical Discoveries Lately Made’, yang berisi tentang penemuan kehidupan di Bulan. Berita menggemparkan ini berhasil mendongkrak sirkulasi surat kabar ini.

Surat kabar lainnya, The New York Herald, memberitakan tentang hewan-hewan yang kabur dari Kebun Binatang Central Park dan mengamuk di Manhattan serta menewaskan puluhan orang. The Herald melaporkan, banyak hewan yang masih buron sementara Walikota menetapkan jam malam yang ketat hingga hewan-hewan itu berhasil dikandangkan. Benarkah berita ini? Tidak. Di akhir tulisannya, redaksi surat kabar ini memasang disclaimer: ‘Seluruh cerita yang disampaikan di atas murni fabrikasi. Tidak satu kata pun benar.”

Sensasionalitas memang kerap terjual laris-manis, tak peduli bagaimana berita itu didapat dan disebarkan. Terlebih ketika jurnalisme kuning merebak, banyak wawancara palsu, ahli palsu, dan berita palsu yang beredar. Kini, di era digital, beraneka jenis kabar dan berita beredar dengan jauh lebih cepat dan jangkauannya jauh lebih luas. Banyak orang menelan berita mentah-mentah dan menyebarkannya tanpa tahu pasti kebenarannya. Apa yang pernah terjadi dalam sejarah berulang kembali dengan kecepatan dan jangkauan penyebaran yang jauh lebih besar.

Saya ingin mengutip kata-kata Mark Thompson, CEO The New York Times, dalam pidatonya di Detroit Economic Club belum lama ini: “Apapun manfaat budaya dan sosial lainnya, ekosistem digital kita tampaknya telah berkembang menjadi lingkungan yang hampir sempurna bagi berita palsu untuk berkembang.” ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler