x

Kasus Intoleransi Beragama Meningkat

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mau Jadi Bigot atau Bijak di Media Sosial?

Di era digital saat ini, jumlah pengguna internet aktif di Indonesia itu 88,1 juta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Akhir tahun kemarin, kita disuguhi berita penulis Jokowi Undercover, Bambang Tri dicokok polisi di Jawa Tengah. Ia ditangkap dan kemudian ditahan setelah dilaporkan oleh Michael Bimo Putranto, pengusaha asal Solo.

Jika membaca tulisan baik di status-status Bambang di Facebook maupun di bukunya,  memang terasa provokatif.  Jokowi, dalam buku itu, disebut saudara kandung  dengan Michael Bimo.  Jika buku itu dibaca orang Solo yang mengenal keluarga Jokowi maupun Michael Bimo, tuduhan itu akan memicu kemarahan sekaligus bahan tertawaan. Kenapa? Karena fitnahnya keterlaluan bodoh dan ngawur.  Tak ada sedikitpun garis darah yang menghubungkan antar keduanya.  Sebagai orang Solo dan mengenal keluarga Michael Bimo, saya bisa menjamin soal ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelum kasus Bambang Tri, nasionalisme kita diusik oleh cuitan serampangan dan ahistoris dari seorang guru dan kader partai di Yogyakarta, Dwi Estiningsih. Dia menyebut istilah pahlawan kafir untuk orang-orang yang rela berkorban nyawa demi kemerdekaan negeri. Dengan jahat, master psikologi ini  menyebut kebanyakan orang Kristen (yang disebutnya dengan kata kafir itu)  adalah pengkhianat.  Saya gak ngerti, kategori pengkhianat apa yang dia maksud.

Yang lebih gila lagi, dia merasa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, seharusnya penentuan pahlawan dalam lembaran uang rupiah baru juga harus beragama Islam. Dia memprotes pilihan lima dari sebelas pahlawan itu bukan Islam itu tidak adil bagi Indonesia. Plus dengan imbuhan #lelah. Maksudnya apa? Pahlawan yang disebutnya kafir itu, ketika berjuang demi Indonesia merdeka dan kini dinikmatinya dengan bercuit bebas dan tanpa penghargaan itu, rela meninggalkan raga, berpisah keluarga demi kecintaannya pada negeri. 

Celakanya, cuitan ini buat sebagian kalangan dipercaya dan dimakan mentah-mentah. Bahkan kita, yang masih punya rasa cinta tanah air dan moral luhur, harus mengelus dada ketika Frans Kaisiepo, pahlawan nasional dari Papua  yang menjadi pilihan di lembaran uang Rp 10 ribu ini menjadi bahan olok-olokan rasis di dunia maya. Kalau saya punya mesin waktu, ingin rasanya membawa mereka ke masa lalu, di masa perjuangan,  dengan berbekal bambu runcing di tangan mereka, berhadapan dengan pasukan Belanda yang mengacungkan bedil.  Apa mereka masih punya daya juang seperti halnya para pahlawan itu atau jangan-jangan ngompol di celana.

Sebenarnya, sejak Indonesia disergap oleh beragam media sosial yang tanpa sekat, kita seperti mengalami gegar budaya atau culture shock. Dari yang semula hidup di zaman kegelapan, terutama di era Orde Baru yang membatasi segala akses informasi, tiba-tiba kita memasuki era digital dengan munculnya beragam media sosial.  Yang berpikir tidak ndeso, tidak akan gagap menerima budaya baru ini. Nah, gimana yang berpikirnya masih kampungan? Jelas, media sosial  tidak mengenal kode etik jurnalistik, semua informasi, termasuk yang sebenarnya sampah abal-abal, hoax, dan sampah bisa menyebar dengan cepat dan ditelan mentah-mentah tanpa ada pihak yang bertanggung jawab secara profesi. Tiba-tiba, akses informasi yang semula banyak ditutup ini terbuka dengan tidak terkendali. Orang makin senang bermain dan ngeksis di media sosial. Semua informasi, terutama yang hoax, gampang banget diviralkan.  Yang berbahaya, jika isu-isu hoax ini dipercaya oleh sejumlah orang dalam skala besar dan mereka membuat gerakan sosial secara bersama.

Kegelisahan ini pun dirasakan para antropolog Indonesia. Akhir tahun lalu, mereka membahas soal kebhinnekaan Indonesia yang makin terancam oleh kasus-kasus kekerasan dan intoleransi.  Media sosial, menjadi salah satu penyebab hasutan itu makin meluas dan tak terkendali.

Antropolog Tri Nugroho  mengatakan, kebebasan pasca reformasi melahirkan kebebasan pers,  berbicara dan berpendapat, membuat parpol, mendapatkan informasi publik, beragama dan berkeyakinan.  Sayangnya, masyarakat belum bisa cerdas memilah informasi yang masuk. Di era digital saat ini, jumlah pengguna internet aktif di Indonesia itu 88,1 juta. “Nah, sekitar 79 juta itu aktif di medsos,” katanya.

Jadi, bisa dibayangkan, berapa juta orang memproduksi dan menyebarkan kebohongan juga menghasut akun lain setiap hari.

Menurut Tri, kontestasi berbicara di media sosial menajam tanpa sensor dan kekerasan virtual terjadi.  Pada saat itulah pasti menyentuh isu-isu cultural marker atau penanda kebudayaan.  Cultural marker ini biasanya menyentuh ke soal-soal SARA.  

Antropolog lainnya, Geger Riyanto menuturkan cultural marker ini jika disentuh, dengan cepat akan panas dan pecah konflik. “Di Indonesia ini selalu yang ditanya, kamu orang mana, asal apa, agamanya apa,” kata dia. Geger pun mengingatkan tragedi penyerangan dan pembunuhan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik Banten dan jauh sebelumnya, konflik agama Islam-Kristen di Ambon.

Baik Tri maupun Geger mengatakan, melihat kondisi kebhinnekaan Indonesia yang makin terancam, ketika toleransi sudah menjadi barang mahal, kondisi ini tak bisa dibiarkan. “Inilah sebuah era saat antropolog perlu memberi perhatian kepada komunitas orang-orang kuat dari pada komunitas orang-orang lemah. Siapa mereka yang telah menghasut kelompok marjinal ini,” kata Tri.

Adapun Geger menyatakan, ini saatnya antropolog turun. “Kita gak boleh menyerah sebagai antropolog untuk menjaga kemajemukan Indonesia.”

Buat kita yang bukan antropolog, sebaiknya makin cerdas dan sehat bermain di media sosial. Ini berkaitan dengan keinginan kita, mau menjaga Indonesia agar tetap seperti dulu yang dikenal sebagai negeri ramah, guyub, saling menghargai, toleransi tinggi meski beraneka etnis dan keyakinan atau ingin mengucapkan sayonara kebhinnekaan? Keputusan ada di tangan kita lho sebagai netizen. Ingat, tak selamanya media sosial itu mendatangkan keburukan. Media sosial bisa juga lho menjadi tempat pembelajaran gratis dan ini nih, bisa membuat kita paham apakah kita ini golongan bigot atau orang yang benar-benar menelaah setiap informasi yang masuk.   

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler