x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Melambung, Lalu Terhempas

Kebangkrutan perusahaan besar secara tiba-tiba menyisakan pembelajaran penting bagi praktik bisnis di manapun. Puluhan ribu orang menganggur mendadak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sejarah perusahaan selalu menawarkan pembelajaran yang penting bagi praktik bisnis di manapun. Sebagai contoh, meskipun basisnya di Amerika Serikat, pengalaman Enron yang melambung sebagai perusahaan yang memukau pelaku Wall Street dan kemudian jatuh tiba-tiba menyisakan pengalaman berharga bahkan untuk di Indonesia.

Banyak orang berdecak kagum melihat harga saham Enron melambung dari sekitar $7 pada awal 1990an, kira-kira lima tahun setelah Enron Corp. didirikan, menjadi $90,56 per saham pada 23 Agustus 2000. Banyak kalangan, termasuk analis Wall Street, memuji Enron sebagai salah satu perusahaan paling inovatif, tumbuh paling cepat, dan dikelola dengan sangat baik.

Sebuah majalah terkemuka menempatkan Enron sebagai salah satu most admired companies selama enam tahun berturut-turut. Dengan 21 ribu karyawan, Enron merupakan salah satu perusahaan terkemuka di dunia dalam bidang listrik, gas alam, kertas dan bubur kertas, serta telekomunikasi. Para eksekutifnya mencari peluang terbesar untuk mencetak sebanyak-banyaknya uang meski untuk itu mereka harus memasuki wilayah abu-abu, seperti future energy yang tergolong future trading.

Manajemen Enron melaporkan pendapatan tahunan perusahaan mencapai $ 101 miliar pada 2000, sepuluh kali lipat dibandingkan awal 1990an. Didirikan pada 1985 sebagai hasil merger  dua  perusahaan,  Enron  memulai bisnisnya dengan  menyalurkan gas  melalui jaringan pipa berskala nasional. Kinerja yang membaik membuat para eksekutifnya begitu agresif merambah bidang-bidang lain. Laporan keuangan tahun 2000 itu tentu saja menyenangkan para investor, termasuk karyawan Enron yang merelakan uang pensiun mereka untuk ditukar dengan saham. Betapa tidak menggembirakan mendengar kabar Enron menempati peringkat ketujuh dalam Fortune 500.

Namun kecemasan tiba-tiba mulai tersebar ketika pada Agustus 2001 Jeffrey Skilling, Chief Executive Officer (CEO) Enron ketika itu, mengundurkan diri tanpa penjelasan apa alasannya. Situasinya terlihat memburuk begitu cepat dengan beredarnya kabar buruk yang bertubi-tubi. Sinar terang Enron mendadak redup ketika pada 16 Oktober 2001 manajemen melaporkan kerugian perusahaan untuk kuartal ketiga sebesar $ 1 miliar. Pemegang saham, investor, pialang, karyawan, dan analis dibuat bingung bagaimana mungkin perusahaan yang baru saja menyatakan diri telah meraup untung sangat besar mendadak mengalami kerugian. Ada apa dengan Enron?

Kebingungan belum terjawab, Enron sudah menyusulkan kabar buruk selanjutnya. Manajemen Enron, pada 8 November 2001, mengumumkan restatement atas laporan keuangannya, bukan hanya laporan tahun sebelumnya, melainkan sejak 1997. Keuntungannya ternyata fiktif. Dalam restatement yang disampaikan kepada Securities and Exchange Commission (SEC), badan pengawas pasar modal Amerika Serikat, pendapatan bersih Enron ternyata dipangkas. Untuk laporan keuangan 1997, pengurangannya mencapai $28 juta atau 27 persen dari yang dilaporkan sebelumnya, yakni $105 juta. Tahun berikutnya, pengurangannya sebesar $133 juta atau 19 persen dari yang dilaporkan sebelumnya, $ 703 juta. Untuk tahun 1999, pengurangannya $248 juta atau 28 persen dari yang dilaporkan sebelumnya, yaitu $703 juta. Sedangkan pada 2000, besar pengurangan mencapai $99 juta atau 10 persen dari yang dilaporkan sebelumnya, $979 juta.

Situasi krisis bergerak sangat cepat. Awal Desember 2001, Enron mengajukan perlindungan kepailitan menurut Chapter 11 ke pengadilan. Kenneth Lay mundur dari manajemen Enron dan harga saham perusahaan ini meluncur deras dari posisi $90,56 pada Agustus 2000 hingga hanya $ 0,26 per saham, dan terus merosot sampai ke angka $ 0,05 per saham. Surat utang Enron terjun bebas menuju status junk bond. Pasar saham kelabakan. Para pemegang saham kelimpungan, termasuk para pekerja Enron yang memegang saham melalui akun pensiun 401 (k). Puluhan miliar dolar AS lenyap dalam sekejap.

Sebagai sebuah perusahaan, riwayat raksasa Enron memang sudah tamat. Namun namanya akan selalu disebut setiap kali orang membicarakan contoh pelaporan keuangan yang demikian kreatif sehingga tidak ada orang yang menyadari bahwa di dalamnya terkandung kecurangan (fraud), hingga akhirnya raksasa perusahaan AS itu terbukti keropos.

Kebangkrutan Enron bagaikan bencana bagi orang-orang yang bekerja di perusahaan ini. Ironisnya, orang-orang yang duduk di puncak organisasi perusahaan, yang semestinya bertanggungjawab atas ambruknya Enron, justru secara diam-diam telah menjual sahamnya lebih dulu. Kenneth Lay, Presiden Komisaris Enron, menangguk untuk US$ 250 juta dari penjualan sahamnya. Rupanya, sebagai nakoda, para eksekutif Enron bertindak menyelamatkan diri lebih dulu dari kapal Enron yang hampir tenggelam.

Di saat yang sama, karyawan Enron membeli saham perusahaan mengikuti anjuran petinggi Enron. Mereka rela melepas dana pensiun untuk membeli saham lantaran tergiur oleh laporan keuangan yang sangat bagus. Sayangnya, mereka tidak mempunyai informasi perihal keadaan yang sebenarnya. Kondisi perusahaan yang keropos karena membengkaknya utang disimpan rapat-rapat oleh segelintir pimpinan perusahaan. Dan ketika Enron ambruk, orang-orang yang bekerja di bawah mereka bukan saja kehilangan pekerjaan, tapi juga kehilangan tabungan dan dana pensiun yang telah diinvestasikan di saham Enron.

Banyak pihak bertanya-tanya bagaimana mungkin Enron yang baru saja mengumumkan keuntungan besar tiba-tiba mengajukan perlindungan kepailitan. Apa yang sebenarnya terjadi pada raksasa energi ini? Sembilan komite di DPR dan Senat AS menyelenggarakan berkali-kali dengar-pendapat terkait kejatuhan Enron. Departemen Kehakiman melakukan investigasi kejahatan yang memakan waktu bertahun-tahun.

Menjadi bertambah jelas bahwa Enron melakukan rekayasa keuangan, di antaranya dengan memanfaatkan “special purpose entities” (SPE) untuk menampung aset-aset busuk yang dijual oleh manajemen Enron setiap menjelang penyusunan laporan keuangan. Kiat ini membuat kerugian yang signifikan tidak muncul pada pernyataan keuangan. Trik-trik akuntansi ini dilakukan karena eksekutif Enron telah mengeluarkan banyak modal untuk mengembangkan bisnis-bisnis baru, namun bisnis ini umumnya tidak sanggup menghasilkan pendapatan yang memadai.

Enron juga bermain di area derivatif untuk bidang energi, dengan apa yang disebut sebagai future energy. Mula-mula, Enron menjual future energy kepada bank. Bersamaan dengan itu, Enron melakukan buy back terhadap future energy yang sama. Dalam pelaporan keuangan, Enron menempatkan buy back tersebut dalam pos derivatif khusus, bukan utang. Di sisi lain, penjualan future energy tersebut ditempatkan sebagai pendapatan. Ketika ‘taktik akuntansi’ ini terendus, hampir seluruh keuntungan yang dilaporkan sejak tahun 1997 seketika lenyap. Enron pun runtuh.

Enron adalah simbol besar persoalan yang menggerogoti banyak perusahaan Amerika. Setelah Enron, menyusul Global Crossing (terkuak ke hadapan publik pada Februari 2001), WorldCom (Maret 2002), Adelphia Communications (April 2002), Peregrine Systems dan Tyco International (Mei 2002), serta Merck dan AOL Time Warner (Juli 2002). Kejatuhan perusahaan-perusahaan ini sama spektakulernya dengan pertumbuhan sebagian dari mereka. Ambruknya perusahaan-perusahaan ini bukan saja merugikan para investor, membuat ribuan karyawan kehilangan pekerjaan, ribuan keluarga kehilangan sumber penghidupan, tapi juga merugikan masyarakat luas, sebab telah merusak salah satu sendi yang sangat penting bagi aktivitas ekonomi, yakni kepercayaan (trust).

Manajemen perusahaan telah menyimpan rapat-rapat informasi penting mengenai kondisi perusahaan dan tidak menyampaikannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Bahkan, eksekutif perusahaan bertindak menyesatkan. Apa yang seharusnya diketahui oleh pemegang saham, investor, pialang, dan pengawas pasar modal tidak mereka sampaikan.

Tanpa penguasaan informasi yang simetri, bukan hanya harga yang terdistorsi, melainkan juga terciptanya malapetaka. Itulah yang terjadi pada Enron. Dan Enron bukan jatuh sendirian, melainkan menyeret pula Arthur Andersen, sebuah firma akuntansi mashur di dunia yang menjadi auditor laporan keuangan Enron. Pada 2002, firma yang berdiri pada 1913 dan termasuk dalam The Big Five ini menyerahkan kembali izin praktiknya sebagai kantor akuntan publik dan menyebabkan 85 ribu orang kehilangan pekerjaan. (Sumber foto: time/reuters) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler