x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bhineka Tanpa Cinta

Naskah Drama Jean Genet yang menggambarkan ketegangan antarras.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Orang-Orang NEGRO

Judul Asli: Les Negers

Penulis: Jean Genet

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Birul Sinari-Adi

Tahun Terbit: 2000

Penerbit: Yayasan Aksara Indonesia                                                                         

Tebal: xvi + 142

ISBN: 979-95817-4-5

Lakon ini, aku ulangi, ditulis oleh seorang kulit putih, ditujukan kepada penonton kulit putih. Tetapi seandainya, kecil sekali kemungkinannya, suatu malam lakon ini dimainkan di depan penonton kulit hitam, maka pada tiap pementasannya seorang kulit putih harus diundang – laki-laki atau perempuan. Penyelenggara tontonan akan menyambutnya secara resmi, memberinya pakaian upacara dan mengantarkannya ke tempat yang paling disukai, di tengah deretan pertama kursi terdepan. Orang-orang bermain untuknya. Di atas orang kulit putih itu secara simbolis sebuah lampu sorot diarahkan padanya selama tontonan berlangsung. Dan seandainya tidak seorang kulit putih pun menerima pementasan ini? Kepada penonton kulit hitam dibagikan topeng-topeng kulit putih di pintu masuk ruangan. Seandainya orang-orang kulit hitam menolak topeng-topeng itu, maka digunakan sebuah boneka.

Kalimat pembuka dalam buku ini sungguh satiris. Genet mau menunjukkan betapa dominasi orang kulit putih terhadap kulit hitam begitu kental, sehingga dalam sebuah pementasan drama tentang kulit hitam untuk orang kulit hitam harus dihadiri oleh orang kulit putih, atau setidaknya simbol yang menunjukkan kehadiran kulit putih. Kulit hitam tak boleh eksis tanpa kulit putih.

Kesinisan terhadap nilai-nilai umum memang menjadi ciri khas Genet. Kesinisannya ini, seperti dijelaskan dalam kata pengantar buku ini, disebabkan karena masa lalunya yang kelam. Ia dilahirkan tanpa jelas siapa bapaknya, dibesarkan di panti asuhan, sering kali melakukan tindak kriminal sehingga akrab dengan penjara. Namun justru saat di penjara itulah bakat menulisnya mulai kelihatan. Jean Genet adalah sastrawan Perancis ternama yang menghasilkan karya puisi, novel, naskah drama dan kritik seni. Karya-karyanya menyimpang dari norma sosial yang dianut masyarakatnya.

Drama Orang-orang Negro (the Black: A Clown ShowsLes Negers) bukanlah satu-satunya naskah drama yang ia tulis. Namun Orang-orang Negro ini telah banyak dipentaskan di berbagai negara. Orang-orang Negro bercerita tentang pentas drama dalam pentas drama. Drama ini berkisah tentang pengadilan atas pembunuhan seorang perempuan tua kulit putih oleh seorang pemuda kulit hitam. Plot dibangun secara paralel antara kisah pembunuhan sampai proses pengadilan yang sesungguhnya dan percekcokan antar pemain drama dan dengan kelompok “kulit putih” yang datang untuk menyaksikan drama dan mensupervisi pementasan. Plotnya begitu chaos karena drama pementasan pembunuhan perempuan tua kulit putih oleh tokoh Village campur aduk dengan percekcokan antara para pemainnya dan komentar kemarahan dari para “kulit putih.” Belum lagi percintaan antara dua peraga, yaitu Village dengan Vertu yang tiba-tiba saja muncul dalam alur cerita.

Dalam pementasan ini lima aktor kulit hitam diwarnai sehingga bisa memerankan tokoh kulit putih, yaitu tokoh Ratu, Hakim, Misionaris, Gubernur, dan Pelayan. Kelima orang ini menonton pementasan yang dilakukan oleh delapan aktor kulit hitam. Kedelapan aktor yang tetap berkulit hitam inilah yang memerankan pembunuhan seorang perempuan tua berkulit putih dan proses pengadilannya. Di sini Genet mengolok kulit putih dengan tidak memilih pemeran orang kulit putih untuk tokoh yang seharusnya kulit putih.

Para “kulit putih” ini sudah hadir pada saat pementasan baru dalam tahap persiapan. Di bagian ini Genet sudah mengungkap ucapan rasialis orang kulit putih. Tokoh hakim yang menyatakan bahwa kedatangan orang kulit putih dalam pementasan ini adalah karena alasan kesopanan daripada benar-benar ingin menikmati drama yang dipentaskan (hal. 18). Genet bahkan lebih tajam dalam menggambarkan ungkapan rasialis. Tokoh Ratu meredakan kemarahan tokoh Gubernur dengan kalimat yang sangat menyinggung kulit hitam: “Persiapan sedang dimulai, tetapi biarkan Negro itu berbicara: lihatlah mulutnya yang menguap, terbuka lebar, dan barisan lalat-lalat yang terbang keluar…” (hal. 18). Atau ucapan Misionaris kepada Ratu berikut ini: “Nyonya, aku sudah mengatakannya pada Anda: mereka sombong, sinis, penuh dendam…” (hal. 121) dan dibalas oleh Ratu: “Tapi, apa yang telah aku lakukan pada mereka? Aku baik, lembut dan cantik!” (hal. 121). Sementara tokoh Negro juga mengungkapkan kebencian, misalnya perkataan Archibald kepada Village yang ayahnya adalah kulit putih, yang menghamili gadis Negro beitu saja: “Ayah Anda? Jangan gunakan kata itu lagi…” (hal 30) “Carilah kalimat, setidaknya kata-kata yang memutus hubungan itu…” (hal 31). Juga pemeranan Village dalam membunuh yang harus dengan rasa kebencian yang amat sangat. Namun ungkapan-ungkapan rasialis ini dipakai oleh Genet justru untuk menertawainya.

Sindiran terhadap hubungan antara orang kulit hitam dan kulit putih yang kelihatannya baik-baik saja disampaikan dalam kalimat: “Kita semua telah memeliharanya dengan mesra, tetapi bukan dalam cinta” (hal. 22). Tetapi ungkapan-ungkapan kebencian terlontar saat para kulit putih berkomunikasi diantara kulit putih dan para kulit hitam berkomunikasi dengan para kulit hitam.

Namun diantara para peraga ini ada juga yang berupaya menggunakan cinta untuk membangun keselarasan komunikasi. Tokoh Diouf (kulit hitam) mengajukan cinta sebagai cara untuk menyelesaikan hubungan mesra yang dilandasi kebencian. Ia misalnya mengusulkan roti hosti berwarna abu-abu, sementara misionaris bersikukuh bahwa roti hosti harus berwarna putih, karea Tuhan adalah berkulit putih dan makan di meja dengan serbet putih serta mengelap bibirnya dengan saputangan putih.

Genet mengajukan sebuah pendapat melalui tokoh yang memerankan Ratu: “Mereka akhirnya tahu bahwa hanya hubungan dramatik yang dapat terjalin antara kita (kulit hitam) dengan mereka (kulit putih).” (hal. 127). Hubungan yang didasarkan pada prasangka (stereotype) yang sudah sangat parah. Hubungan yang kelihatannya mesra tetapi sesungguhnya tanpa cinta. Hubungan mesra yang dilandasi oleh api kebencian. Hubungan yang sesungguhnya saling menghancurkan. Namun anehnya hubungan semacam ini terus saja berlangsung bagai sosok dengan bayang-bayangnya. Hubungan yang saling mengukuhkan eksistensi masing-masing.

Apakah kita di Indonesia juga mengalaminya? Apakah hubungan yang kelihatannya baik-baik saja sesungguhnya hanya mesra tetapi tanpa cinta? Apakah kegaduhan akhir-akhir ini adalah sebuah pementasan drama semata, tanpa ada hubungannya dengan pemecahan masalah hubungan mesra tanpa cinta tersebut? Apakah memang akan terus seperti ini bentuk kebhinekaan kita?

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB