x

Iklan

Muhammad Husein Heikal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menuju Keseimbangan Baru Ekonomi Global (?)

Betapa dinamisnya ekonomi, mampu berfluktuasi sesuai kondisi. Dan kondisi saat ini: ketidakpastian apakah ekonomi global memasuki suatu keseimbangan baru?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

God sees the truth, but waits.” begitu tulis pengarang legendaris Rusia, Leo Tolstoy. Frase ini ditulis tentu bukan untuk menggambarkan kondisi ekonomi global saat ini. Namun, frase ini berkata benar, bahwa Tuhan, yang telah tahu pasti, tetap menunggu. Sedang manusia begitu lihainya membuat prediksi yang belum pasti. Dan saat ini, ketika ekonomi global mengalami ketidakpastian, manusia kembali menetaskan prediksi.

Ketidakpastian ekonomi global mulai mencuat sejak dari pelemahan ekonomi Tiongkok, berlanjut kemandekan ekonomi (secular stagnation) di negara maju, Brexit dari Uni Eropa, dan efek kemenangan Donald Trump sebagai Presiden AS. Menilik dari situasi inilah kita, manusia kembali berprediksi dengan bijaknya: apakah tepat bila dikatakan ekonomi dunia akan memasuki suatu keseimbangan baru (new equilibrium)? Prediksi ini menimbulkan tanda tanya besar. Sudah pasti implikasi dari keseimbangan baru ini akan membawa manfaat sekaligus risiko. Bagaimanakah dunia yang tengah bergejolak dalam “terka-terkaan” menyambut keseimbangan baru ini?

Jalan panjang ekonomi global, pasca krisis keuangan global ditahun 2009 belum menunjukkan arah yang cerah. Pada masa krisis itu, AS mengalami kontraksi, mengakibatkan total perdagangan dunia mengalami pukulan dahsyat. Saat ini AS tidak mengalami krisis, tapi kebijakan proteksionis Trump akan membawa dampak yang sangat signifikan bagi pertumbuhan perdagangan global. Ditahun ini, pertumbuhan perdagangan dunia diperkirakan hanya 1,7 persen. Lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan 3,1 persen tahun ini. Betapa memprihatinkan. Ini menunjukkan lemahnya perdagangan dunia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keprihatinan ini, ditambah rencana Trump akan menampar tarif impor Tingkok menjadi 45 persen. Ini bisa mengakibatkan Tiongkok depresi, dan tentu dunia akan terpukul atas efek riak ini. Sebab, data menunjukkan, AS adalah negara pengimpor terbesar di dunia, diikuti Uni Eropa dan Tiongkok. Jika AS mengurangi permintaannya terhadap produk impor dunia, sementara Uni Eropa dan Tiongkok mengalami perlambatan ekonomi, permintaan terhadap ekspor dari negara emerging markets akan menurun drastis. Maka, Indonesia sebagai negara emerging markets tidak bisa mengharapkan sumber pertumbuhan ekonomi dari ekspor.

Kemenangan Trump adalah kejutan yang mengguncang. It’s Trumpquake! tulis situs Daily Mail. Sungguh tak terduga. Bahkan The Economist sudah terlanjur memasang gambar Hillary Clinton sebagai cover dengan judul sangat menyakinkan, America’s Best Hope. Akan tetapi, kenyataan berbicara lain. Trump menang telak, tak tergugat. Kemenangan ini menuai tanggapan ekstrim dari ekonom peraih Nobel, Paul Krugman disitus The New York Times yang merespon sengit Trump dengan menuliskan, “Suatu hal yang buruk baru saja terjadi. Perekonomian akan rontok (fall-out). Trump bakal membawa resesi dunia”.

Namun, coba kita membaca apa yang ditulis Dani Rodrik dalam kolomnya di The New York Times, menyebutkan kekhawatiran yang utama mengenai Trump bukanlah soal ekonomi, melainkan sisi politik. Karena tema kampanyenya cenderung menimbulkan ketegangan etnik. Disini, bukannya saya hendak melangkahi pendapat Guru Besar Ekonomi dari Harvard Kennedy School ini. Namun, kaitan politik dan ekonomi betapa eratnya, ialah analogi tak terpisah. Aspek politik memberi masukan yang sangat besar terhadap ekonomi. Maka, kebijakan politik secara implisit berpangkal pada persoalan ekonomi. Terlebih, sebagai lokomotif dunia, AS “berwenang” menentukan dua aspek secara politis: pola perdagangan internasional dan sistem moneter global.

Sejak masa kampanye didengungkan, dan kini telah jelas Trump akan memperketat perdagangan AS, dengan melakukan kebijakan proteksionis terhadap perekonomian domestik AS. Kebijakan proteksionis tentu bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas (laissez faire-laissez passer), dan berhubungan erat dengan istilah anti-globalisasi dan anti-imigrasi. Ia akan mengembangkan ekonomi AS berdasarkan pandangan nasionalis-sentris. Alhasil, ia memberangus Trans Pacific Partenership (TPP), merobek North American Free Trade Agreement (NAFTA), sikap proaktif yang sangat mempengaruhi kinerja ekonomi global.

Dari sisi moneter, dunia telah tercekam dua tahun belakangan ini. Rencana kenaikan suku bunga The Fed dibawah tangan Janet Yellen selalu tertahan. Kepala Bank Sentral AS ini meski sudah berkali-kali menjanjikan ekpektasi suku bunga naik, tapi selalu batal. Pertimbangan Yellen ingin memastikan lebih dulu bahwa perekonomian AS akan aman dari dampak negatif atas kenaikan suku bunga. Karena, kenaikan ini berpotensi untuk menaikkan kurs dollar AS (yang mengurangi daya saing produk AS), serta beakibat melemahnya indeks harga saham. Santer terdengar, Trump tidak mencalonkan lagi Janet Yellen sebagai Kepala The Fed pada 2018. Nama Paul Volcker (mantan Kepala The Fed di era Presiden Jimmy Carter dan Ronald Reagan) muncul sebagai orang yang disenangi Trump.

Masalah ini sangat penting bagi perekonomian global karena fakta bahwa The Fed adalah satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab untuk penyediaan dollar AS dalam ekonomi global. Serta fakta pula, dollar AS masih menjadi mata uang cadangan utama di dunia. Secara harfiah berarti bahwa The Fed adalah lembaga di dunia dengan kemampuan untuk menentukan likuiditas global. Dengan demikian, kebijakan apa pun tindakan The Fed mengambil, itu dapat mempengaruhi stabilitas keuangan global.

Maka, mau atau tidak mengakui, masa depan ekonomi global sangat bergantung pada AS. Ketika perekonomian dunia “sakit”, maka harapan pemulihannya tergantung pada AS. Ekstrimnya, bila perekonomian AS “sakit”, AS harus menciptakan obatnya sendiri.

Pada akhirnya, dunia kian bergejolak, berlarut-larut dalam kecemasan. Meski sebenarnya, kekhawatiran kita terkadang berlebihan. Kita terlalu cepat menyimpulkan sesuatu yang belum terjadi secara negatif. Memprediksi memang tak sepenuhnya salah. Sebab, kita tidak tahu persis apa yang akan terjadi.

Betapa dinamisnya ekonomi, mampu berfluktuasi sesuai kondisi. Dan kondisi saat ini ialah ketidakpastian: apakah ekonomi global memasuki suatu keseimbangan baru? Sebaiknya, lihat dan tunggu saja. Jangan kita terlalu cepat memprediksi. Mengamini frase Tolstoy diatas: God sees the truth, but waits.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Husein Heikal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB