x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Biaya Kognitif Multitasking

Melakukan sejumlah pekerjaan secara bersamaan tidak membuat kita makin produktif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Kendati kita tidak suka, seringkali kita dipaksa untuk bekerja serba cepat di zaman yang serba techno ini. Kita didesak bos, klien, rekan kerja, dan anak buah untuk segera menyelesaikan pekerjaan. Repotnya, semua minta didahulukan, sedangkan pekerjaannya berbeda satu sama lain. Bila semua permintaan tadi diikuti, setidaknya sudah ada 4 pekerjaan yang harus diselesaikan nyaris bersamaan. Woow, apakah kita Superman/woman?

Pilihan yang terlintas dalam benak ialah melakukan multitasking. Tapi benarkah multitasking satu-satunya cara agar setiap pekerjaan berhasil diselesaikan? Ataukah yang terjadi justru sebaliknya?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak lama para psikolog memelajari batas-batas kemampuan manusia untuk memroses lebih dari satu stimulasi pada waktu yang sama. Sayangnya, di era kompetitif seperti sekarang, multitasking dianggap sebagai keterampilan penting agar bisa unggul. Tak heran bila banyak orang gelisah dan dihantui oleh FOMO—‘fear of missing out’.

Kita, sebagai manusia, memang masih mampu mengerjakan dua hal nyaris bersamaan bila salah satunya lebih ringan sehingga dapat dikerjakan sambil lalu. Kita bisa ngobrol sambil berjalan atau minum kopi. Namun, kita tidak bisa belajar atau berkonsentrasi pada dua hal secara bersamaan.

Kita sesungguhnya tidak bisa benar-benar multitasking, dalam arti mengerjakan sejumlah pekerjaan yang berbeda pada waktu yang sama. Kita tidak seperti laptop yang bisa kita pakai mengetik sembari diajak browsing di internet. Kita tidak bisa menonton acara televisi sembari memasak dan memasang kancing baju yang copot.

Yang kita lakukan ialah beralih dari memasang kancing, lalu menonton televisi, lalu kembali menusukkan jarum, menengok masakan. Apa yang kita kerjakan ini baru task switching, belum real multitasking, dan itupun sudah merepotkan serta tidak efisien. Otak kita dipaksa untuk beralih dari satu urusan (menonton Stand-Up Comedy di teve) ke urusan lain (memasang kancing).

Multitasking membuat kita kurang produktif, sebab membuat kita berpikir dan bekerja lebih lamban karena fokus dan konsentrasi kita berubah-ubah pada aktivitas yang berlainan. Setiap kali kita berpindah aktivitas, otak kita memerlukan waktu untuk berpindah. Sekedar contoh, ketika Anda sedang menghadiri rapat dan tiba-tiba diminta menerima telepon untuk urusan yang sama sekali berbeda, Anda memerlukan waktu untuk kembali ke topik rapat. Bila diakumulasi, waktu yang terbuang relatif banyak.

Multitasking juga menurunkan kinerja kognitif kita. Clifford Nass, penulis buku The Man Who Lied to His Laptop, mengatakan: semakin Anda berusaha multitasking, semakin berkurang kemampuan Anda untuk belajar, berkonsentrasi, bahkan bersikap baik kepada orang lain—Anda akan mudah sewot. Karena multitasking dianggap jawaban terhadap tuntutan akan kecepatan, multitasking menurunkan kemampuan berpikir kreatif dan menemukan solusi terbaik.

Apa lagi biayanya? Riset lain menyebutkan bahwa multitasking meningkatkan stres, kegelisahan, bahkan depresi. Para peneliti mengonfirmasi bahwa kebanyakan orang yang berusaha melakukan lebih dari satu pekerjaan pada waktu yang sama mengalami ketegangan. Panik—saya rasa, banyak kita pernah mengalami ketika sejumlah tekanan datang dari arah yang berbeda-beda: penulisan laporan belum selesai, rapat sudah menanti, dan klien sedang menunggu jawaban.

Produktivitas berkurang karena konsentrasi terpecah dan beralih berulang-ulang di antara sejumlah aktivitas yang berbeda sama sekali. Cara seperti ini, mengutip pendapat sejumlah neuroscientist dan psikolog, membebani otak dan berujung pada penurunan produktivitas serta kualitas karya kreatif kita. Masakan mungkin jadi kurang lezat, letak kancing mungkin melenceng, atau kita tertinggal saat harus tertawa melihat lawakan yang lucu.

Jadi, bagaimana jalan keluarnya? Para neuroscientist dan psikolog memberi saran sederhana: “Selesaikan satu urusan untuk kemudian baru beralih ke urusan lain.” Saran ini tidak berbeda dengan kearifan yang sudah berusia berabad-abad. Hanya saja, kita mungkin sering mendengarnya, tapi lupa atau enggan mengikutinya. (Sumber foto ilustrasi: motherjones.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler