x

Ki-Ka: Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie, Hakim konstitusi Anwar Usman berbincang sebelum mengikuti pelantikan di Istana Negara, Jakarta, 16 Maret 2016. Tempo/ Aditia Noviansyah

Iklan

Sulardi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Masa Jabatan Hakim Konstitusi~Sulardi

Titik inilah yang membedakan proses menjadi hakim agung dan hakim konstitusi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sulardi

Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Penegakan hukum di negara ini dalam kondisi buram dan acap kali dirasakan tidak adil. Dalam buku Peradilan Sesat yang ditulis E.A. Pamungkas (2010), tercatat 19 proses penegakan hukum dianggap sesat. Mulai dari kasus Sum Kuning si penjual telur di Yogyakarta (1970) hingga kasus Parto, pencuri lima buah jagung di Situbondo. Beberapa tahun lalu, kita juga menyaksikan pedang keadilan yang "tajam ke bawah" menimpa seorang nenek bernama Asyani, yang didakwa mencuri kayu milik Perhutani Bondowoso. Perempuan renta itu terancam hukuman 5 tahun penjara, yang menimbulkan keprihatinan masyarakat.

Saat penegakan hukum masih menjadi problem tersendiri, kini mencuat persoalan masa jabatan hakim. Saat ini, terjadi argumentasi soal masa jabatan hakim agung dan hakim konstitusi. DPR sedang mempersiapkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim bersama pemerintah. Poin yang cukup menarik adalah usul tentang masa jabatan hakim agung. Dalam Pasal 31, hakim agung memegang jabatan selama lima tahun dan selanjutnya dapat dipilih kembali. RUU itu juga mengatur soal usia pensiun hakim agung, seperti diatur dalam pasal 51 ayat 2. Dalam pasal itu, hakim agung akan diberhentikan dengan hormat atau pensiun ketika memasuki usia 65 tahun.

Kita perlu juga melihat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pada pasal 22, disebutkan masa jabatan hakim konstitusi adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Pasal ini tengah diajukan dalam permohonan uji materi oleh peneliti dari Center for Strategic Studies University Of Indonesia (CSS-UI)/Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia, Tjiep Ismail. Tjip melihat pasal 22 UU ini bersifat diskriminatif dan berpotensi membatasi MK dalam menyelenggarakan peradilan demi penegakan hukum dan keadilan. Argumentasi lainnya yang diajukan oleh pemohon, di berbagai negara hakim sebagai penyelengara kekuasaan yudisial memiliki masa jabatan sampai usia pensiun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seharusnya dipahami bahwa masa jabatan hakim konstitusi di berbagai negara ternyata tidak sama. Council of Grand Justice atau hakim konstitusi di Taiwan, misalnya, terdiri atas 15 orang dengan masa jabatan 8 tahun dan tidak dapat dipilih kembali. Di Prancis, Dewan Konstitusi Hakim mencakup sembilan orang plus mantan presiden. Jabatan mantan Presiden berlaku seumur hidup, sedangkan hakim lainnya bermasa jabatan tidak lebih dari 9 tahun dan hanya memiliki satu kali masa jabatan. Adapun hakim konstitusi di Korea Selatan memiliki masa jabatan 6 tahun dan dapat dipilih kembali.

Tiga negara dengan berbagai perbedaan masa jabatan hakim di atas cukup untuk menunjukkan bahwa masa jabatan hakim konstitusi tidak harus sampai pensiun ataupun seumur hidup. Sebab, menempatkan hakim konstitusi dengan masa jabatan seumur hidup atau memasuki usia pensiun berujung konsekuensi serius atas penegakan keadilan.

Dengan demikian, jika ada gagasan untuk menjadikan masa jabatan hakim konstitusi seumur hidup atau hingga usia pensiun, hal-hal yang harus diperhatikan adalah apakah ada jaminan bahwa mereka benar-benar memiliki integritas sebagai negarawan, seperti yang disyaratkan oleh Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Jika hakim konstitusi tidak memiliki kadar negarawan yang kuat atau integritas dan moralitas yang baik, hal itu tentu saja berpengaruh terhadap kualitas putusan Mahkamah Konstitusi. Harus diingat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan akhir. Artinya, tidak ada upaya hukum untuk mengoreksi atau memperbaiki putusan MK yang sudah diputuskan. Masalah ini sangat riskan mendera penegakan keadilan di kemudian hari.

Lagi pula, mesti diingat bahwa proses untuk menjadi hakim agung dan hakim konstitusi tidaklah sama. Sebelum reformasi 1998, hakim agung adalah hakim karier. Untuk menjadi hakim agung, disyaratkan seseorang telah berpengalaman pada berbagai jenjang pengadilan, baik secara struktural, fungsional, maupun eselonisasi.

Lain halnya dengan hakim konstitusi, yang disyaratkan berpengalaman di bidang hukum minimal 15 tahun. Ia juga harus berpendidikan Doktor Ilmu Hukum dengan gelar sarjana di bidang yang sama, berintegritas, dan yang paling penting merupakan negarawan. Titik inilah yang membedakan proses menjadi hakim agung dengan hakim konstitusi.

Oleh sebab itu, masa jabatan hakim konstitusi sudah dianggap layak di angka 5 tahun dan dapat dipilih kembali paling lama dua kali masa jabatan, seperti halnya masa jabatan pejabat publik dan lembaga negara lainnya. ***

Ikuti tulisan menarik Sulardi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler