x

Iklan

Putu Suasta

Politisi Demokrat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Natal dan Sukacita Manusiawi

Feature

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya tidak tahu bagaimana persisnya makna Natal dalam ajaran iman dan teologi Kristen. Tapi saya tahu hari ini adalah hari suka cita bagi saudara, rekan dan teman-teman saya beragama Kristen. Sukacita itu tampak jelas saya tangkap dalam raut wajah, tutur kata dan pembawaan mereka; terpancar dari semarak perayaan, hiasan dan pernak-pernik Natal di berbagai tempat. Serta merta saya juga turut diliputi rasa bahagia dan suka cita.

Tentu, sukacita yang saya alami tidak berasal dari pengalaman iman atau perenungan teologis sebagaimana dialami saudara-saudara Kristiani yang merenungi makna Natal. Tapi bersumber dari ikatan emosional sesama manusia. Karena itu, saya menyebutnya sukacita manusiawi. Ketika kita menyaksikan teman atau saudara kita berbahagia, kita turut berbahagia. Demikian sebaliknya, ketika membaca berita duka cita, misalnya bencana alam terjadi di daerah lain, kita ikut bersedih. Ini pengalaman yang sangat human (manusiawi). Setiap orang yang membuka hati dan pikiran bagi sesamanya, akan mudah berbagi suka dan duka dengan orang lain tanpa peduli agama, ras, suku atau asalnya.

Ucapan-ucapan selamat Natal yang saya sampaikan kepada teman-teman beragama Kristen adalah pesan kemanusiaan bahwa saya turut bersukacita atas sukacita yang mereka alami. Hal yang sama juga mereka lakukan ketika saya mengalami sukacita iman pada hari raya Hindu (agama saya). Tak ada niat untuk menyelami ajaran agama lain. Tapi selalu ada dorongan dari dalam diri untuk berbagi sukacita kepada sebanyak mungkin orang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Natal kali ini berdekatan dengan perayaan Haul ke-7 Gus Dur, seorang guru dan teladan yang telah mengajarkan banyak hal kepada bangsa ini tentang toleransi dan pluralisme. Saya yakin Gus Dur adalah seorang muslim yang sangat bangga dan mencintai agamanya sepenuh hati. Tapi kebanggaan dan kecintaan itu tidak menutup pintu hatinya kepada sesama beragama lain. Semasa hidupnya, Gus Dur tak kenal lelah berjuang membangun dan merawat semangat pluralisme. Dia membela mereka yang megalami diskriminasi karena perbedaan agama dan berjuang menghapus perlakuan intoleran kepada minoritas. Bagi Gus Dur, solidaritas kemanusiaan melampaui sekat-sekat primordial.

Andai Gus Dur masih hidup hari ini, saya yakin dia juga akan bersukacita menyaksikan saudara-saudaranya Kristiani dapat merayakan Natal dengan aman dan damai. Dia akan bangga menyaksikan bangsanya berhasil melewati  ketegangan-ketegangan yang sempat meresahkan masyarakat, mulai dari pembubaran pelaksanaan kegiatan agama, penemuan bom yang siap meledak dan sweeping ormas tertentu.

Sukses perayaan Natal kali ini adalah bukti bahwa negara berhasil memberi rasa aman dan damai kepada warganya. Kita pantas bersukacita dan mesti bersama-sama merawatnya dengan mengikuti teladan Gus Dur untuk terus belajar saling mencintai di tengah perbedaan. Karena sebagaimana diyakini oleh Nelson Mandela, manusia tidak dilahirkan untuk membeci. Sikap membenci itu pasti diperoleh dari belajar. Maka jika manusia bisa belajar membenci, pasti juga dia bisa belajar untuk mencintai.

Selamat hari Natal bagi saudara-saudaraku Kristiani.

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler