x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Adakah Sains Tanpa Imajinasi?

Bukan hanya penyair yang bermain imajinasi, tapi juga mereka yang menekuni sains dan matematika.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Orang gila, pecinta, dan penyair, kata William Shakespeare, bersatu dalam imajinasi. Di mata matematikawan Robert Kaplan, pujangga itu telah melupakan para matematikawan yang sehari-hari menekuni bentuk-bentuk dalam 27 dimensi, angka-angka yang lebih besar ketimbang tak berhingga, dan bilangan-bilangan sangat kecil serta surealias dan hiperealias lagi imajiner.

Ya, bayangkanlah bilangan imajiner, yang secara simbolis ditulis sebagai: i (pangkat dua) = -1. Bilangan imajiner diperoleh dari penyelesaian persamaan matematis: i kuadrat + 1 = 0. Bagaimana mungkin ada bilangan imajiner yang sama dengan akar pangkat dua dari minus satu? Bila ruang berpikir kita dibatasi oleh tembok kaku, sulit untuk membayangkan bilangan imajiner. Hanya imajinasi yang dibiarkan berjalan bebas yang mampu membayangkannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah bilagan imajiner hanya kekenesan para matematikawan? Tidak, bilangan ini benar-benar bermanfaat sebagai alat konseptual untuk memecahkan soal tertentu, seperti dalam arus listrik dan fisika kuantum. Astrofisikawan Stephen Hawking memakai bilangan imajiner untuk memahami asal-usul alam semesta, bahkan ia memakai ‘waktu imajiner’ untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan tentang sejarah alam semesta.

Bilangan negatif pada mulanya juga mengundang kontroversi. Bagaimana mungkin seseorang punya ‘dua apel negatif’ atau kuantitas negatif? Konsep ini malah berguna ketika kita berbicara bahwa saya punya apel sebanyak nol dan meminjam dua apel dari tetangga. Menurut buku akuntansi (fiktif) saya, saya punya ‘dua apel negatif’ sebab saya berutang dua apel kepada tetangga. Lihatlah, bukankah bilangan negatif itu berguna meskipun fiktif? Bilangan negatif ditemukan di China dan India kuno, tapi ditolak oleh Barat dan baru diterima luas pada abad 18. Mengapa Barat terlambat? Sebab, mereka mengurung kemampuan imajinasi manusia sehingga sukar menerima gagasan bilangan negatif.

Sebagian orang barangkali memang beranggapan seperti Shakespeare bahwa imajinasi hanya diperlukan di ranah-ranah yang disebut (so called) ‘kreatif’ saja, seperti lukis, tari, sastra, musik, dan tidak di ranah sains dan matematika—yang secara keliru dipandang kaku, kering, bertumpu pada logika semata, dan tidak sekreatif ranah-ranah ‘kreatif’ tadi. Karena itu, kurang imajinatif. Benarkah begitu?

Bila anggapan itu dianggap benar, bagaimana dengan gagasan relativitas umum dan khusus yang melompat jauh dari gagasan mekanika sebelumnya? Apakah ini sekedar pergerakan logika dari A ke B? Jelas tidak. Ini perubahan radikal yang hanya dimungkinkan untuk terjadi karena keliaran imajinasi seorang Albert Einstein. Ia benar ketika mengatakan bahwa “logika hanya membawamu dari A ke B, sedangkan imajinasi akan membawamu kemana saja.” Nyaris tanpa batas.

Imajinasi Einstein membawa pikirannya melampaui sekat-sekat yang telah membuat banyak fisikawan terkungkung dalam ide Newtonian. Einstein menerabas rintangan itu dan berusaha melihat kemungkinan-kemungkinan lain, terlebih setelah muncul gagasan James Clark Maxwell tentang listrik dan magnet. Einstein pula yang mengusung gagasan gelombang gravitasi. Tentu saja, ia bukan satu-satunya ilmuwan yang imajinatif di era modern.

Untuk mengajukan pertanyaan baru, yang menantang asumsi-asumsi lama, mebuka kemungkinan baru, atau memandang persoalan yang sama dari sudut pandang baru, diperlukan imajinasi kreatif. Bahkan, pertanyaan kreatiflah yang membuka wilayah-wilayah baru dalam sains dan matematika. “Dan inilah yang menandai kemajuan nyata dalam sains,” kata Einstein seakan menggarisbawahi capaiannya. Ilmuwan yang tidak imajinatif tidak akan mampu menghasilkan gagasan baru yang radikal.

Banyak konsep-konsep dalam sains dan matematika yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh manusia, hingga ketika orang mampu menciptakan pesawat terbang, menerbangkan satelit pada orbit tertentu, maupun berkomunikasi jarak jauh melalui telepon. Semua pencapaian ini kembali kepada kekuatan imajinasi manusia, dan jika kita mengikuti pandangan Robert Pirsig, itu kembali kepada kekuatan pikiran.

Dalam bukunya yang menawan, Zen and the Art of Motorcycle Maintenance, Robert Pirsig mengajukan argumennya bahwa alat konseptual dasar sains, seperti sistem bilangan, hukum fisika, dan aturan logika, tidak memiliki eksistensi objektif, melainkan ada dalam pikiran manusia. Alat-alat konseptual ini bukan ‘ditemukan’ tapi diciptakan oleh imajinasi manusia. Meskipun begitu, kita memakai konsep-konsep ini dan menemukan konsep baru karena konsep itu bagus—konsep-konsep itu membantu kita memahami dan berurusan dengan lingkungan kita.

Sebagai contoh, Pirsig menunjuk pada ketidakpastian status bilangan ‘nol’ dalam sejarah kebudayaan Barat. Yunani kuno terpecah dalam menghadpi pertanyaan apakah nol merupakan bilangan aktual—bagaimana mungkin ‘tidak ada’ direpresentasikan oleh ‘sesuatu’?. Sistem numerik Romawi juga tidak memasukkan nol. Pada Abad Pertengahan, Barat akhirnya mengadopsi bilangan nol dengan menerima sistem numerik Hindu-Muslim. Bila generasi mendatang mengadopsi pemakaian nol, ini bukan karena mereka tiba-tiba menemukan bahwa nol itu ada, tapi karena mereka menemukan bahwa nol itu memiliki kegunaan. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB