x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Manusia Membunuh Sesamanya?

Mengapa manusia sanggup melakukan tindakan yang menyebabkan kematian manusia lainnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam banyak film digambarkan orang baik sedang memegang pistol yang diarahkan kepada orang jahat yang tersudut. Orang baik ini mengacungkan pistol yang sudah dikokang, tapi ia tidak kunjung menarik picunya. Setelah beberapa saat, orang baik ini mulai berkeringat dingin. Si penjahat tahu dan melancarkan tekanan psikologis:  “Kamu kira mudah membunuh orang?” Orang baik itupun semakin ciut nyalinya, lututnya bergetar, ia pun terjatuh. Pistol terlepas dari tangannya dan dengan mudah diambil kembali oleh orang jahat.

Pertanyaan orang jahat itu sama seperti pertanyaan kebanyakan kita: apakah membunuh orang lain itu mudah? Bagi kebanyakan orang tidak mudah, sebab ada rintangan yang menghalangi: perasaan bahwa membunuh orang lain seolah membunuh dirinya sendiri, membunuh kemanusiaan. Namun, bila tidak mudah, mengapa ada yang sanggup melakukannya? Bahkan, sebagian orang begitu ringan menarik pelatuk pistol maupun senapan atau bahkan menghunjamkan pisau ke tubuh orang lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak lama, orang berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan itu, sebab tidak ada serangan terhadap manusia lain yang memakan biaya sangat besar melebihi pembunuhan. Sejak manusia ada di muka bumi, ratusan ribu orang terbuhuh setiap tahun, puluhan juta orang terbunuh setiap abad, mungkin lebih—tak terhitung. Statistik hanya menyingkirkan makna terdalam dari pembunuhan. Mengapa kita melakukannya? Sebagian teori menyebut tekanan hidup, kesulitan ekonomi, pengaruh media, perebutan sumber daya, atau perselisihan kekuasaan, sebagai pemicu tindakan membunuh.

Ketika peperangan berlangsung, manusia seolah memperoleh pembenaran moral untuk membunuh manusia lainnya—hingga sekarang di Suriah. Di era modern, sejak Perang Dunia II tentara AS yang hendak diterjukan ke medan pertempuran dilatih agar respon mereka dalam mematikan lawan meningkat pesat—bahkan responnya nyaris otomatis. Seperti dikutip Dan Jones dalam Human Behaviour: Killer Instincts, dari serangkaian wawancara dengan veteran prajurit AS dalam Perang Vietenam terungkap bahwa antara 80 hingga 100 persen prajurut AS menembak musuh dalam baku tembak dengan begitu seketika.

Sebagian orang memerlukan stimulan untuk membunuh. Mereka berpaling kepada alkohol dan narkoba dan menewaskan orang lain dalam pengaruh buruk yang menguasai otak mereka. Apakah ini manifestasi ketakutan untuk membunuh dan apakah ini cara yang dilakukan si pembunuh untuk ‘mematikan’ rasa kemanusiannya sendiri serta mengatasi rasa takutnya sendiri? Sebab, dalam keadaan normal ia mungkin tidak mampu mencapai tataran kondisi kejiwaan yang sanggup untuk mencabut nyawa orang lain. Maknanya, ada rasa enggan yang terpateri dalam otak manusia untuk membunuh sesamanya. Para neuroscientist berusaha menemukan jawaban tentang hal ini.

Sebagian ahli berpendapat, keengganan untuk membunuh tampaknya berakar dalam pikiran manusia. Namun dari mana asalnya? Apakah karakter ini berevolusi dan diwarisi dari nenek moyang kita? Ataukah hal itu diperoleh dari proses belajar dan menyerap dari lingkungan sosial kita—sejenis kekerasan yang menular atau viral? Ataukah semua ini merupakan hasil perpaduan yang tidak terpisahkan antara evolusi biologis dan budaya?

Banyak ilmuwan menampik pendapat bahwa agresi dan naluri membunuh manusia merupakan warisan genetis yang berevolusi sejak dulu kala. Pada tahun 1986, sebanyak 20 ilmuwan alam dan sosial mengeluarkan Pernyataan Seville tentang Kekerasan, sebagai bagian dari Tahun Perdamaian Internasional PBB, untuk menentang pandangan pesimistis bahwa kekerasan dan perang adalah gambaran tak terelakkan dari kehidupan manusia. Mereka berseru: “Secara ilmiah tidaklah benar mengatakan bahwa kita telah mewarisi kecondongan untuk berperang dari nenek moyang hewan kita... bahwa perang atau perilaku kekerasan lainnya diprogram secara genetik ke dalam sifat manusia ... dan bahwa manusia memiliki ‘otak kekerasan’ (violent brain).”

Para ilmuwan ingin memperoleh jawaban yang lebih meyakinkan. Semakin banyak psikolog, ahli saraf, maupun antropolog yang mengumpulkan bukti bahwa untuk memahami aspek perilaku antisosial, termasuk kekerasan dan pembunuhan, diperlukan studi mendalam mengenai otak, gen, dan evolusi, serta faktor-faktor sosial tempat manusia bermasyarakat.

Hanya dua tahun setelah Pernyataan Serville dikeluarkan, Martin Daly dan Margo Wilson dari McMaster University, Ontario, Kanada, menerbitkan Homicide. Buku ini merupakan salah satu teks dasar bagi disiplin baru—ketika itu—yang disebut psikologi evolusioner. Becermin pada perilaku hewan, studi antropologi dan pola-pola kekerasan dan pembunuhan dalam masyarakat modern, Daly dan Wilson menyediakan catatan tentang berbagai bentuk pembunuhan, dari satu orang membunuh orang lain hingga pembunuh-berpasangan. Meskipun Daly dan Wilson berpendapat bahwa manusia memiliki otak dan pikiran dengan kecenderungan pada kekerasan (pandangan yang berbeda dengan Pernyataan Serville), namun mereka berpendapat bahwa membunuh bukanlah sesuatu yang berevolusi.

Dari sisi neurologi, Adrian Raine dan Lori LaCasse pada 1997 menerbitkan salah satu penjelasan pertama mengenai pembunuhan. Di antara otak 41 pembunuh yang mengaku tidak bersalah dengan alasan kegilaan ditemukan aktivitas yang lebih rendah pada prefrontal cortex dan aktivitas yang lebih tinggi di struktur pada limbic system, yang diduga mendorong agresi, dibanding yang mereka temukan pada otak bukan pembunuh. “Secara kasar,  para pembunuh tidak memiliki sumber daya prefrontal untuk mengatur keluaran emosional yang tidak terkendali,” kata Raine.

Beberapa tahun kemudian, Raine menawarkan penjelasan dari sudut pandang lain yang menunjukkan hubungan antara perilaku membunuh dan kapasitas untuk mengikuti pedoman moral. Studi pencitraan otak (brain imaging) yang bertujuan untuk memahami penilaian moral telah menggambarkan peran penting dari perasaan emosional yang muncul ketika melanggar moral, dalam konteks ini membunuh. Bagian otak inilah yang dapat berfungsi untuk menghambat seseorang melakukan pembunuhan—yang tadi disebut sebagai ‘sejenis keengganan’ untuk membunuh. Masalahnya ialah apakah saringan moral ini selalu mampu berfungsi dengan semestinya ataukah suatu ketika dapat tidak berfungsi sama sekali?

Begitulah, terdapat kompleksitas relasi antara gen, sejarah, maupun lingkungan yang melampaui penjelasan-penjelasan motif ekonomi maupun luapan emosional yang membutakan, seperti kebencian dan kemarahan. Di masa depan, kompleksitas relasi itu mungkin dapat diurai lebih mudah sehingga diperoleh penjelasan yang lebih terang mengapa manusia sanggup membunuh sesamanya. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB