x

Iklan

Iwansyah S.Kep.,Ns

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pengangguran Berlabelkan Gelar Sarjana

Gelar sarjana bukan lagi gelar prestisius. Kini sarjana seolah menjadi hal biasa yang kadang menjadi sampah baru negeri ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Empat tahun lebih berkutat dengan akademik, hal tersebut di alami oleh para sarjana yang sesungguhnya. Bukan sarjana instan yang datang ketika wisuda (sarjana abal-abalan). Selepas toga sarjana dilepas, anda akan masuk pada fase dunia nyata. Dimana sarjana-sarjana ini akan dituntut oleh lingkunganya  dengan pertanyaan ; apa kemampuan kamu? Kamu masih nganggur? Kamu udah sarjana lho? kamu bekerja di mana? Pertanya tersebut susah untuk di jawab ketika kita di hadapkan pada situasi pengangguran. Terkadang cibiran dari orang lain akan title pengangguran dilontarkan dengan mudahnya ketika seorang sarjana yang telah lulus belum juga mendapatkan pekerjaan. 1-2 tahun masih bisa dimaklumi, namun sudah lebih dari itu masih belum mendapatkan pekerjaan sesuai background pendidikannya tentu akan menjadi suatu masalah bagi orang tersebut.

Gelar sarjana bukan lagi gelar prestisius. Devinisi prestis seolah luntur seiring perkembangan zaman. Kini sarjana seolah menjadi hal biasa yang kadang menjadi “sampah” baru negeri ini.

Gelar Sarjana seharusnya menjadi solusi atas persoalan bangsa, bukan menambah persoalan bagi bangsa. Selama ini, pandangan masyarakat bahwa selembar ijazah pendidikan tinggi, terutama bukti gelar sarjana, merupakan kunci utama untuk mendapatkan pekerjaan impian. Namun, seiring makin banyaknya sarjana yang dihasilkan oleh institusi pendidikan tinggi negeri maupun swasta selembar ijazah tidak cukup lagi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dapat dilihat bahwa, setiap tahunnya berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia meluluskan ribuan sarjana baru dari seluruh pelosok negeri, baik itu lulusan dari Perguruan Tinggi Swasta, maupun Perguruan Tinggi Negeri. Tingginya angka pengangguran sarjana sudah menjadi salah satu penyakit di negara Indonesia yang besar ini.

Melemahnya daya serap tenaga kerja di beberapa sektor industri, membuat angka pengangguran bertambah. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang, bertambah 320 ribu orang dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu 7,24 juta jiwa. Sedangkan Laporan badan pusat statistik (BPS) tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2016 tercatat sebesar 5,5 persen.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Edy Suandi Hamid mengatakan pengangguran terbuka yang diluluskan perguruan tinggi masih relatif banyak dari jumlah angkatan kerja di Indonesia. Hal itu menunjukkan penyerapan tenaga kerja lulusan perguruan tinggi cenderung lambat sehingga menyuburkan pengangguran berlabel sarjana.

Sejumlah ahli pendidikan tinggi lainnya seperti Wardiman Djojonegoro, dalam pemberitaan di Kompas, menyebutkan, terjadinya pengangguran terdidik merupakan kelindan berbagai faktor, seperti kurangnya lapangan pekerjaan, pertumbuhan perguruan tinggi dan program studi begitu pesat, serta minimnya kompetensi para lulusan atau tidak sesuainya kompetensi dengan kebutuhan pengguna tenaga kerja. Faktor ketersediaan lapangan kerja merupakan hal kompleks tersendiri yang, antara lain, terkait dengan ketersediaan investasi memadai untuk menyerap tenaga kerja dari lulusan berbagai program studi, kinerja ekonomi nasional, dan kondisi ekonomi global.Penyebab lain, seperti pengendalian mutu institusi pendidikan tinggi dan pembekalan kompetensi lulusan, sesungguhnya dapat lebih dikendalikan. Jangan sampai, ketika mencari pekerjaan, individu dalam usia produktif tidak memiliki keahlian tertentu sehingga dianggap tidak menarik bagi pencari kerja.

Dalam hal ini penulis melihat bahwa sangat bertentanagan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Fungsi lain ialah mengembangkan sivitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma. Pendidikan tinggi juga berfungsi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai-nilai humaniora. Dan UUD 1945 Pasal 27 yang berbunyi, Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Itulah yang menegaskan bahwa negara menjamin setiap penduduk untuk bisa mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Supaya jumlah penganggur bergelar sarjana berkurang, pemerintah perlu mendorong pengembangan pendidikan vokasi. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi berencana memprioritaskan pengembangan pendidikan vokasi. Data Dikti menyebutkan, ada 1.357 akademi, 2.508 sekolah tinggi, 255 politeknik, dan 124 institut. Adapun universitas hanya ada 504. Artinya, mayoritas perguruan tinggi di Indonesia bergerak di bidang vokasi. Akan tetapi, jumlah program studi (prodi) vokasi hanya 20 persen dari total prodi yang ada. Dengan menambah program vokasi, diharapkan tercipta tenaga kerja terampil yang bisa segera diserap pasar.

Namun, perlu diingat, proses pendidikan di perguruan tinggi tak sekadar pencetak tenaga kerja dan berorientasi pasar. Terdapat sisi dan fungsi penting lain dari penyelenggaraan pendidikan tinggi, termasuk yang bergerak di pendidikan vokasi. Seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Fungsi lain ialah mengembangkan sivitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma. Pendidikan tinggi juga berfungsi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai-nilai humaniora. Pada akhirnya, pendidikan tinggi tak hanya persoalan investasi individu untuk dapat bekerja, tetapi juga menentukan kesejahteraan bangsa dan peradabannya.

Penulis: Iwansyah (Direktur Eksekutif Suara Literasi Perawat Indonesia)

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Iwansyah S.Kep.,Ns lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB