x

Prajurit Marinir TNI AL Jakarta membersihkan puing gedung saat pembersihan sekolah SMK Negeri 1 Desa Paru Keude, Bandar baru, Pidie Jaya, Aceh, 17 Desember 2016. ANTARA FOTO

Iklan

Mustamar Iqbal Siregar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memutar 'Kiblat' Monas Menuju Aceh

Kini Aceh membutuhkan kepedulian kita semua: miskin-kaya, pejabat-rakyat biasa, Aceh-Non Aceh, Muslim-Non Muslim, dan Indonesia-Non Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mustamar Iqbal Siregar

Pengajar di Prodi PAI FTIK IAIN Langsa-Aceh

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meski aksi super damai 212 telah berlalu, namun pesona luapan massa yang "menyemuti" Monas hingga kini belum terhapus dari ingatan. Seolah menyiarkan satu ungkapan euphoria kebanggaan: "kami banyak, solidaritas kuat".

Kebanggaan inilah yang tanpa sadar telah membawa umat larut dalam keluputan: luput memantau adanya person atau kelompok "penunggang" yang ingin kembali mengangkat popularitas yang telah meredup; luput menghindar dari "jebakan" arus deras konstalasi politik pemilukada DKI Jakarta; luput kalau-kalau aksi besar itu akan memompa semangat "jihad" kelompok teroris untuk melakukan aksi pengeboman; dan yang tak kalah penting, luput memantau secara kritis fenomena tukar-gilir kursi Ketua DPR RI.

Keluputan ini tak elok untuk diteruskan. Umat harus segera eling dan siuman. Terlebih di tengah tragedi gempa tektonik Aceh yang menewaskan ratusan orang. Tentu mereka butuh uluran tangan. Namun, akankah Aceh menjadi "kiblat" aksi peduli setiap insan?!

Daya Pikat Aksi 212

Aksi 212 memang dahsyat dan memikat. Massa yang tak terbendung telah menimbulkan decak kagum. Bukan kepada mereka yang berdomisi di Jakarta. Bukan pula kepada pengusaha dan pejabat negara. Tapi kepada mereka yang datang dari pelosok desa jauh dari Ibu Kota. Tak kenal lelah berjalan kaki dengan bekal seadanya. Sedang yang datang dari luar pulau Jawa, harus rela bermalam-malam naik bus meninggalkan kerja dan usaha. Sesampainya di Monas hanya berdoa lalu pulang begitu saja. Sebenarnya ini panggilan siapa? Kenapa umat begitu "temagnet" datang ke sana?

Tak perlu ditanya siapa dalangnya. Biarlah para analis dan elit politik yang tebak-tebakan dan tuding-tudingan siapa aktor intelektualnya. Ber-positif thinking saja, mungkin mereka berangkat ke Monas dikarenakan visi yang sama. Ibarat penumpang kapal, mereka tidak tanya siapa nahkodanya, tapi yang mereka tanya adalah kemana kapal hendak berlabuh. Tujuan yang sama membuat mereka bergerak tanpa paksa.

Tujuannya hanya satu, menuntut keadilan atas sangkaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahtja Purnama alias Ahok. Ahok memang "hebat", gara-gara dia jutaan umat bertumpah ruah di Jakarta tanpa menggunakan anggaran negara. Mestinya, jika saja umat muslim lebih objektif dan berlapang dada, aksi tersebut tak perlu ada. Cukuplah seperti kata Buya Syafi'i Ma'arif, "sudah ma'afkan saja".

Mema'afkan berarti meniadakan rasa tuntutan menghukumi orang. Jangan sampai reaksi yang berlebihan (ghuluw) membawa kita pada sikap penodaan terhadap eksistensi Indonesia sebagai salah satu negara multikultural terbesar (Yaqin, 2005) yang mengharuskan adanya keragaman etnis, ras, budaya, dan agama. Mestinya keragaman yang ada bukan menjadi laknat, tapi meminjam istilah Azra (2007), sebagai blessing in disguise bagi bangsa Indonesia.

Sikap merawat keragaman inilah yang menurut Whitehead (2009: xix) disebut "world loyality", yakni loyalitas yang tidak hanya tertuju kepada keluarga, puak, suku, ras, atau "umat" sendiri, melainkan merengkuh seluruh manusia, bahkan alam semesta.

Namun faktanya, dari dulu hingga sekarang umat muslim memang dikenal reaktif dan solid manakala ada "pihak lain" ("the other") yang mengganggu wilayah sensitif keagamaan (Islam). Sikap ketat memproteksi ajaran menjadi ciri muslim Indonesia kebanyakan. Tak peduli pelaku penistaan itu Gubernur atau pelayan restoran. Mereka yang aksi menyebutnya sebagai "jihad membela Islam". Ada pula yang menyebutnya "jihad membela al-Qur'an", dan seterusnya. Intinya, Aksi 212 yang berkiblat ke Monas itu dianggap sebagai seruan Tuhan.

Ayo Peduli Aceh

Aceh sedang dirundung duka. Desember kelabu kembali menyelimuti mereka, terutama masyarakat Pidie Jaya dan sekitarnya. Tuhan sedang memanggil rasa kepedulian kita. Bukan lagi sekedar untuk membela agama, tapi panggilan Tuhan ini untuk membuktikan kejujuran kita beragama. Kalam satirNya dalam surat al-Ma'un menegaskan: "Tahukah kamu siapa yang mendustakan agama.?"

Jika diteruskan, salah satu kriterianya adalah orang-orang yang tidak memberi makan fakir miskin. Yah, mereka yang menjadi korban gempa sedang menderita kemiskinan: miskin sandang, pangan, papan, obat-obatan, dan pendampingan, jangan sampai pula mereka menjadi miskin iman.

Aceh itu "Negeri Serambi Mekkah". Di sanalah "Ka'bahnya" Indonesia berada. Jangan tanyakan apa yang sudah dikontribusikan rakyat Aceh buat Indonesia, semua telah tercatat dalam sejarah. Salah satu yang mungkin kita lupa, bahwa emas Monas yang menjadi simbol tumpuan aksi umat muslim itu merupakan sumbangsih Teuku Markam, seorang pengusaha kaya dari Aceh.

Kini Aceh membutuhkan kepedulian kita semua: miskin-kaya, pejabat-rakyat biasa, Aceh-Non Aceh, Muslim-Non Muslim, dan Indonesia-Non Indonesia. Apalagi sesama muslim yang soliditasnya telah teruji mulai dari aksi Istana (411), Monas (212), hingga gerakan subuh berjama'ah (1212). Sebenarnya, menghindari diri dari sikap mendustakan agama jauh lebih utama ketimbang melawan penista agama. Karenanya, ayo peduli Aceh.

Acuan Pustaka

Azra, Azyumardi. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Yogyakarta: Kansius.

Yaqin, Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural; Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. cet. ke-1. Yogyakarta: Pilar Media.

Whitehead, Alfred North. 2009. Mencari Tuhan Sepanjang Zaman, diterjemahkan oleh Alois Agus Nugroho, "Religion in the Making: Lowell Lectures". Bandung: Mizan.

Ikuti tulisan menarik Mustamar Iqbal Siregar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB