x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berbeda Pendapat itu Wajib

Manakah yang lebih baik bagi sebuah organisasi: hidup bersama konflik atau melaju dengan harmoni yang kering?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

                                

Bagi kebanyakan orang, istilah konflik organisasi mempunyai konotasi negatif. Konflik itu buruk. Setiap konflik dianggap berdampak negatif terhadap efektivitas organisasi. Jika seorang manajer menganut pandangan ini, dengan serta merta ia akan berupaya memadamkan konflik di lingkungannya. Bahkan, dalam jangka panjang, ia berusaha agar tidak timbul konflik di dalam timnya.

Apakah itu berarti semua konflik negatif? Menurut Michael Feiner, profesor di Graduate School of Business Columbia University, tidak semua konflik bersifat destruktif. Apabila agenda pribadi yang memicu konflik, menurut Feiner, jelas itu tidak sehat. “Tetapi konflik mengenai gagasan, itu bagus,” ujarnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagaimana penelitian yang dikutip oleh Stephen Robbins dalam The Truth About Managing People (2009), terdapat tiga jenis konflik: tugas, hubungan, dan proses. Konflik tugas berhubungan dengan muatan dan sasaran pekerjaan. Konflik hubungan terfokus pada hubungan interpersonal. Misalnya, sesama anggota tim merasa sulit bekerja sama dan kesulitan itu tidak ada kaitannya dengan kemampuan kerja atau interaksi yang formal. Pendeknya, bersifat psikologis, misalnya ketidakcocokan kepribadian. Lainnya adalah konflik proses, yang berkaitan dengan bagaimana pekerjaan dijalankan. Bukti menunjukkan, tulis Robbins, bahwa konflik hubungan di dalam kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi hampir selalu disfungsional, sedangkan konflik proses dan konflik tugas pada tingkat yang rendah seringkali fungsional.

Disfungsional berarti destruktif, sebab mengganggu efektivitas organisasi. Robbins, dalam karyanya yang lain, Teori Organisasi, menggambarkan bahwa tingkat konflik yang tinggi biasanya tidak fungsional. Apa yang berlangsung dalam organisasi adalah suasana yang kacau, semrawut, dan tidak kooperatif. Jelas, dalam hal ini, efektivitas organisasi rendah.

Efektivitas rendah juga ditemui bila organisasi “sunyi sepi” dari konflik atau konfliknya rendah sekali. Orang-orang dalam organisasi cenderung apatis, ogah-ogahan, tidak tanggap terhadap perubahan, dan kurang gagasan baru. Masalahnya, manajer pada umumnya tidak menyukai konflik karena takut pada anggapan bahwa ia tidak mampu menjaga kerjasama tim. Ini berpangkal pada persepsi bahwa setiap konflik berkonotasi negatif.

Namun, bila dilihat sisi positif dari konflik, pemimpin yang trampil justru akan mendorong debat, perselisihan pendapat, dan diskusi mengenai ide-ide, isu-isu, dan keputusan-keputusan penting. “Semakin tinggi pertaruhan dalam pengambilan suatu keputusan kunci, semakin vital untuk menstimulasi konflik yang sehat,” ujar Freiner. Berbeda dengan konflik yang destruktif, pertarungan ide, kata Freiner, “membawa kepada kreativitas, inovasi, dan perubahan positif karena dari masing-masing benak partisipan muncul ide-ide terbaik.”

Robbins juga sependapat. Pada tingkat yang optimal, konflik dapat fungsional, dalam arti membuat organisasi dan orang-orang di dalamnya bergairah, kritis, dan inovatif. Efektivitas organisasi menjadi tinggi, sebab orang berani mengeluarkan gagasan tanpa cemas bahwa perbedaan pandangan akan mengarah kepada konflik personal, kebencian, atau dendam. Apa lagi, sampai macetnya karier.

Kita bisa membayangkan konflik yang tidak sehat dan konflik yang sehat sebagai kolesterol. Kita tahu, ada kolesterol baik dan ada kolesterol jahat. Dengan memikirkan konflik sebagai kolesterol, kata Freiner, mungkin Anda akan termotivasi untuk mengubah cara Anda mengerjakan sesuatu. Mungkin cara memimpin tim, mengelola orang, atau mengambil keputusan. Anda akan lebih berdisiplin untuk mengurangi kolesterol jahat dan menambah kolesterol baik.

Eksekutif yang paling efektif tahu bagaimana meminimalkan konflik yang buruk sembari menyemaikan konflik yang sehat. Pemimpin yang mampu mengenali sisi buruk dari konflik yang tidak sehat dan sisi baik dari konflik yang sehat akan lebih mampu memanipulasi tingkat-tingkat keragaman kedua konflik tersebut. “Anda menyelamatkan perusahaan Anda dari kemungkinan mengidap corporate coronary,” kata Freiner.

Penyelamatan seperti apa yang dapat dilakukan manajer atau eksekutif? Ketika konflik yang tidak sehat berlangsung, banyak eksekutif yang tidak menyadari bahwa mereka memiliki cukup banyak pilihan untuk mengatasi situasi. Namun mereka kerap beranggapan hanya tersedia dua pilihan: menghindari konflik atau menghadapi satu atau lebih pihak. Padahal, eksekutif dan manajer bisa memperkecil konflik buruk dengan lebih trampil, kata Freiner, bila mereka mengembangkan opsi-opsi lain di luar ‘menghindari’ dan ‘berkonfrontasi’. Misalnya, dengan berkompromi, mendelegasikan, atau mengakomodasi.

Dalam pandangan Feiner, kunci bagi konflik yang sehat ialah pertukaran gagasan yang energetik. Banyak pemimpin memiliki berbagai teknik untuk menstimulasi perdebatan dalam konteks kolesterol baik. Contohnya, eksekutif dan manajer menghindari untuk menyatakan opini mereka mengenai suatu isu di awal diskusi. Jika itu dilakukan, kata Feiner, “Anda hanya mendorong groupthink, sebab sedikit orang yang akan merasa nyaman menantang Anda. Alih-alih demikian, pastikan bahwa opini Anda adalah opini yang terakhir dinyatakan.”

Teknik lainnya dapat dicoba ketika satu atau lebih partisipan dalam debat mulai diam. “Ketika Anda melihat hal itu, tanyalah seseorang apa yang sedang ia pikirkan dan rasakan.” Feiner juga setuju bahwa adanya orang yang berperan sebagai devil’s advocate mengenai suatu isu dapat menstimulasi atau memanaskan pertukaran gagasan.

Feiner menguraikan metode lain yang dikenal sebagai divergensi/konvergensi: partisipan menulis di atas kertas Post-it apa yang mereka anggap sebagai tiga isu kunci dalam pengambilan keputusan suatu masalah. Tulisan ini dipampang di dinding untuk mengungkapkan pikiran mana yang setuju dan mana yang tidak. Melalui debat dan diskusi berdasarkan tulisan itu, partisipan bekerja menuju konvergensi opini. Pendekatan ini menolong memastikan bahwa gagasan setiap orang tercakup dalam proses pengambilan keputusan.

Teknik-teknik itu, kata Feiner, memungkinkan seorang pemimpin mengirim pesan penting: “Saya menginginkan gagasanmu. Saya menginginkan ketidaksetujuanmu. Saya ingin kamu menantang saya.” Interaksi gagasan yang dihasilkan dari cara itu menyediakan fondasi bagi berpikir inovatif dan kreatif yang dihasilkan oleh konflik yang sehat. Pandang tentang pentingnya berbeda pendapat lebih didasari oleh keyakinan bahwa tidak ada pendapat yang sepenuhnya benar. Berbeda pendapat itu penting untuk memperkaya pemahaman mengenai suatu tantangan.

Sebagaimana ditulis oleh Jim Collins dalam Good to Great, “semua good-to-great companies memiliki kecondongan akan dialog yang intens. Frasa-frasa seperti ‘debat yang keras’, ‘diskusi yang panas’ dan ‘konflik yang sehat’ tertera dalam transkrip rapat-rapat semua perusahaan itu.” Semakin trampil manajer dalam menangani perbedaan dan perubahan tanpa menciptakan atau terlibat dalam konflik, semakin sukses tim dan perusahaan mereka.

Jadi, jangan cemaskan setiap konflik. Buang kolesterol jahat dan jaga kolesterol baik pada tingkat yang optimal. (Sumber foto ilustrasi: litztc.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler