x

Iklan

Anazkia Aja

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kabar dari Bima

Menjadi relawan kebersihan bersama dengan Sekolah Relawan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak terasa, ini sudah hari ke sepuluh di Bima. Barangkali, saya selalu menghitung jeda yang terlewati, sampai saya  tak alpa menghitung hari. Meski tak sepenuhnya selalu mengingat, “sekarang hari apa”

Selasa, 3 Januari 2016 bersama dengan teman-teman dari Sekolah Relawan (SR) kami (18 orang) mendarat di Bandar Udara Sultan Muhammad Salahudin pada pukul 14.30 waktu Bima. Kami disambut ramah seorang lelaki berbadan kurus, berambut gondrong. Mas Budi namanya. Dialah Koordinator lapangan kami selama di Bima. Waktu itu, dia sudah hampir dua minggu berada di Bima. Dia, bersama dengan dua orang temannya dari SR datang hari ketiga 23 Desember 2016 pasca banjir bandang pertama. Dan dia juga berada di lokasi ketika banjir bandang kedua.

Setelah berbincang-bincang tak begitu lama, kami mulai memasukan barang bawaan ke mobil. Menurut Mas Budi, jarak yang akan ditempuh tidak begitu jauh menuju kota Bima dari Bandara. Dalam waktu tiga puluh menit saja. “Pemandangannya bagus, kok. Jadi nggak bakalan terasa.” Kata Mas Budi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selama perjalanan dari bandara ke Bima, Mas Budi banyak menceritakan tentang kondisi Bima. Ia menjelaskan kalau banjir parah itu berada di kota. Dia juga menunjukkan tempat-tempat terparah di kota setelah banjir melanda. Katanya, banjir kedua lebih parah dari banjir pertama. Tak ada bantuan perahu karet. Hanya ada satu perahu karet yang dibawa oleh Mas Budi dan teman-temannya. Sepanjang jalan bandara  menuju kota  tepian laut membentang sepanjang jalan. Memasuki kota Bima, serak-serak sampah masih tersebar di kanan kiri-kiri jalan. Baik di depan pertokoan, mau pun rumah-rumah warga.

“Itu, kalau masuk ke dalam gang-gang, lumpur masih tinggi.” Mas Bima menjelaskan.

Kami menuju Raba Dompu. Salah satu daerah yang tidak begitu parah terkena dampak banjir. Di situ, kami akan bermukim sementara selama menjadi relawan. Seperti dijelaskan dari awal sebelum kami berangkat, bahwa kedatangan kami ke Bima untuk membantu membersihkan tempat-tempat umum, baik sekolah, masjid mau pun rumah warga.

Hari pertama sampai di Bima, kami beristirahat.

Rabu, 4 januari 2016

Pagi-pagi, kami dibawa menuju sekolah MTs Negeri 1 Bima. Riuh rendah siswa hilir mudik menenteng segala macam, dari ember, penyapu dan semacamnya. Tapi tak berlangsung lama, karena murid-murid segera dipulangkan. Tinggallah kami, para guru, para Tata Usaha (TU) juga TNI Angkatan Darat. Memasuki gedung sekolah, saya dibuat terkesima melihat keadaan sekolah. Lumpur tergenang di mana-mana, tak hanya di lapangan tapi juga memenuhi hampir  setiap ruangan di sebelah utara.

“Habislah semua data kami. Kami harus memulainya lagi dari nol. Data-data TU juga habis.” Ibu Nurhayati, kepala TU mencurahkan perasaannya.

Satu persatu dari kami mulai mengerjakan berbagai hal. Dari mengangkut semua berkas-berkas TU yang  hampir lebur karena sudah hampir satu minggu terkena air banjir, mengangkut reruntuhan juga mengangkut lumpur dari dalam kelas. Kami bahu-membahu dengan TNI, pihak sekolah juga dari Palang Merah Indonesia (PMI). Lumpur yang sudah mengeras di kelas disiram dengan air, baru dikeluarkan dengan bermacam-macam alat. Memerhatikan teman-teman relawan dari SR bekerja saya dibalut salut yang luar biasa kepada mereka. Tak kenal lelah mereka membersihkan lumpur di segala penjuru. Iya, karena hampir semua ruangan terendam lumpur.

Ketinggian banjir 2 meter pada 23 Desember lalu telah merendam sebanyak 20 kelas, mushola, ruang guru, ruang tata usaha, ruang lab juga pesantren yang terletak di belakang sekolah. Perpustakaan ada di lantai dua, jadi aman. MTs N 1 Bima, merupakan salah satu sekolah terbaik di Bima, dengan jumlah siswa seribu lebih MTs N 1 banyak menuai prestasi dari berbagai macam lomba.

“Tadinya, di sini etalase semua piala. Semua piala terjejer di sini, dari yang paling kecil sampai yang terbesar. Tapi semua sudah habis terbawa banjir. Hanya tersisa satu piala besar  yang dikembalikan oleh warga kepada kami.” Kak Eni, salah seorang Tata Usaha bercerita kepada saya.

Bersambung, kalau rajin nulisnya.

 

 

 

Dokumentasi foto milik Sekolah Relawan

Ikuti tulisan menarik Anazkia Aja lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler